Friday, November 30, 2007

Menumpahkan Kemarahan

Seorang pria dengan wajah kusut dan muka muram pulang ke rumahnya malam itu. Setibanya di rumah, seperti biasanya ia mengetuk pintu, lalu ketika isterinya membuka pintu sedikit lebih lama dari biasanya maka ia menjadi marah besar. Aneh memang tapi itulah yang terjadi, si isteri lalu dimarahi habis-habisan hanya gara-gara sedikit terlambat membukakan pintu. Isterinya menjadi jengkel tapi tak bisa melawan suaminya yang sedang marah besar, itu sebabnya ia menumpahkan kemarahannya kepada anaknya yang secara tak sengaja melakukan sedikit kesalahan.

Si anak pun jadi ngambek tapi juga tak berani melawan ibunya yang terlihat begitu angker. Akibatnya pun bisa ditebak, si anakpun lalu menumpahkan kemarahannya kepada si pembantu. Meski si pembantu menjadi emosi dalam hati, tapi tidaklah mungkin seorang pembantu berani melawan anak majikan. Itu sebabnya si pembantu kemudian menumpahkan kemarahannya kepada anjing peliharaan keluarga itu dengan cara tidak memberi makan selama satu minggu! Karena lapar dan sangat jengkel karena merasa jadi korban keadaan, si anjing akhirnya menggigit tamu yang kebetulan berkunjung sebagai bentuk protes dan ungkapan kemarahannya. Anjing ternyata bisa marah juga!

Dalam pengertian populer itulah yang disebut displacement of aggression, atau pengalihan agresi. Menumpahkan kesalahan kepada obyek pengganti yang level, status atau kedudukannya berada di bawahnya. Tentu ini adalah perilaku yang tidak baik. Kita seringkali dan selalu diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri, bukannya melemparkan kesalahan atau menumpahkan kemarahan kepada orang lain yang levelnya ada di bawah kita. Mentalitas yang seperti ini hanya akan menciptakan orang-orang yang gemar mencari kambing hitam. Dia yang berbuat, tapi dia juga yang melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain.

Bayangkan kalau hal ini terjadi di kantor. Atasannya atasan Anda marah karena departemen tempat Anda bekerja ternyata tidak bekerja seperti yang diharapkan. Kemudian atasan Anda memarahi Anda karena dia jengkel dimarahi oleh atasannya. Andapun melampiaskan kemarahan karena dimarahi atasan kepada pelanggan yang datang hari ini kepada Anda. Dan pelanggan yang jengkel karena pelayanan dan perlakuan Anda yang tidak menyenangkan kemudian berbicara kepada orang-orang lain. Dan orang-orang lain yang mendengar cerita ini ternyata ikut jengkel dan menceritakan kembali kepada teman-temannya. Dampaknya ternyata luar biasa! Hanya karena kita menumpahkan kejengkelan dan kemarahan kita kepada pihak lain, ternyata berakibat pada sekian banyak orang lain lagi yang secara tidak langsung terpengaruh dengan kejengkelan dan kemarahan Anda.

Marilah bersikap adil dan jujur terhadap diri sendiri. Kalau memang yang sedang bermasalah adalah kita, bukankah seharusnya kita sesegera mungkin membereskan masalah itu dan bukannya mencari “tong sampah” untuk menumpahkan kejengkelan dan kemarahan kita. Sunggguh tidak adil kalau orang-orang di sekeliling kita harus menerima luapan emosi kita, sementara mereka sebenarnya tak melakukan sesuatu yang membuat mereka layak mendapat kemarahan kita.

Coba Anda bayangkan kalau yang menjadi limpahan kemarahan atau kejengkelan kita adalah anak kita, yang untuk bertemu dan berkumpul dengan kita saja hanya punya beberapa jam setelah kita pulang kantor. Kita akan merasakan dampaknya di kemudian hari dimana kita mulai merasakan adanya kerenggangan emosional antara kita dan anak kita.

Bila Anda sedang jengkel dan marah pada hari ini. Tahanlah diri Anda untuk tidak menumpahkan kejengkelan dan kemarahan Anda kepada orang lain. Berhentilah sebentar, redakanlah jengkel dan amarah anda terlebih dahulu. Pikirkanlah bahwa hidup Anda sangat berharga dan jangan sudi untuk menyia-nyiakannya dengan luapan amarah. Karena dengan marah, kebahagiaan yang sedang anda bangun secara perlahan sedang digerogoti.

Manusia Sulit

“Mas, aku pokoknya mau protes dan nggak bisa terima!,” seru sepupu saya di telepon suatu sore. Saya yang masih belum sadar sepenuhnya dari istirahat siang di hari libur itu berusaha mengira-ngira siapa gerangan orang yang mau protes ini.”Memang kebangetan banget ya iparku itu, lha wong kita sekeluarga sudah setuju mau pergi bareng, eh nggak tahunya dia bilang nggak jadi ikut karena mobilnya mau dimasukkan ke bengkel. Apa nggak nyebelin tuh namanya?!..” cerocosnya dengan emosional. Setelah dengan sekuat tenaga berkonsentrasi akhirnya saya mulai dapat mengenal suara si penelepon dan masalah yang diungkapkan. Saya hanya merespon sekedarnya saja karena khawatir kalau salah bicara malah bisa menambah masalah. “Dasar dia itu memang manusia sulit kok mas!,” ujarnya ketus.

Tentu kita semua pernah mengalami hal yang sama, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang seperti saudara saya bilang “manusia sulit”. Mereka disebut sulit karena biasanya memiliki atau menunjukkan sifat atau perilaku yang berbeda dengan manusia kebanyakan: keras kepala, suka mengkritik pedas, menghina, menang sendiri, egois dan lain-lain sikap negatif. Namun sadari atau tidak, kita yang seringkali memberi cap manusia sulit pada orang lain sekali waktu juga akan berperan sebagai si manusia sulit. Kita selalu melihat dan menunjuk orang di luar sana sebagai manusia sulit. Tanpa kita sadari bahwa empat jari yang lain saat kita menunjuk mengarah kepada diri kita. Contoh mudahnya ya sudara saya yang telpon itu. Dia memberi cap manusia sulit pada saudara iparnya namun saya tahu pasti saudara saya itupun bisa dikategorikan juga sebagai manusia sulit. Kenapa? Karena tidak jarang dia begitu keras kepala akan pendapat dan pikirannya.

Dengan meyakini bahwa guru kehidupan adalah segala sesuatu yang kita alami dan temui. Manusia sulit-pun merupakan salah satu guru terbaik bagi perkembangan kematangan jiwa kita. Saat manusia sulit beraksi dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka, sebenarnya kita juga sedang diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Tidak heran apabila rekan kerja saya bertemu dan berhadapan dengan manusia sulit, dia akan mengelus-elus perutnya yang sedang hamil 5 bulan dengan harapan agar calon anaknya tidak memiliki atau “ketularan” kejelekan orang tersebut.

Manusia sulit juga berjasa dalam membuat kita menjadi orang yang lebih sabar. Gede Parma pernah menulis bahwa badan dan jiwa kita ini seperti karet. Pertama kali ditarik akan melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, jengkel, mengurut dada atau menarik nafas panjang karena ulah manusia sulit ini, sejatinya kita sedang menarik karet (baca:tubuh dan jiwa) agar menjadi longgar (baca: sabar). Dan diharapkan pada saat kesekian kali kita berhadapan kembali dengan manusia sulit ini, tubuh dan jiwa kita bisa lebih mengerti dan sabar. Apabila ini dilakukan terus menerus, niscaya kesabaran akan selalu melekat dimanapun kita berada dan dengan siapapun kita berhadapan.

Memberi cap “manusia sulit” kepada siapapun di luar kita sangat dipengaruhi oleh “kaca mata” yang kita pakai. Kita seringkali men-cap kotor ini dan itu kepada orang lain tanpa tahu sebenarnya bukan mereka yang “kotor”, tapi “kacamata” yang kita pakailah yang kotor yaitu pikiran, emosional dan persepsi. Dengan kata lain sebelum menyebut siapapun diluar sana sebagai manusia kotor atau sulit, yakinlah pada diri anda bahwa bukan anda sebenarnya yang sulit. Karena anda begitu keras kepala, perbedaan pendapat sedikit saja membuat anda marah. Karena anda orang yang mudah tersinggung, orang tersenyum sedikit saja membuat anda kesal karena menganggap orang tersebut sedang meledek anda.

Pikiran mulia dari berhadapan dengan manusia-manusia sulit adalah mereka merupakan orang-orang yang sebenarnya mempermudah jalan kita untuk ke sorga. Apabila tingkat kesabaran anda sudah sedemikian matang, kita akan membalas hinaan dengan sebuah senyuman, cercaan dengan doa, bau busuk dengan bau harum, bukankah hal-hal demikian membuat amal kebaikan kita menjadi semakin banyak dan dengan itu pula jalan kita menuju sorga menjadi lebih lancar?

Terpaksa

Saya memiliki teman yang dulunya adalah perokok berat. Lebih dari 1 bungkus bisa dia habiskan dalam 1 hari terutama apabila dia sedang banyak pekerjaan yang mengharuskan dia melewatkan malam di kantor. Minggu lalu saat bertemu saya lihat ada perbedaan pada penampilannya, dia tidak membawa rokok yang biasanya selalu ada dikantongnya. “Gua tersiksa banget beberapa hari ini. Mulut gua rasanya asam banget dan pengen banget merokok. Tapi karena gua udah janji sama istri untuk tidak merokok lagi makanya terpaksa gua tahan aja,”ujarnya sambil meringis.

Suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan dengan terpaksa tentu tidak menyenangkan bagi pelaku seperti teman saya tadi. Sejenak dapat kita renungkan bahwa hampir semua tindakan awalnya tidak diinginkan atau pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari hari berawal dari sebuah keterpaksaan. Suatu pekerjaan atau tindakan yang menjadi rutinitas adalah merupakan hal biasa dan kurang berpengaruh terhadap kepuasan pelaku. Dan suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan karena kesenangan/hobi pasti akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi pelaku meskipun tindakan yang dilakukan adalah sama. Penyanyi misalnya, walaupun mungkin harus setiap hari menyanyi namun dia tetap senang karena itu adalah kesenangan/ hobinya.

Peraturan lalulintas saat pertama kali adanya keharusan memakai sabuk pengaman sewaktu mengemudi mobil atau mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor. Bagaimana reaksi masyarakat pada umumnya ? bermacam komentar, repot, tidak praktis, terpaksa karena takut ditilang dan sebagainya. Mengapa sekarang hal tersebut dapat dilakukan dengan kesadaran bahkan kadang dilakukan secara spontan? Karena kita sudah menjadi terbiasa. Apabila kita mencoba untuk mencari tindakan yang awalnya tidak didasari keterpaksaan, mungkin akan sulit menemukan jawabnya. Mengapa? karena semuanya sudah menjadi kebiasaan sehingga keterpaksaan itu tidak terasa lagi.

Bagaimana dengan tugas sehari-hari? mulai dari memakai seragam, datang ke kantor, mengerjakan tugas, mentaati peraturan dan kebijakan sampai menerima gaji . Melakukan penyesuaian dan membiasakan dengan lingkungan, pekerjaan dan peraturan baru yang berkesinambungan sesuai dengan perkembangan. Belum pernah ada perusahaan yang tidak pernah melakukan perubahan dalam menjalankan usahanya baik manajemen, peraturan, struktur organisasi ataupun produk usaha. Dan setiap perubahan yang ada pasti bertujuan untuk menjadikan perusahaan lebih baik, baik untuk perusahaan, pemilik, karyawan dan konsumen. Apakah semuanya pada awalnya tidak kita lakukan dengan terpaksa? tentunya masing masing pelaku mempunyai argumen sendiri-sendiri.

Memang tidak dapat dikatakan mudah untuk merubah keterpaksaan menjadi sebuah kebiasaan, apalagi terhadap sesuatu yang awalnya belum pernah dilakukan dan asing. Sama halnya dengan perokok yang ingin berhenti merokok, dia tidak akan dapat berhenti merokok kecuali memaksakan diri untuk berhenti, karena tidak ada obat atau alat apapun yang dapat menjadikan perokok berhenti merokok kecuali keinginan yang kuat dari diri sendiri.

Dalam Layanan juga sama, pada awalnya canggung untuk senyum, menyapa dan melayani nasabah dengan baik. Bahkan banyak yang menjadi enggan karena merasa hal itu adalah beban. Memang akan menjadi beban karena dalam pikiran kita sudah tertanam bahwa kegiatan itu merupakan kerja tambahan yang tidak perlu. Hal itu yang kalaupun dilakukan pasti dengan kondisi terpaksa. Keterpaksaan akan terlihat oleh orang lain dan disadari atau tidak akan semakin memberatkan pelakunya.

Barangkali ada salah satu cara untuk dapat merubah keterpaksaan menjadi kebiasaan, yaitu Ikhlas dan Bersyukur. Paksa diri kita untuk melakukannya, insya Allah kita akan dapat menerima dan menikmati pekerjaan dan penerimaan tanpa keluhan. Ikhlas dan Bersyukur juga dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan introspektif. Memang tidak semudah teori untuk melakukannya. Tetapi semua orang pasti merasa sudah berusaha untuk berbuat dan berubah menjadi yang terbaik untuk dirinya dan orang lain.

Ingat saat anda atau anak anda pertama kali belajar naik sepeda. Awalnya hanya satu dua kayuhan, jatuh dan kita bangun lagi untuk melanjutkan dengan kayuhan-kayuhan berikutnya sampai akhirnya kita menjadi bisa dan terbiasa. Perubahan akan mudah diraih apabila ada tekad diri. Jangan terlalu lama terpaku dalam keraguan, mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang!

Sedekah

Teman saya ini adalah seorang pegawai negeri di yang berkantor di Jalan Thamrin. Umurnya lebih muda dari saya dan kebetulan sewaktu di Yogya kami satu kos. Salah satu “kegemaran”nya adalah memberikan sedekah kepada pengemis. Suatu saat teman saya yang lain secara sambil lalu “mempertanyakan” kebiasaannya tersebut. “Emang elo yakin kalau dia itu memang pengemis?, bagaimana kalau dia ternyata hanya seorang yang malas bekerja dan akhirnya jadi pengemis?”. Teman saya tersebut hanya tersenyum dan menjawab,”Aku nggak tahu pasti dia itu pengemis benar atau tdak tapi yang aku tahu pasti bahwa hidupnya tidak lebih beruntung dari aku dan Rp.1000 atau Rp.2000 nggak akan membuat kita jadi miskin kan?, lagipula Allah melihat keikhlasan pemberian kita dan bukannya siapa yang diberikan. Kalau kemudian ternyata dia menipu dan bukan pengemis seperti yang kita kira, biarlah itu urusan dia dengan Allah”.

Pernyataan terakhir itu mengingatkan saya akan sebuah tulisan yang pernah saya baca beberapa waktu silam yang berbicara mengenai pemberian dan sedekah. Dalam hidup kita seringkali terjebak pada hitung-hitungan angka, kalau saya kasih sekian kira-kira sisanya bisa nggak buat yang lain dst. Hidup kita tidak seluruhnya berupa matematika dan permainan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis yang bermakna jauh lebih baik. Namun hal ini tidak pernah kita tahu karena kita tidak pernah terpikir untuk setidaknya melihat dari sisi itu.

Kalau pikiran kita hanya tertuju pada pendapatan (baca:gaji) yang kita terima, kita cenderung akan menjadi orang yang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai pendapatan setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu kita akan berkata,”Bagaimana mau memberi kepada orang lain dan bersedekah, lha wong untuk kita saja masih kurang." Sebagian besar orang akan mengatakan,"Kenyataannya memang begitu kan?”. Mana mungkin seorang pegawai negeri atau pegawai rendahan dengan gaji hanya sebesar itu, bisa hidup tenang, bisa memberi sedekah dan malah bisa berbagi dengan saudara yang lain.

Kita berpikiran seperti itu karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Tulisan itu juga mengilustrasikan begini: Kita punya uang Rp.10,000. Makan bakso harganya Rp.6000, kemudian makan Es campur Rp.3000. Setelah bayar kita akan dapat kembalian Rp.1000, yang kemudian kita berikan dengan ikhlas kepada pengemis, berapa sisa uang kita? Tentu saja secara logika kita akan menjawab Tidak ada! Tapi ternyata masih ada uang kita yang Rp.1000 tadi dan bahkan masih bisa bertambah banyak melebihi jumlah pemberian kita. Dan seribu rupiah itu abadi. Dikatakan bisa bertambah banyak karena seribu rupiah tadi bisa memancing rezeki yang tidak terduga.

Bagaimana bisa uang yang seharusnya habis malah bisa mendatangkan rejeki yang lain? Kalau kita berpikir matematis dan logika memang tidak mungkin. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan lihatlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Pengemis yang mendapatkan berkah kita tersebut kemudian mengucapkan doa' keberkahan kepada kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya pada lebih banyak orang yang tidak mampu?. Malaikat niscaya akan sibuk mencatat keberkahan untuk anda itu dan indahnya lagi adalah segala doa tersebut didengar oleh Allah. Itu juga menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong kita di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi, yang dapat berbuah keberkahan dan sekaligus juga penolong. Sementara nilai Rp.9000 untuk bakso dan es campur itu akan selalu berakhir di WC.

Tulisan itu membuat saya terpaku. Sebegitu dalam penghayatan atas nilai sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang seringkali terlupakan. Sedekah memang berat kalau kita memandangnya dari hitungan logika matematis. Sedekah seringkali hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Alam kosmis memiliki hukum yang kekal yaitu: siapa memberi kelak suatu hari akan menerima. Bukti empiris banyak tersebar di kehidupan kita. Petani yang selalu memberi pupuk pada tanamannya, kelak suatu hari akan menerima limpahan panen. Kita mengajarkan keindahan cinta pada anak-anak kita, kelak anak-anak kita akan menunjukkan kepada kita mulianya keindahan kasih sayang. Sebaliknya, bila kita menyemai benih kebencian kepada orang lain kelak kita akan ditunjukkan betapa sakitnya saat diacuhkan.

Tuhan itu adil, apapun yang kita lakukan baik atau buruk, akan dilihat dan didengar oleh-Nya. Seperti Budhe saya selalu bilang,”Gusti Allah ora sare...”. (Tuhan tidak pernah tidur).

Thursday, September 13, 2007

Terbaik

Suatu hari saya berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman lama semasa kuliah di Yogya. Masing-masing sudah memiliki pekerjaan yang baik dan 3 diantaranya sudah berkeluarga. Hanya satu orang teman saya Andre, yang ternyata sampai saat ini masih melajang. Kami temannya yang lain sempat tidak percaya dengan status melajangnya tersebut karena setahu kami Andre sangatlah “gaul” dan memiliki banyak teman wanita.

Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.

Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.

Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.

Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.

Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.

Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.

Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.

Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:

“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai, setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”

Wednesday, September 12, 2007

Sabar

Salah satu hal yang paling mengganggu setiap kali saya pulang kantor dengan menggunakan KRL Patas Bekasi adalah kedatangannya yang selalu tidak pasti. Kalau suatu hari KRL tersebut datang dan berangkat tepat waktu, akan banyak penggemar setia KRL tersebut menggumamkan satu kalimat: “hmm..tumben tepat”.

Sore itu kembali (seperti biasa) kereta favorite saya tersebut terlambat datang. Istri saya yang sejak hamil selalu pulang bareng saya naik kereta mulai gelisah. Berkali-kali terdengar keluhnya: “sampai dimana sih kereta-nya, kok lama banget?”. Saya yang berulangkali mendapat keluhan seperti itu menjadi terpengaruh apalagi saya juga sebenarnya ada janji untuk bertemu dengan teman saya di rumah. Untuk memastikan waktu kedatangan, beberapa kali saya tanyakan posisi KRL ke bagian informasi perjalanan kereta. Semakin lama menunggu dalam ketidak pastian, saya menjadi semakin gelisah.

Kejadian yang saya alami diatas menunjukkan sebuah ketidaksabaran yang berwujud. Kesabaran merupakan sebuah keadaan dimana badan dan pikiran kita berada di satu tempat. Sewaktu saya tidak sabar dalam menunggu kereta, badan saya ada di stasiun namun pikiran saya sudah ada di rumah. Karena tidak menyatu-nya 2 hal ini dapat menyebabkan kegelisahan dan kehilangan kesabaran. Mungkin akan beda hasilnya apabila saat itu saya lebih tenang dengan menikmati semua yang saya lihat dan alami di stasiun itu dan sambil menunggu kereta datang saya bisa beritahu teman saya untuk mengatur jadwal pertemuan kembali.

Selama ini Sabar sering diidentikkan bersedia dalam posisi menderita, mengalah dan seterusnya. Kalau budhe saya selalu bilang “yo wis sing sabar wae” sambil mengurut dada. Sewaktu rekan kerja saya putus hubungan dengan tunangannya, rekan kerja yang lain datang sambil berkata,”Ya sudah Jeng, sabar aja dengan cobaan ini. Toh laki-laki bukan dia ajaaa..”. Atau sewaktu saudara saya diperlakukan tidak menyenangkan oleh iparnya, saudara yang lain berkata,” Sabar aja, nanti biar Tuhan yang akan membalas perbuatannya”.

Kalimat-kalimat diatas seringkali kita dengar dan mungkin juga sering kita ucapkan. Semua kalimat itu bukan kalimat yang salah, namun memaknai-nya seringkali tidak benar. Seakan-akan sabar adalah sikap yang harus ditunjukkan ketika penderitaan datang. Karena itu tidak heran kalau budhe saya selalu mengurut dada sebagai pelengkap kata sabar yang diucapkan. Ekspresi dan pemahaman seperti inilah yang kian lama kian mengaburkan makna Sabar yang sebenarnya. Padahal ke-Sabar-an adalah salah satu rahasia terpenting untuk menikmati hidup. Kalau kita sabar kita akan benar-benar bisa menikmati setiap detik hidup kita baik dalam kesukaan maupun kedukaan.

Menyatukan badan dan pikiran adalah makna sejati sebuah ke-Sabar-an. Faktor penentu lain adalah Kesadaran. Sadarilah sepenuhnya apa yang sedang kita alami. Rasakanlah saat anda sedang menunggu kereta atau bis yang terlambat. Rasakanlah ketika anda sedang menghadapi nasabah, saat anda berbicara dengan mereka dan membantu mereka memproses transaksi. Nikmatilah dengan sepenuh hati musik yang anda sukai dan nikmatilah wajah anak anda ketika mereka tidur. Nikmatilah setiap apapun yang anda lakukan. Dengan Kesadaran dan menyatunya badan serta pikiran akan menumbuhkan kesabaran dalam pikiran kita dan selain itu kita juga akan merasa lebih rileks.

Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua perlu melalui proses.

Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalanan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua tujuan perlu melalui berbagai proses.

Karena itu, marilah kita lapangkan dada untuk dapat lebih bersabar. Janganlah mengurut dada karena kesabaran adalah sebuah kenikmatan dan bukannya penderitaan. Apapun profesi dan pekerjaan anda, keberhasilan merupakan juga buah dari kesabaran. Saya selalu ingat guru agama saya dulu selalu bilang bahwa:

“Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang Sabar”.

Wednesday, September 5, 2007

Syukur

Suatu hari saya berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman lama semasa kuliah di Yogya. Masing-masing sudah memiliki pekerjaan yang baik dan 3 diantaranya sudah berkeluarga. Hanya satu orang teman saya Andre, yang ternyata sampai saat ini masih melajang. Kami temannya yang lain sempat tidak percaya dengan status melajangnya tersebut karena setahu kami Andre sangatlah “gaul” dan memiliki banyak teman wanita.

“Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.

“Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.

“Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.

Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.

Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.

Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.

Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.

Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:


“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai,

setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”

Value added

Kehidupan saya banyak sekali terinspirasi oleh cerita, baik cerita yang saya baca di buku, saya lihat dalam film maupun saya dengar dari orang lain. Ada sebuah cerita yang pernah saya dengar belasan tahun lalu yang banyak menginspirasi perilaku saya.

Sebuah iring-iringan perahu kerjaan melintas di sungai dalam sebuah kota antah berantah. Dalam perahu itu terdapat beberapa orang: pengayuh perahu, hulubalang Raja, penasehat Raja (kaum cendikia) dan Raja sendiri.

Terjadi percakapan antar pengayuh perahu yang isinya adalah ketidak puasan akan pekerjaan yang mereka jalani saat itu. “Sungguh keterlaluan Raja kita ini. Sudah lama saya bekerja di kerajaan ini tapi apa yang saya dapat? Saya tetap saja menjadi seorang pendayung perahu. Sedangkan kalian lihat sendiri seseorang yang menjadi penasehat raja mungkin usianya jauh dibawah saya. Tapi kenapa dia yang dipilih menjadi penasehat raja dan bukannya saya?” Gerutu salah seorang pendayung.

Ternyata sang Raja mendengar keluh kesah itu. Dan sejenak dia meminta agar perahu berhenti. Kemudian sang Raja memanggil pendayung yang berkeluh kesah itu kehadapannya. “Kamu mendengar suara binatang yang ada di pinggir sungai ini?” Tanya Raja. Pendayung mengangguk. “Tolong cari tahu suara apa itu dan segera beritahu saya”. Si pendayung bergegas pergi ke tepian sungai dan segera kembali ke perahu. “Raja, ternyata suara itu datang dari bebek liar yang sedang bermain dengan anak-anaknya”, Lapor si pendayung. Kemudian Raja menanyakan lagi berapa banyak anak bebek yang ada disana. Serta merta si pendayung kembali lagi ke tepian sungai untuk melihat bebek liar itu. “Anak bebek-nya berjumlah 8 ekor Raja,” ujar si pendayung setelah kembali. Kembali raja menanyakan jumlah bebek dewasa yang ada di tepian sungai itu. Dengan tetap semangat si pendayung kembali ke tepian sungai dan setelah kembali, dia menjawab dengan tersenyum puas,”Bebek dewasa disana ada 4 ekor Raja”.

Raja mengucapkan terima kasih. Kemudian Raja meminta prajurit untuk memanggil salah seorang penasehatnya sedang bekerja dalam kabin kapal. Raja meminta si penasehat untuk mencari tahu suara binatang di tepian sungai. Si penasehat kemudian pergi dan setelah kembali dia menjelaskan kepada Raja. “Rajaku, suara itu ternyata adalah suara sekawanan bebek liar. Ada 4 bebek dewasa yang saya rasa adalah induk dari 8 anak bebek yang terdapat disana. Dari kesemua bebek yang ada disana mereka memiliki warna bulu yang cenderung sama yaitu coklat dan hitam”. Raja tersenyum, mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan si penasehat untuk kembali bekerja dalam kabin kapal.

Kemudian Raja melihat kepada si pendayung yang sedari tadi duduk termangu melihat kejadian itu. “Sekarang kamu tahu kenapa saya lebih memilih dia sebagai penasehat saya?” Tanya Raja dengan lembut. Si pendayung dengan takzim mengakui bahwa dia hanya melakukan apa yang diminta raja dan tidak membuka mata dan pikiran untuk bisa memberikan info lain selain tugas yang diterimanya.

Apa yang dilakukan oleh si penasehat merupakan pengejawantahan dari prinsip Value-added (nilai tambah). Dalam melaksanakan perintah raja, dia tidak hanya menjawab pertanyaan raja saja namun juga memberikan informasi lain yang dapat memberi bobot lebih dari info yang diminta. Dalam bekerja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing dan memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Dan hasil pekerjaan kita akan menjadi lebih berbobot kalau kita dapat memberikan nilai tambah. Nilai tambah bisa juga ditunjukkan hanya dengan kerapian pekerjaan, memberikan alternatif analisa lain selain yang diminta atau bekerja dengan penuh kegembiraan karena orang lain akan merasa senang dan nyaman selama bekerja dan berinteraksi dengan kita.

Cerita diatas juga mengingatkan saya untuk bisa selalu “sadar” sepenuhnya akan kehidupan dan mencermati setiap keadaan sekitar. Dengan selalu “sadar” akan kehidupan kita akan bisa lebih melihat bahwa sebuah kejadian tidaklah berdiri sendiri namun selalu berkaitan dengan yang sudah dan yang akan terjadi. Dengan mencermati keadaan, akan membawa kita untuk bisa selalu bersyukur bukan hanya pada limpahan kebaikan yang kita terima namun juga atas segala hal-hal kecil dan remeh yang kita dapatkan setiap hari.

Houdini

Kemarin malam saya menyaksikan sebuah acara yang menarik di sebuah televisi swasta. Acara tersebut mengungkapkan beberapa rahasia sulap kelas tinggi yang selama ini mungkin kita tidak pernah tahu. Bila berbicara tentang dunia sulap selalu tidak lepas dari seorang master dalam hal melarikan diri (escaping) yaitu Houdini.

Houdini adalah seorang magician kenamaan sepanjang masa dan juga seorang master dalam membuka segala macam jenis kunci. Dia selalu mengatakan bahwa tidak ada kunci di dunia ini yang tidak dapat dia buka dalam waktu 30 menit. Pernyataan ini bisa dilihat sebagai ungkapan kesombongan atau pencerminan rasa percaya diri yang begitu besar. Memang banyak bukti yang menunjukkan bahwa dia memang mampu melepaskan diri dari segala macam jenis kunci yang membelenggunya.

Ungkapan kesombongan itu ternyata bersambut. Masyarakat disebuah kota kecil di London memiliki penjara yang kokoh. Mereka sangat bangga akan kekokohan pintu-pintu sel penjara yang mereka miliki dan mereka menyambut ucapan Houdini dengan menantang ahli sulap itu untuk keluar dari sel penjara dikota itu.

Diiringi oleh genderang dan wartawan dari berbagai publikasi di dunia, Houdini melangkah masuk kedalam salah satu sel dengan angkuhnya. Setelah pintu penjara ditutup, dari balik jubahnya dia mengeluarkan senjata andalannya yaitu sebuah logam yang tipis,lentur, dan kuat yang biasa dia gunakan dalam pertunjukannya, untuk membuka pintu penjara itu.

Setelah lebih dari 30 menit (waktu yang dijanjikan) Houdini ternyata belum juga berhasil membuka pintu penjara, ekspresi kesombongan yang selama ini terpancar dari mukanya perlahan mulai hilang. Satu jam kemudian pintu penjara itu masih belum juga terbuka dan keringat dingin mulai bercucuran di kepalanya. Hingga akhirnya dalam waktu 2 jam pandangan matanya mulai gelap, sebab Houdini tidak tahan dengan tekanan dan ketegangan batin yang dialaminya. Ketegangan yang memuncak itu membuat Houdini akhirnya jatuh pingsan sebelum berhasil membuka pintu penjara tersebut dan tubuhnya jatuh menimpa pintu penjara ternyata yang langsung terbuka!

Kenyataannya, pintu penjara tersebut tidak pernah dikunci sama sekali! tapi hanya daun pintunya saja yang ditutup. Namun pikiran Houdini-lah yang merasa yakin dan percaya bahwa pintu penjara tersebut telah ditutup dengan menggunakan kunci yang paling mutakhir. Dan tugas dia untuk membuktikan bahwa segala kunci sanggup dia buka. Dalam pikiran Houdini tidak terpikir sama sekali untuk mencoba membuka pintu itu terlebih dahulu sebelum berusaha membuka kuncinya.

Kejadian diatas memberikan pelajaran yang paling berharga bagi saya: bukti bahwa kekuatan pikiran sangat luar biasa. Houdini bisa saja (dan memang terbukti selama ini) sanggup membuka pintu terkokoh atau kunci yang paling mutakhir karena kekuatan pikiran dan ketrampilannya. Pikirannya selalu diliputi keyakinan yang meledak-ledak bahwa dia sanggup membuka apapun yang terkunci. Pikirannya begitu kuat sehingga mengesampingkan hal-hal yang sederhana dan ternyata hal yang sederhana itulah yang mengalahkannya.

Kalau direfleksikan dalam kehidupan kita: segala halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan hidup kita memang bisa memperlambat jalan namun keputusan akhir ada di tangan kita. Pikiran kitalah yang dominan dalam menentukan kegagalan atau keberhasilan kita. Penuhilah pikiran anda dengan rasa optimisme dan keyakinan yang tinggi untuk bisa sukses di masa depan. Keyakinan dan optimisme itu hendaklah juga diimbangi oleh penuhnya kesadaran akan keadaan, lingkungan sekitar agar kita bisa dengan bijaksana dalam mengambil keputusan.

Wednesday, August 15, 2007

Merdeka!

Di komplek perumahan saya terasa ada yang berbeda dengan hari-hari lain. Terdapat keriuhan di lapangan olah raga, terutama pada saat sabtu dan minggu dimana beberapa pertandingan olah raga diadakan. Di depan setiap rumah, para tetangga sudah mulai memasang bendera pertanda ada perayaan yang akan dijelang: Kemerdekaan Negara kita!

Kemerdekaan identik dengan kondisi yang bebas dan terlepas dari sebuah belenggu, keterikatan dan ketergantungan pada sesuatu dan mulai menentukan keinginan secara mandiri. Kemerdekaan paling mudah diperlihatkan dengan terlepasnya ketergantungan secara fisik. Padahal hakekat sebenarnya dari kemerdekaan adalah meliputi dimensi yang lain juga yaitu, secara mental dan emosional. Banyak artikel di Koran, majalah maupun jurnal-jurnal yang menuliskan bahwa sudah waktunya kita menjadi manusia yang Merdeka. Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah anda sudah merasa Merdeka? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telaah lebih lanjut tentang diri kita.

Dikatakan bahwa kemerdekaan adalah lepasnya terhadap sebuah ketergantungan. Ketergantung yang paling terlihat adalah pada apa-apa yang kita miliki. Banyak orang yang meletakkan kebahagiaan hidup pada benda-benda yang mereka sudah dan akan miliki. Kita sering merasa bahagia karena memiliki mobil baru, rumah baru atau jabatan yang baru. Bahkan seorang teman pernah terucap bahwa dia dan keluarga akan bisa bahagia kalau sudah mampu beli mobil. Sejatinya, hal-hal tersebut adalah sekedar pelengkap dan sekali waktu kita bisa saja kehilangan. Kita akan menjadi kehilangan pegangan dan keriaan manakala segala milik kita tersebut tidak lagi kita miliki. Karena itu janganlah menggantungkan asa kita pada apa yang kita miliki. Ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh mensyukuri dan mencintai apa yang sudah kita miliki, sama sekali tidak. Tetaplah berusaha mencari dan memiliki sesuatu namun janganlah kemudian meletakkan kebahagiaan kita disana. Intinya adalah boleh untuk “memiliki” namun jangan sampai “dimiliki” oleh hal-hal tersebut.

Kemerdekaan secara mental dan emosional adalah hal yang tersulit. Masing-masing dari kita sebenarnya memiliki “remote control” kehidupan. Dimana pada saat kita menekan tombol “Happy” pada remote control tersebut kita akan serta merta merasa gembira dan sebaliknya. Namun disadari atau tidak, banyak dari kita yang “remote control” kehidupannya dikendalikan oleh orang lain. Orang berbuat tidak menyenangkan akan membuat kita emosi, marah dan bahkan mendendam. Meskipun orang yang berbuat tersebut tidak sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan namun pikiran kita telah teracuni oleh amarah.

Orang memberikan pujian kepada kita akan membuat kita senang. Apabila pekerjaan kita dikritik, kita akan sedih dan atau malah kehilangan percaya diri. Orang membantah pendapat yang kita utarakan, kita marah dan sakit hati. Begitu banyak bukti bahwa banyak hal diluar kita yang mengendalikan sikap, perasaan dan pikiran kita. Ini juga berarti kita membiarkan orang lain untuk bisa sekehendak hati menekan-nekan tombol “remote control” kehidupan kita. Kita masih tergantung pada orang lain untuk menentukan apakah kita bahagia atau tidak.

Kita adalah tuan atas diri kita sendiri dan kita jugalah yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak. Bukannya orang lain atau bahkan benda-benda yang kita miliki. Kemerdekaan juga berarti bahwa kita dapat mengendalikan perasaan kita, bukan sebaliknya.

MERDEKA !

Wednesday, August 8, 2007

Target

Minggu lalu saya makan siang bareng dengan 2 orang rekan lama saya sewaktu kuliah dulu. Andre adalah seorang cerdas lulusan dari Fakultas Ekonomi UGM. Rupanya karirnya di sebuah bank swasta cukup mencorong dan sudah 3 tahun ini dia dipercaya sebagai kepala cabang. Agung, rekan saya yang satu lagi seorang insinyur sipil, masih setia berkutat dengan profesi konsultan-nya dengan jabatan senior konsultan di sebuah biro konsultan manajemen asing. Kami bertiga dulu berada dalam 1 kelas ketika mengambil program master sekitar 10 tahun yang lalu.

Siang itu Andre banyak bercerita mengenai posisi dia sebagai orang yang berkuasa di cabang dan tantangan-tantangan pekerjaan yang dihadapi. Kebetulan cabangnya adalah cabang yang cukup baik dalam menghasilkan keuntungan. “Wah, tahun ini gua bakal abis-abisan nyari duit nih. Target yang diberikan dari kantor pusat naik hampir 100% dari tahun lalu!” ujarnya. “Gua kan baru di cabang ini dan gua mesti nyari bisnis baru sebanyak itu…puyeng dah!”. Kemudian dia menjelaskan betapa kerasnya persaingan dunia perbankan sekarang dan nasabah juga mulai banyak pilihan dalam mencari bank.

Agung yang sedari tadi diam akhirnya bicara,” Sebenarnya yang jadi masalah bukan angka target yang besar yang perusahaan berikan, tapi lebih kepada bagaimana cara kamu melihat dan berpikir terhadap angka itu”. Andre tampaknya belum paham maksudnya.

Agung kemudian melanjutkan;“Begini Ndre, kalau kamu melihat angka totalnya pasti kelihatan gede banget dan kamu akan berpikir gak bakalan bisa elo capai. Coba lihat dengan lebih sistematis, misal target perusahaanmu Rp.10 triliun tahun ini. Bagikan nilai Rp.10 triliun itu dengan jumlah kantor bank kamu yang ada 231 cabang. Jadi totalnya kan sekitar Rp.43,290 milliar per tahun per kantor. Trus coba deh bagi angka Rp.43,290 milliar itu dengan jumlah hari kerja per tahun. Anggap aja hari kerja efektif pertahun hanya 250 hari, jadi angka terakhir yang elo dapet sekitar Rp.173,160 juta perhari untuk setiap cabang. Dan aku yakin setiap cabang tentu targetnya tidak sama karena sangat tergantung dari kondisi ekonomi dan bisnis di tiap-tiap cabang, ya kan?. Udah gitu, bagi lagi angka Rp.173,160 juta itu dengan jumlah staff sales di kantormu, dapatlah target per-orangnya.”

Perlahan Andre mulai melihat alasan logis dari penjelasan tersebut. Sambil tangannya memencet-mencet kalkulator, dia berseru; ”Berarti kalau misalnya aja ada nasabah gua yang mau naruh duitnya di deposito Rp.2 M aja berarti gua udah penuhi untuk target selama 11 hari dong..!”. Kemudian Agung melanjutkan,” Nah dengan begitu kamu bisa memanfaatkan waktu yang lebih 10 hari itu untuk cari bisnis baru atau untuk me-maintain nasabah-nasabahmu supaya jangan lari ke bank-nya si Arif ini”. Saya hanya tersenyum saja mendengar penjelasan tersebut.

Saya tidak pernah menjadi kepala cabang dan karena itu saya tidak bisa merasakan bagaimana rasanya dibebani oleh target-target. Hanya saja saya melihat cara berpikir sederhana yang dijelaskan tadi sebenarnya merupakan salah satu cara untuk mempermudah kerja kita. Saya pikir banyak benarnya pola pikir yang dijelaskan oleh Agung. Salah seorang kenalan saya seorang sales coordinator dari sebuah produk farmasi juga sering mengatakan demikian kepada jajaran sales-nya. Buatlah perhitungan target menjadi lebih detail dan sistematis. Dengan begitu kalian bisa membuat action plan yang baik dan sekaligus juga tahu bagaimana dan kapan target itu bisa dicapai.

Saya jadi teringat dengan artikel LPB minggu lalu tentang sebuah Jam yang menolak ketika diminta untuk berdetak 31 juta kali dan baru mau berdetak untuk 1 kali tiap 1 detik., padahal kalau dijumlah secara total sama dengan angka awal yang diminta. Dari ilustrasi Agung tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar dan bisa diaplikasikan di lapangan tapi pesan tersirat dari penjabaran itu adalah kita diajak untuk cerdik dalam mensikapi sebuah tuntutan (target) dengan membuat sebuah perhitungan dan perencanaan yang detail. Target apapun yang kita buat butuh sebuah perencanaan yang matang. Kalau kita ingin kehidupan kita lebih baik di masa depan, kita perlu membuat perencanaan yang matang agar kita tahu apa yang harus kita lakukan dan berapa lama sebuah keinginan itu bisa terwujud.

Di akhir penjelasan, Agung menambahkan,”Perencanaan yang baik dan detail tetap akan hanya menjadi sebuah perencanaan kalau dalam diri kita tidak ada niat untuk mewujudkannya”.

Transformasi

Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40. Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang.

Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian, atau
Mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan --- suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.

Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang , berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut
terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan
ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.

Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!

Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan. Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan.

Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan andalah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.
Anda adalah elang-elang itu.

Perubahan pasti terjadi. Maka itu, kita harus berubah!

Hilangkan Kesedihan dengan Bekerja

Beberapa waktu yang lalu saya menelepon teman kuliah saya di Yogya, yang beberapa bulan lalu mendapatkan cobaan dengan meninggalnya anak kedua yang baru dilahirkannya. Saat itu kami mengobrol panjang lebar dan dia sudah kembali dapat berbicara dengan suaranya yang selalu terdengar bersemangat, menceritakan bagaimana dia melalui hari-harinya pasca musibah tersebut.

Awalnya berat sekali buat aku untuk bisa menerima kenyataan bahwa kami telah kehilangan anak kedua kami. Butuh kekuatan besar untuk bisa mengabarkan hal ini kepada teman-teman lain. Kesedihan dan besarnya rasa kehilangan membuat aku menjadi tidak tahu harus bertindak dan bersikap seperti apa. Aku jadi tidak produktif dan semakin lama semakin tenggelam dalam ketidak berdayaan. Banyak rekan dan saudara yang minta aku dan suamiku pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Aku coba lakukan itu namun sejauh apapun aku pergi, pikiran kesedihan itu ternyata tidak pernah juga bisa jauh dari pikiranku”.

Kemudian dia melanjutkan: ”Akhirnya atas desakan suami, aku kuatkan diri untuk kembali ke kampus dan kembali aktif mengajar dan membimbing mahasiswa yang beberapa waktu telah aku telantarkan. Aku langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda, kembali aktif mencari hal-hal baru yang bisa aku sumbangkan ke kampusku dan aku mulai ikuti beberapa sayembara arsitektur yang diadakan. Ajaib! Seiring dengan semakin sibuknya diriku, secara perlahan pula kesedihan dan pilu akan kehilangan berangsur beralih rupa menjadi keikhlasan untuk merelakan dan kembali menumbuhkan semangat yang selama beberapa waktu terkubur. Kepercayaan diriku bangkit dan akhirnya sekarang aku seperti terlahir kembali dengan seragam semangat yang baru dalam menata dan menatap kehidupan”.

Saya takjub dengan proses perubahan yang dia alami dan lakukan. Saya pernah membaca dalam sebuah buku bahwa salah satu hukum yang paling mendasar yang pernah dikemukakan dalam ilmu psikologi adalah: bahwa pikiran manusia, betapapun cerdasnya, sama sekali tidak mungkin bisa memikirkan lebih dari satu hal dalam waktu bersamaan. Kita tidak bisa memikirkan secara bersamaan rencana liburan akhir pekan dan pekerjaan kantor yang masih belum selesai dikerjakan. Memang kita bisa memikirkan kedua hal itu namun secara bergantian dan tidak dalam waktu yang sama kita bisa konsentrasi akan kedua hal tersebut.

Itu sama juga dengan keadaan emosi (baca: perasaan): kita tidak dapat merasa bersemangat dan begitu bergairah dalam mengerjakan sesuatu namun pada saat yang sama kita juga merasa sedih dan patah semangat. Alam pikiran hanya dapat menerima satu jenis perasaan dalam satu waktu. Perasaan (emosi) negatif seperti rasa benci, sedih, takut, cemburu dan iri hati ibarat angin dengan energi yang dinamis dan kekuatan yang besar yang dapat dengan mudah mengusir dan menghancurkan pikiran bahagia, kedamaian dan ketenangan.

Emosi negatif dengan kekuatannya dapat kapan saja merasuki pikiran kita terutama apabila pikiran kita “kosong” dan saat kita bebas dan bersantai-saat-saat yang seharusnya kita merasa bahagia. Pikiran itu seperti alam semesta, dimana “Alam tidak menyukai/ menerima adanya kehampaan”. Begitu kehampaan akan terjadi, saat itu pula akan ada zat yang mengisinya. Begitu juga pikiran, sekali pikiran anda “kosong”, emosi apapun akan bisa masuk untuk mengisi “kekosongan” itu. Sayangnya, emosi-emosi yang paling aktif untuk berusaha masuk kedalam pikiran kita adalah emosi negatif seperti: kenapa hidup saya seperti berjalan ditempat? Kenapa saya tidak punya banyak uang seperti rekan yang lain? Kenapa atasan saya memarahi saya hari ini? Akan seperti apa hidup saya kedepan? Dan macam-macam lainnya.

Urip kuwi mung mampir ngombe” salah satu pepatah jawa yang sangat saya kenal, yang kalau ditilik artinya senada dengan “bahwa hidup itu singkat”. Nah kalau kita sudah tahu bahwa hidup itu sebenarnya singkat, apakah anda masih mau dan rela ke-“singkat”-an itu sepertiga, seperempat atau bahkan separuhnya anda isi dengan kesedihan, kekecewaan dan keterpurukan pikiran? Kalau anda sejalan dengan saya bahwa hidup itu harus bermakna, mari kita singsingkan lengan baju dan mulai untuk mengisi hidup ini dengan menyibukkan diri dan pikiran kita dengan sesuatu yang positif dan berguna bukan hanya buat diri sendiri tapi lebih baik lagi buat orang lain!

Kepiting

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting bahkan mungkin kita sering memakannya, tapi tidak banyak yang tahu sifat sebenarnya dari kepiting.

Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.
Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah tanpa diikat. Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini adalah kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat mereka bergerak perlahan hendak keluar dari baskom.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal tidak khawatir meskipun hasil buruannya selalu berusaha untuk meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu karena si pemburu tahu betul sifat kepiting. Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, kepiting-kepiting lainnya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi kepiting lain akan menariknya turun dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu tinggal memasak mereka semua.

Begitu pula dalam kehidupan ini, tanpa sadar kita juga terkadang menjadi dan berperilaku seperti kepiting-kepiting itu. Kita yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita bersikap malah mencurigai, dan berpikiran jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang tidak benar. Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sebenarnya secara perlahan membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu adalah proses yang kita lalui dan seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya. Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan. Namun setidaknya kita telah melangkah lebih maju dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’: (1). Selalu mengingat kesalahan orang lain (bisa orang lain atau situasi yang sudah lampau) dan menjadikannya sebagai suatu prinsip/pedoman dalam bertindak. (2). Banyak mengkritik orang lain dan situasi tapi tidak ada keinginan dirinya untuk ikut berubah dan memperbaiki diri. (3). Suka membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini akan menjadi penghambat dalam lingkungannya dan menghambat dirinya sendiri untuk maju.

Banyak rekan saya yang ”diprogram” oleh orang tuanya untuk jadi pemenang dalam setiap hal yang dia lakukan. Namun sayangnya banyak juga orang tua yang lupa untuk menjelaskan apa dan siapa sebenarnya ”pemenang” sejati. Bagaimana sebenarnya seorang ”pemenang” dan bagaimana proses kemenangan sebaiknya diraih. Pemenang bukanlah semata menduduki peringkat teratas dan nilai terbaik, namun lebih kepada kemauan dan kemampuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, berorientasi pada kemajuan dan berguna bagi sekitarnya
.

Terima kasih

Saat makan siang bersama dengan seorang teman lama saya, dia kelihatannya sedang kesal karena terlihat dari air mukanya yang keruh. Begitu kami mulai duduk untuk memesan makanan, dia mulai mengungkapkan perasaan kesalnya terhgadap kelakuan saudara iparnya yang baru saja dibantu keluar dari permasalahan keuangan. “Nggak tahu diri benar iparku itu. Udah ditolong dengan membantu membayarkan tagihan kartu kreditnya yang macet, masak nggak bilang terima kasih sama sekali!” ungkapnya. “Bahkan menelepon kembali pun nggak. Apa dia nggak kerasa kalau sudah ditolong orang ya?..nyesel juga aku udah nolong dia, kalau aku tahu begini, aku nggak akan membantunya se-sen pun!”

Saya hanya bisa mendengarkan segala keluh kesah dan mencoba untuk menenangkan perasaan marahnya agar tidak semakin menjadi besar. Perasaan kesal seperti yang teman saya rasakan adalah wajar dan mungkin banyak diantara kita (bahkan saya sendiri) masih sering merasa kesal apabila orang yang kita beri pertolongan tidak mengucapkan terima kasih atas usaha kita.

Orang yang marah, hatinya penuh dengan racun” begitulah Konfusius pernah mengatakan. Dan saya merasa kasihan kepada teman saya tersebut karena saat itu (dan mungkin sampai kini) hatinya masih teracuni oleh sebab amarahnya. Perlu kita sadari bahwa manusia itu bermacam ragam tabiat-nya, itu sudah kodrat manusia. Tabiat untuk selalu berterima kasih terhadap setiap kebaikan tidaklah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam sebuah buku pernah saya baca bahwa “Tahu untuk berterima kasih kepada setiap kebaikan dan pemberian adalah buah dari pendidikan yang baik. Dan kita tidak bisa menemukan ini di setiap diri manusia”.

Kita sebaiknya mengetahui dan memaklumi bahwa tidak semua manusia memiliki sifat “tahu berterima kasih” dan juga kadang manusia “lupa” untuk berterima kasih. Jadi kalau ada orang yang kita tolong kemudian ternyata dia tidak berucap terima kasih adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, sebaiknya kita jangan selalu mengharap untuk mendapatkan ungkapan rasa terima kasih, sebab hal itu akan membuat hati kita jadi jengkel dan kesal.

Hal ini dipraktekkan oleh teman saya yang lain, seorang eksekutif muda yang bekerja di sebuah kedutaan besar asing. Setiap kali saudara-saudaranya membutuhkan bantuan dana (anak sekolah, masuk rumah sakit, bahkan untuk bayar hutang) mereka selalu datang ke teman saya ini. Sewaktu saya tanya apakah saudara-saudaranya berucap terima kasih dan kemudian datang untuk membayar kembali uang yang dipinjam, dia bilang tidak. Teman saya coba mensikapi hal tersebut dari sisi yang berbeda. Dia melihat bahwa apa yang dilakukannya semata-mata adalah ibadah karena Allah dan tidak mengharapkan balasan di dunia tapi nanti saat dirinya berpulang pada-Nya. Karena itulah dia selalu gembira dan iklhas saat memberikan bantuan dan tidak terpenjara dalam amarah dan kesal karena merasa perbuatan baik dan pemberiannya tidak berbalas langsung.

Teman saya agaknya mendekati gambaran syarat-syarat Manusia Ideal yang dijabarkan oleh seorang filsuf: Aristoteles. “Manusia Ideal,” kata Aristoteles,”Adalah orang yang merasa gembira bila dapat berbuat baik kepada orang lain, dan merasa malu bila menerima kebaikan dari orang lain. Sebab memberikan kebaikan adalah menggambarkan keagungan budi seseorang.” Kalimat Aristoteles itu senada sepengertian dengan sebuah cerita dalam sebuah pelajaran agama yang saya dengar waktu SD dulu, sebuah kisah dimana seorang Nabi telah berhasil menyembuhkan 10 orang kusta. Dan dari 10 orang kusta yang sembuh itu hanya ada satu yang mengucapkan terima kasih! Namun sang Nabi tersebut tidak mempermasalahkan hal itu.

Tabiat dapat berterima kasih tidak serta merta tumbuh sendiri, namun perlu dipupuk dan disiram laksana bunga yang terawat. Tidak heran, seringkali kita melihat (bahkan mungkin kita lakukan sendiri) kita selalu bilang kepada anak balita kita untuk jangan lupa bilang terima kasih ketika anak kita mendapatkan sesuatu dari orang lain. Namun pembelajaran itu akan sia-sia kalau kita hanya bisa meminta mereka untuk selalu berterima kasih tanpa kita juga selalu menunjukkan bagaimana caranya. Salah satu saudara saya yang mempunyai anak balita sering kesal melihat anaknya susah (atau lupa) untuk berterima kasih saat mendapatkan sesuatu dari orang lain. Saya seketika tahu sebabnya, ketika saudara saya menerima sesuatu dia juga ternyata tidak (atau lupa) untuk berucap terima kasih! Seorang anak kecil akan lebih cepat belajar dari apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh orang tuanya.

Nah, agar hidup kita dapat lebih bahagia: janganlah memikirkan dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang yang anda bantu, namun bergembiralah karena anda dapat memberi dan masih memiliki kesempatan untuk membantu orang lain.

Wednesday, July 18, 2007

Hati

Pada sebuah cerita, dikisahkan bahwa Tuhan ingin bersembunyi sementara dari umat-Nya yang tiada henti-hentinya memohon bantuan-Nya. Para malaikat banyak memberikan usul. Ada yang mengusulkan agar Tuhan bersembunyi di puncak gunung yang tertinggi, bersemayam sementara di lautan yang paling dalam dan tempat-tempat lain yang tiada mungkin dijamah dan didatangi oleh manusia. Namun Tuhan masih bimbang akan usulan-usulan tersebut, sampai akhirnya ada sebuah usulan yang sederhana: “Tuhan, bersembunyilah di hati sanubari manusia karena tempat itulah yang paling jarang didatangi oleh manusia”.

Hati disini bukanlah bermakna harfiah berupa organ yang berada dalam tubuh manusia. Hati sanubari lebih bermakna spiritual yaitu pada jiwa seseorang termasuk juga pikiran. Hati adalah cerminan sekaligus penyimpan memory dari segala perilaku dan juga perlakukan orang terhadap kita. Hati kita akan menyimpan rasa sakit apabila kita dizalimi oleh orang lain, karena itu orang menyebutnya sakit hati. Hati juga sebagai ”penjaga” segala perilaku, perkataan dan perbuatan saat kita berkehidupan sehari-hari karena itu bila kita akan berpisah dengan seseorang kita seringkali mengatakan ”hati-hati”.

Bila kita mulai mencintai seseorang akan disebut sebagai ”jatuh hati” dan apabila kita kemudian mencintainya dengan sungguh-sungguh kita akan menyebutnya dengan ”mencintai sepenuh hati”. Seorang anak yang dilahirkan dari dua orang yang saling mencintai akan disebut sebagai ”Buah hati”.

Beberapa contoh kata-kata diatas menunjukkan betapa peran hati sanubari selalu menjadi pusat dari setiap laku dan pikir kita. Hati adalah cermin. Apa yang kita lakukan terus menerus akan berpengaruh dan berbekas pada hati. Laku dan pikir yang baik akan membuat hati kita selalu bersih dan cemerlang. Sementara hal-hal tercela akan membuat hati kita selalu diselubungi oleh kabut kelam yang semakin lama semakin membuat hati kita menjadi hitam.

Hati yang hitam lambat-laun akan berkurang kepekaannya akan keindahan, kebenaran sejati dan kesucian. Dan hati yang hitam akan dengan sangat mudah dihinggapi oleh penyakit-penyakit hati. Penyakit-penyakit hati yang sering bersemayam dalam hati adalah Sombong, merasa lebih mulia, lebih pintar dan lebih baik dari orang lain. Serakah, keinginan untuk selalu menguasai dan mendapatkan lebih banyak dari orang lain serta ketiadaan keinginan untuk saling berbagi dengan orang lain. Iri dan dengki, yang selalu menyimpan rasa benci bila melihat orang lain lebih pandai, lebih baik, lebih kaya dll.

Hati adalah cermin sekaligus ”penyaring” dari apapun yang hendak kita lakukan. Bila kita terpancing untuk melakukan sesuatu kecurangan, bercermin dan bertanyalah pada hati kita. Bersih dan cemerlangnya sebuah hati sangat dipengaruhi oleh asupan ”makanan” yang kita konsumsi setiap waktu. ”Makanan” itu dapat berupa segala kejadian yang kita lihat, informasi yang kita baca, cerita yang kita dengar dan nilai-nilai spiritual yang kita yakini dan amalkan. Namun ”makanan” terbaik yang harus dikonsumsi oleh hati adalah dengan dengan sesering mungkin kita mendekatkan diri dengan mengunjungi Sang Pencipta yang selalu bersemayam di hati setiap insan.

Saya kembali teringat salah satu lagu yang sangat saya sukai yang syairnya berbicara mengenai Hati:
”Jagalah hati jangan kau kotori. Jagalah hati lentera hidup ini. Jagalah hati jangan kau nodai. Jagalah hati cahaya Illahi. Bila hati kian bersih. pikiranpun akan jernih. Semangat hidup nan gigih. Prestasi mudah diraih.”

Selamat bekerja!

Thursday, June 21, 2007

Lempar dadu Anda Segera!

Suatu siang pada hari Sabtu saya melihat beberapa anak kecil sedang berkumpul dan bermain sesuatu di teras rumah tetangga saya. Kelihatannya mereka asyik sekali dengan permainan itu. Ternyata mereka sedang bermain Ular Tangga, sebuahpermainan yang sudah lama tidak lagi saya lihat dimainkan oleh anak-anak jaman sekarang.

Ular tangga adalah permainan yang sederhana. Ada banyak kotak-kotak yang harus dilewati dan beberapa terdapat gambar Tangga dimana kita bisa naik ke tingkat diatasnya dan gambar Ular yang mengakibatkan kita bisa turun dari tempat semula. Perjalanan si pemain akan berakhir di sebuah kotak Finish yang terletak di tempat paling atas dari permainan itu. Untuk menjalani kotak-kotak sampai ke tujuan akhir itu kita harus mengocok sebuah dadu. Angka yang ditunjukan oleh dadu itulah yang akan menentukan berapa kotak yang akan kita lalui dan apakah Tangga atau Ular yang akan kita temui.

Kalau dicermati lagi, permainan Ular Tangga sesungguhnya merupakan penggambaran yang baik mengenai kehidupan kita. Kotak-kotak yang harus kita lalui menggambarkan tahapan kehidupan yang harus kita lewati. Kehidupan harus selalu bergerak maju begitu juga kehidupan. Kotak-kotak yang kita jalani dalam permainan Ular-Tangga adalah gambaran dari tahapan kehidupan yang kita lalui: masa kanak-kanak, sekolah, bekerja, kehidupan dengan sanak saudara, perkembangan spiritual dll.

Terkadang dalam perjalanan kehidupan itu kita mengalami cobaan dan musibah yang menyebabkan kita harus “turun” dari posisi yang sudah kita miliki. Musibah atau cobaan dalam permainan Ular-Tangga ditunjukkan dengan gambar Ular. Penurunan ini bisa berasal dari dalam diri sendiri ataupun berasal dari sesuatu yang berada di luar kendali kita. Misal, kondisi ekonomi memburuk atau sebuah kondisi perusahaan sedang kesulitan finansial menyebabkan perusahaan terpaksa memberikan pesangon kepada karyawannya. Sedangkan rasa putus asa, pesimis, ingkar terhadap perubahan, depresi adalah penurunan yang lebih berasal dari dalam diri sendiri.

Tangga dapat diibaratkan dengan prestasi, reward dan hal-hal lain yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan seseorang. Misal, seseorang mendapatkan promosi kenaikan jabatan dan pendapatan yang bertambah karena prestasi pekerjaannya yang meningkat secara signifikan. Seseorang yang mendapatkan reward yang besar karena membantu mendatangkan keuntungan kepada perusahaan atau seseorang yang berhasil menunaikan ibadah haji setelah menabung sekian lama. Peningkatan kualitas ini bisa saja yang terlihat oleh kasat mata (materi, jabatan) atau lebih bersifat pada kualitas bathin seseorang.


Kita hidup dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Kalau dalam permainan Ular Tangga anak-anak kita tahu dimana ujung perjalanan kita dan dimana saja letak Ular dan Tangga itu. Dalam Ular-Tangga kehidupan kita tidak tahu berapa banyak kotak yang harus kita lewati dan dimana saja kita akan menemui Ular ataupun Tangga. Suka atau tidak dengan permainan Ular Tangga Kehidupan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melempar dadu untuk bisa melangkah maju. Atau ia putuskan untuk terus saja ada di petak yang sekarang ditempati.


Untuk melangkah maju, seorang pemain Ular Tangga harus melempar dadu. Melempar dadu ini menggambarkan usaha kita untuk maju. Namun jumlah angka yang keluar sebagai dasar kita bergerak adalah mutlak milik Yang Maha Tahu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Kuasa kita hanyalah sebatas berusaha dengan ibarat lemparan dadu.


Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadunya kembali dan menyangka bahwa di kotak itulah nasib terakhirnya. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah mau melempar dadu lagi dan kembali kedalam permainan Ular Tangga Kehidupan. Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.
Karena itu, setiap kali menemui ”Ular”, segeralah lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian banyak lemparan (baca:usaha), kita pasti akan menemukan ”Tangga” yang akan mengangkat kita pada kehidupan yang lebih baik!

Monday, June 18, 2007

Berikan Maaf Dengan Segera!

Suatu malam saya mendapat telepon dari saudara saya dari luar kota. Diawali dengan basa-basi menanyakan kabar dan keluarga kemudian sampai pada tujuan utama: curhat. Dia merasa kesal dengan perlakuan adik iparnya yang seolah-olah bertindak tidak adil terhadap bapak mertuanya (bapaknya saudara saya) yang tinggal satu rumah dengan si adik ipar itu. Dia kesal dengan perlakuan yang menurutnya tidak adil, lebih kesal lagi karena adiknya yang menjadi suami dari adik ipar tersebut ternyata tidak berbuat banyak untuk merubah sikap sang adik ipar.

“Sakit hati rasanya mas kalau dengar cerita dari saudara yang lain mengenai perlakuan adik iparku itu”, ujarnya dengan ketus. “Aku sepertinya susah untuk memaafkan perlakuan dia terhadap bapak selama ini”. Saya yang mendengar limpahan curhatnya hanya bisa merespon sewajarnya karena saya sendiri tidak tahu bagaimana permasalahan sebenarnya.

Memang banyak kejadian yang dengan mudah memancing emosi amarah kita. Kita bisa marah karena orang lain tidak berlaku seperti apa yang kita hendaki. Kita bisa marah karena dunia seolah berjalan tidak mengikuti apa mau kita. Kita marah pada tukang ojek yang dengan seenaknya mengambil jalan kita dll. Kadang kita juga marah karena orang lain yang berlaku apa adanya dan seolah (atau memang sebenarnya) tidak tahu bahwa kita benci kepadanya. Akibat kemarahan itu kita dengan sadar menimbun amarah dalam otak kita berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.

Otak ibarat tubuh itu sendiri, yang perlu dengan kontinu diberi asupan gizi yang sehat dan seimbang agar otak selalu bertumbuh dan bekerja dengan baik. Makanan bagi otak kita adalah apapun yang kita pikirkan: kebencian, amarah, syukur, positif, optimis dll. Benci, iri dan marah ibarat makanan “beracun” bagi pikiran kita karena dia sanggup mematikan rasa optimis, cinta kasih dan toleransi terhadap orang lain. Apabila “makanan beracun” ini selalu dikonsumsi dalam dosis yang tetap bahkan meningkat akan merusak dan mempengaruhi tubuh yang lain. Ia akan mempengaruhi peredaran darah, sistem immun, meningkatnya tekanan jantung dll.

Kemarahan yang terpendam disinyalir merupakan penyebab dari pelbagai penyakit seperti pusing, migrain, sakit leher, pinggang, insomnia, ketakutan dan yang lebih ekstrem lagi adalah timbulnya depresi. Kemarahan ini akan menetap karena kita sebagai manusia punya kecenderungan untuk senantiasa melakukan satu hal: ‘Enggan untuk meMAAFkan orang lain!’

Untuk mencapai kebahagiaan kehidupan kita perlu mengubah cara pandang kita karena sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan diluar. Jangan sampai sikap orang lain dapat mempengaruhi kebahagiaan kita. Untuk bisa melakukan ini kuncinya hanya satu yaitu berusaha untuk memaafkan. Memaafkan orang lain sebenarnya bukanlah untuk kebaikan orang tersebut, tetapi untuk kebaikan kita sendiri.

Mempraktekkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Perbuatan memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja yang rela memaafkan. Ia bagai melepaskan beban berat dari pundak kita. Memaafkan bukan hanya pada sikap orang lain tapi juga memaafkan pada masa lalu kita yang selama ini kita rasakan menghalangi perkembangan jiwa anda.

Percayalah selalu akan hukum keseimbangan alam, dimana berlaku: siapa yang menabur benih, suatu saat dia akan juga menuai. Kalau ada seseorang yang memperlakukan saya dengan tidak baik (menzalimi), saya malah merasa kasihan karena sebenarnya orang tersebut sebenarnya sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika dia akan juga dizalimi oleh orang lain, itulah hukum keseimbangan alam. Segeralah maafkan, Tuhan saja Maha Memaafkan dan Pengampun terhadap ciptaan-Nya.

Mahatma Gandhi pernah berujar: “Memaafkan bukan menunjukkan bahwa kita lemah, namun sebaliknya Memaafkan merupakan bukti bahwa kita adalah orang yang kuat”. Karena ternyata memaafkan orang lain dengan ikhlas dan tulus adalah suatu sikap yang sulit untuk dilakukan.

Tuesday, June 5, 2007

Tujuan Bekerja

Suatu hari saya menerima telepon dari sobat lama saya sewaktu bekerja di sebuah kantor konsultan. Dia mengabarkan bahwa dia sudah mengundurkan diri dari posisi barunya yang cukup baik di sebuah Bank Swasta besar. Saya kaget mendengar kabar itu karena setahu saya dia bahkan belum melewati 1 tahun bekerja di tempat barunya.

Sewaktu saya tanya apakah keputusan mengundurkan diri itu terkait dengan besaran gaji dan tunjangan yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan atau posisi yang kurang tinggi, dia menjawab bukan. Keputusan ini diambil karena dia ingin bekerja sesuai dengan apa yang dia senangi dan cita-citakan sejak dulu: mengajar. Materi dan posisi yang tinggi tidaklah menarik lagi buat dia. Bagi dia kepuasan bekerja adalah dengan melakukan hobi sebagai sebuah pekerjaan, dan itu adalah mengajar.

Berbeda sekali dengan teman saya yang lain. Teman saya yang satu ini lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Otak cerdas, keinginan untuk selalu belajar akan hal baru dan semangat yang tinggi membuatnya dengan mudah mencapai posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Namun setiap kali dia bekerja tidaklah lebih dari 2 tahun. Beberapa kali saya dengar dia pindah tempat kerja yang berlainan industri dan terakhir saat kami bertemu dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta besar. “Gua belum tahu apa yang cocok buat gua, dan seringnya gua pindah kerja adalah untuk mencari yang cocok dan juga buat nyari duit lebih banyak,” ungkapnya suatu saat. Entah mana yang lebih utama: cari kecocokan dalam bekerja atau cari uang lebih banyak.

Banyak orang mengamini bahwa bekerja adalah sebagian wujud dari ibadah kepada Tuhan. Dan sadari atau tidak saat kita memutuskan untuk bekerja (apapun pekerjaan itu), sejatinya kita juga sudah membuat “perjanjian” dengan Tuhan bahwa kita melakukan pekerjaan ini semata karena juga sebagai ibadah kepada-Nya. Jadi saat kita menandatangani perjanjian dengan kantor baru kita sebagai seorang pegawai baru, secara paralel imajiner kita juga sebenarnya sudah menandatangani “perjanjian” yang sama dengan Sang Pencipta. Kalau dengan kantor perjanjian itu lebih bermakna pada hal-hal fisik (kehadiran, prestasi, hasil dll), sedangkan perjanjian dengan Tuhan lebih bermakna spiritual-ibadah.

Dalam setiap beribadah kita selalu dituntut untuk bisa khusyuk, sepenuh hati dan menampilkan yang terbaik dari diri kita. Karena Bekerja itu juga adalah Ibadah, maka tuntutannya pun akan sama. Bekerja dengan lebih khusyuk (konsentrasi), sepenuh hati dan berusaha selalu memberikan yang terbaik dalam pekerjaan kita. Kalau kita berlaku sebaliknya; bekerja asal-asalan, menganggap bekerja sebagai beban, tidak sepenuh hati, berlaku curang berarti sama juga dengan tidak melakukan ibadah dengan baik. Berarti juga kita seperti tidak menghargai Tuhan sebagai Sang Pencipta kehidupan.

Kalau kita bekerja dengan sungguh-sungguh, orientasi selalu pada hal-hal terbaik yang bisa kita berikan pada pekerjaan kita, akan memberikan manfaat pada banyak hal. Prestasi kita bagus di kantor, kita akan diganjar dengan penghargaan materi yang baik, kita akan menjadi lebih percaya diri dalam bekerja dan selain itu Yang Maha Adil juga akan melimpahi kita dengan pahala sebagai tabungan kebaikan untuk kehidupan kita nanti. Rekan saya dari Compliance pernah menulis sesuatu yang menarik: ‘bekerja dengan sepenuh hati tidak saja akan membuat hidup kita menjadi lebih “hidup” tapi juga memberi kesempatan bagi jiwa untuk selalu tumbuh’.

Saya kembali melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya dulu berkeinginan untuk menjadi seniman lukis. Namun karena kurang direstui oleh orang tua akhirnya saya menjadi arsitek. Dan sekarang saya malah bekerja di perbankan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia arsitektur. Selama rentang 10 tahun masa bekerja saya banyak belajar mengenai hakekat bekerja. Saya tidak pernah tahu apa pekerjaan yang cocok dengan pribadi saya. Sesuatu yang saya tahu pasti adalah saya akan selalu berusaha menyukai dan melakukan apapun pekerjaan saya dengan sepenuh hati serta berusaha selalu memberikan yang terbaik. Karena apapun yang saya lakukan untuk hidup selama saya bekerja sejatinya saya juga sedang beribadah.

Asah Kapak Anda!

Sebuah artikel menarik masuk dalam email saya minggu lalu dari sobat saya di Kantor Pusat. Tulisannya bercerita mengenai seorang penebang kayu.

Seorang anak penebang kayu yang beranjak besar mengutarakan niatnya untuk membantu ayahnya dalam menebang kayu di hutan. Si Ayah menyambut gembira keinginan itu dan memberikan kapak kesayangannya kepada sang anak. Maka mulailah sang anak bangun pagi, pergi bekerja selama 10 jam dan berhasil menebang 10 pohon setiap hari.

Waktu berlalu dan musim berganti, sang anak tetap konsisten dengan pekerjaan dan kebiasaannya. Selalu bangun pagi kemudian pergi ke hutan selama 10 jam setiap hari. Namun anehnya seiring berjalannya waktu, pohon yang ditebangnya semakin berkurang dan berkurang dari waktu ke waktu. Awalnya dia dapat menebang 10 pohon dalam waktu 10 jam, tetapi jumlah tersebut semakin berkurang menjadi 9, 8, 7 dan saat ini dia hanya bisa menebang 5 pohon dalam waktu 10 jam. Ayahnya pun menjadi heran dengan keadaan ini dan menanyakan kepada anaknya.

Anaknya mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari dirinya, dia tetap bangun pagi seperti biasa, bekerja selama 10 jam seperti hari-hari lainnya dan tetap bersemangat dalam bekerja. Saat ditanyakan apakah pernah sesekali mengasah kapak yang digunakan agar selalu tajam, barulah si anak mengerti. Selama ini dia bekerja dengan giat dan bersemangat namun dia lupa untuk mengasah kapak yang digunakan.

Cerita diatas mengingatkan saya akan buku Stephen Covey yang terkenal ”7 Habits of Effective People” terutama Habit ke 7 ”Sharpen the Saw” (asahlah gergaji anda). Dalam kalimat itu tersirat makna bahwa ada saatnya manusia perlu berhenti sejenak untuk instropeksi, belajar, berlatih, evaluasi, penyegaran, mengambil jarak dari lingkungan untuk ”mengisi baterai”-nya kembali.

Masih jelas dalam ingatan saya waktu ayah saya ikut kursus bahasa Inggris sewaktu beliau masih bekerja. Yang membuat saya kagum sekaligus geli adalah karena beliau mengambil kursus dari taraf basic yang rata-rata pesertanya adalah anak SD dan SMP sedangkan ayah saya waktu itu sudah berumur 50 tahun. Waktu saya tanyakan apa tidak merasa malu bergabung dengan anak-anak dalam satu kelas, beliau malah menasehati. ”Bagi Bapak belajar itu bisa kapan saja dan tidak perlu malu. Kita harus malu kalau kita melakukan kesalahan dan kecurangan. Lagipula bapak sekarang malah senang punya banyak teman walau mereka anak-anak”, jawab beliau saat itu. Akhirnya setelah 2 tahun beliau dapat menyelesaikan kursus itu sampai tingkat advance dengan baik.

Semangat belajar beliau yang tinggi itu saya praktekkan pada diri saya. Pada bulan Ramadhan sebelas tahun yang lalu, saya ingin sekali ikut pesantren Ramadhan yang diadakan oleh sebuah Pondok Pesantren di Yogya. Namun karena terlambat mendaftar ternyata kelas dewasa sudah penuh dan hanya tinggal kelas anak-anak yang masih bisa diikuti (SD dan SMP). Karena keinginan belajar sudah begitu kuat akhirnya saya setuju untuk ikut kelas anak-anak. Petugas yang saat itu melayani agaknya ragu dengan keinginan saya, sampai akhirnya saya yakinkan bahwa saya siap.

Pesantren Ramadhan itu dilaksanakan selama 3 minggu dan semua peserta menginap di pesantren tersebut. Hampir semua peserta adalah anak-anak SD dan SMP dan hanya saya yang kuliah S-2. Saat pertama kali masuk banyak yang menganggap bahwa saya adalah guru mereka dan mereka tidak percaya waktu saya katakan bahwa sayapun murid seperti mereka. Saya merasa tidak terganggu dengan usia teman-teman baru saya saat itu karena fokus saya adalah saya mau belajar dan mengasah pemahaman saya mengenai agama.

Dalam kehidupan, kita seringkali terlalu bersemangat dan larut dalam rutinitas kita sehari-hari dan lupa bahwa ada hal-hal penting yang harus terus kita asah agar kita tidak menjadi tumpul.
Kita perlu memberi kesempatan kepada diri untuk dapat mengasah ”kapak” kita agar selalu tajam. Kita perlu mengasah diri dengan hal-hal baru agar kita dapat selalu siap akan tantangan yang akan kita jelang di depan. Asahlah diri anda dengan kemahiran dan pengetahuan baru agar anda dapat bekerja lebih baik, asahlah mata bathin dan jiwa anda agar anda bisa menjadi manusia yang lebih bijaksana.

Wednesday, May 23, 2007

Memberi - Menerima

Sekali waktu saya menerima email dari salah seorang rekan pembaca setia LPB dari Solo, yang menanyakan pendapat saya mengenai Karma. Mungkin anda sering mendengar kata-kata Hukum Kharma tapi bagaimana memaknainya bisa jadi kita mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Prinsip Memberi-Menerima (dalam artikel lain disebut sebagai Prinsip Sebab-Akibat). Dari beberapa artikel yang saya baca, Prinsip Memberi - Menerima ini sejatinya adalah inti dari kehidupan itu sendiri. Banyak contoh-contoh dalam kehidupan saya maupun orang lain yang merupakan contoh baik dari prinsip ini. Seperti yang saya dengar dari pengalaman seorang sopir taksi yang saya temui suatu siang.

Sopir taksi Blue Bird yang saya temui ini berasal dari Pool Penggilingan dan sehari sebelumnya dia mengalami sebuah kejadian yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Dia membantu seorang ibu melahirkan di dalam taksinya. “Siang itu saya lihat seorang ibu yang sedang hamil tua menyetop taksi yang ada di depan saya, tapi ternyata taksi itu tidak mau berhenti. Karena saya ada dibelakang taksi tersebut saya berhenti,” ujarnya memulai cerita. “Ternyata belum sempat turun dari taksi, di depan Rumah Sakit Persahabatan ibu tersebut melahirkan dan saya ikut bantu semampu saya”.

Waktu saya pulang ke Pool dan cerita kepada rekan sesama sopir mereka banyak yang bilang bahwa rejeki saya akan menjadi lebih baik nantinya. Mungkin ada hubungannya atau tidak, omongan teman-teman saya di Pool ternyata benar-benar saya alami hari ini. Nggak seperti biasanya, sejak dari saya keluar pool jam 9 pagi tadi rejeki saya tidak pernah terputus. Tadi sebelum bapak naik, saya baru menurunkan penumpang di depan Stasiun Kota. Sebelumnya di depan Pool saya sudah dapat penumpang ke arah Kelapa Gading. Apa ini ya bukti bahwa Tuhan itu pasti akan membalas amal kebaikan yang dilakukan umatnya dengan kebaikan yang berlipat?”

Saya takjub dengan pengalaman yang diceritakan oleh sopir taksi ini. Saya semakin mendapat pembuktian akan kebenaran Prinsip Memberi – Menerima dalam kehidupan. Apapun yang kita Berikan kepada kehidupan, sekali waktu kita pasti akan Menerima-nya kembali. Kalau kita banyak berikan kebaikan kepada orang lain, sekali waktu kita pasti akan menerima banyak kebaikan dari orang lain juga. Sebaliknya, apabila kita menyemai hal-hal negatif pada kehidupan maka bersiaplah sekali waktu kita akan menerima buah (akibat) dari tindakan tersebut.

Bukti Prinsip Memberi – Menerima ini terpampang secara jelas dalam kehidupan sekitar kita. Petani akan menyemai benih padi dan memberi pupuk yang baik karena mereka yakin alam kelak akan memberi-kan butir-butir beras untuk dimakan. Hutan yang dengan rajin ditebangi hingga gundul, sekali waktu akan memberikan bencana banjir dan longsor kepada masyarakat disekitarnya. Bila kita mendidik anak dengan berlimpahan kasih dan cinta, maka tidak heran apabila saat si anak beranjak besar dia akan melimpahi orang tua dan orang-orang sekitarnya dengan penuh rasa cinta dan sayang juga.

Dalam dunia layanan pun tidak lepas dari prinsip ini. Sebuah perusahaan yang dapat memberikan Layanan yang baik kepada pelanggannya akan mendapatkan lebih banyak lagi pelanggan dan pelanggan akan dengan senang hati melakukan bisnis dengan kita. Bagaimana dengan pribadi kita? Sederhana saja, kalau kita ingin menerima perlakuan baik dari orang lain, kita harus juga memperlakukan orang lain dengan baik. Jadi jangan buru-buru menyalahkan orang lain apabila mereka bersikap tidak menyenangkan terhadap anda karena siapa tahu anda sendiri yang menunjukkan sikap tidak menyenangkan pada mereka.

Prinsip ini bekerja atas dasar kesadaran atau niat yang mendasari sebuah tindakan dan tidak bekerja atas dasar “ketidaksengajaan”, misal: tidur, jalan, tidak sengaja menginjak kaki orang,dll. Tidak ada seseorang pun yang menentukan ‘penghargaan maupun hukuman’ untuk apa yang kita lakukan. Kita menciptakan sebab-sebab dari tindakan kita, dan kita jualah yang akan mengalami akibatnya. Kitalah yang bertanggung jawab atas kehendak dan tindakan kita sendiri.
Dalam sebuah tulisan disebutkan bahwa Buddha mengajarkan: “Sesuai dengan yang ditanam. itulah yang akan dipetik, Begitu juga dengan buah yang terima. Pembuat kebajikan akan mendapatkan hasil yang menyenangkan, Pembuat kejahatan akan memetik hasil yang menyedihkan. Jika kau tanam benih-benih kebajikan dengan baik, Maka kau akan menikmati buah-buah kebahagiaan”.

Mengendalikan Tindakan

Setiap pulang kantor saya selalu melewati jalan depan Stasiun Bekasi yang sangat padat terutama pada sore hari. Kepadatan itu semakin bertambah parah karena banyak pengendara sepeda motor yang tidak mau mengalah dan cenderung mengambil badan jalan yang berlawanan. Malam itu kembali saya temui keadaan yang sama. Di depan mobil saya banyak motor yang berjalan berlawanan arah. Tanpa peduli mereka tetap melaju perlahan mengambil jalur yang salah.
Ketika mobil saya jalankan perlahan tiba-tiba dari arah depan mendadak muncul sebuah sepeda motor yang berjalan kencang dengan mengambil jalur yang salah. Karena kaget, mobil saya rem mendadak sehingga motor tersebut dapat lewat disamping mobil saya dan serempetan tidak terjadi. Mobil lain dibelakang saya yang kebetulan melihat kejadian tersebut membunyikan klakson. Terus terang saat itu saya emosional sekali dan ingin rasanya turun dan memaki-maki pengendara motor tersebut.


Saat perjalanan saya lanjutkan kembali saya mencoba meredakan emosi yang tadinya muncul. Saya kemudian membayangkan kejadiannya apabila saat itu saya turun dan mendatangi pengendara motor tersebut untuk memberi pelajaran. Saya mungkin saja bisa puas dengan melakukan itu. Tapi apa manfaatnya buat saya? Apakah hidup saya bakal lebih bahagia? Istri saya bakal lebih cinta pada saya? Atau hanya kepuasan yang sifatnya hanya sementara saja?.

Saya teringat oleh sebuah artikel menarik yang dikirimkan oleh rekan saya di kantor mengenai prinsip 90/10. Stephen Covey sebagai penggagas prinsip ini mengatakan bahwa 10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi pada diri kita dan 90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi dan memberi respon. Kita tidak memiliki kontrol terhadap apa yang terjadi terhadap diri kita. Kita tidak dapat mencegah kemacetan di jalan, mobil yang tiba-tiba mogok, pesawat yang delay dan dalam kasus saya adalah motor yang mengambil arah yang berlawanan. Tapi yang 90% sungguh berbeda. Kita memiliki kemampuan untuk mengontrol yang 90%. Kita tidak dapat mengontrol motor yang berjalan berlawanan dan membahayakan, tapi kita dapat mengontrol bagaimana reaksi kita terhadap peristiwa tersebut.

Kalau dalam kasus saya diatas saya berkeras untuk turun dan memberi pelajaran kepada pengendara motor diatas akan sangat berbeda akhir ceritanya. Berikut kemungkinan-kemungkinannya : saya tiba di rumah akan jauh lebih lama, saya akan jadi tontonan banyak orang, lalu lintas bakal tambah macet karena saya berhenti, banyak orang yang jadi marah ke saya karena berhenti sembarangan, darah tinggi saya bisa kumat dll. Dan semua itu sebabnya hanya sederhana: karena reaksi saya terhadap sebuah kejadian.

Kita sungguh tidak memiliki kuasa terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita tapi kita punya kekuasaan besar untuk menentukan reaksi kita terhadapnya. Reaksi dipicu dari pikiran kita dan sekali keputusan diambil dan dilaksanakan tidak dapat kita tarik kembali. Dan apabila ternyata hasilnya tidak menyenangkan, hanya penyesalan yang akan terucap.

Stephen Covey menyebutkan beberapa cara bagaimana menerapkan prinsip 90/10 ini. Bila ada komentar negatif tentang anda, janganlah mudah terpengaruh dan langsung bereaksi. Biarkan komentar itu berhenti karena benar tidaknya komentar itu anda yang menentukan. Bila ada kejadian tidak enak menimpa anda, janganlah mengumbar emosi dengan langsung bereaksi. Pikirkan dampaknya apabila anda hendak melakukan sesuatu. Keputusan reaksi yang salah dapat menyebabkan banyak hal: anda tambah stress, kehilangan teman, anda dipersepsikan negatif oleh orang lain, sampai kehilangan pekerjaan dll.

Konsep 90/10 ini sangatlah sederhana namun kita sering alpa untuk menerapkannya dalam kehidupan kita. Bila anda ingin hidup anda lebih baik dan menyenangkan, tidak ada salahnya mulai hari ini mari kita sama-sama menerapkan prinsip 90/10 ini dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan kita!

Monday, May 14, 2007

Pak Turyadi

Suatu malam beberapa bulan yang lalu, istri saya yang saat itu tengah hamil tua pulang menggunakan taksi Blue Bird dari kantornya di Pluit. Selama perjalanan Pak Turyadi sopir Blue Bird tersebut sangat sopan dalam berbicara dan sangat mengerti bahwa penumpangnya kali ini adalah seorang ibu hamil sehingga dia berhati-hati dalam mengemudi. Sesampainya di rumah, istri saya memberikan ongkos ditambah dengan tip sebesar Rp.90,000. Saya kebetulan yang menjemputnya di pintu pagar melihat Pak Turyadi membantu membukakan pintu agar istri saya tidak repot untuk keluar. Saya surprise dengan tindakan bapak tersebut dan saya mengucapkan banyak terima kasih karena telah mengantarkan istri saya. Pak Turyadi tersenyum kemudian kembali masuk ke mobil dan pergi.

20 menit kemudian saya dengar ada seseorang memencet bel pintu rumah dan saya lihat kembali Pak Turyadi tapi kali ini disertai dengan pembantu rumah sebelah. Karena bingung saya bertanya ada apa dan saya kira istri saya kurang dalam memberikan ongkos. Ternyata sebaliknya, Pak Turyadi berkata,” Maaf Pak saya mengganggu, saya mau mengembalikan uang ibu karena tadi ibu memberikan uang ongkos taksi kelebihan”. Kemudian saya tanyakan berapa istri saya membayar kepada sopir tersebut dan berapa kelebihannya.”Tadi ibu memberi ke saya Rp.450,000 sedangkan ongkosnya sekitar Rp.86,300, jadi pembayaran ibu kelebihan Rp.363,700 dan saya mau mengembalikan kelebihan uang tersebut”.

Saya seakan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Seseorang datang hendak mengembalikan uang yang kita sendiri tidak tahu bahwa uang yang kita berikan ternyata kelebihan. Ternyata istri saya keliru memberikan uang, pecahan Rp.10,000 dan Rp.100,000an akan kelihatan serupa dalam kegelapan dan saat itu istri saya memberikan 1 lembar Rp.50,000 dan 4 lembar Rp.100,000. Kemudian saya ajak pak Turyadi masuk untuk sekedar mengobrol. Dia bercerita sehabis mengantarkan istri saya dia berniat untuk langsung pulang ke pool di Kramat djati karena hari sudah cukup malam dan diperkirakan sudah cukup uang yang didapat malam itu. Kemudian dia menceritakan apa yang terjadi..

Sambil beristirahat saya menghitung uang yang sudah saya dapat pada satu hari ini. Pada saat saya mengambil uang yang ada di saku baju (ongkos penumpang terakhir-istri saya) saya kaget kenapa bisa ada uang segini banyak dikantong (Rp.450,000). Kemudian saya ingat uang disaku baju itu adalah ongkos pemberian dari ibu. Saat itu juga langsung saya berniat untuk mengembalikan mumpung hari belum larut malam. Tapi masalahnya saya lupa arah rumah ibu, saya hanya ingat dibelokan saya lihat ada sekolah TK. Saat saya mondar-mandir itulah saya ditanya oleh pembantu rumah sebelah yang mungkin melihat saya mondar-mandir terus. Saat saya bilang saya mau cari rumah penumpang saya ibu hamil yang rumahnya sekitar sini dia langsung tahu dan membantu saya untuk sampai disini. Dan ternyata benar..”

Saya terus terang terharu dengan kejujuran dan ketulusan Pak Turyadi ini. Kemudian saya tanya kenapa bapak tidak ambil saja uang itu, karena toh kami juga tidak tahu kalau kami kebanyakan dalam membayar. Jawabnya,” Pak, saya yakin bahwa itu bukanlah rejeki saya. Hari ini rejeki saya sudah dicukupkan oleh Tuhan dan saya tidak mau mengambil yang bukan hak saya karena kalau saya ambil akan membebani saya dan pasti tidak membawa kebaikan”. Istri saya yang sedari tadi termangu mendengarkan mulai menitikkan airmata, sayapun terharu mendengar penjelasan itu.

Kami terharu sekaligus berterima kasih karena kami sedang ditunjukkan oleh yang Maha Tinggi bukti nyata bahwa kejujuran masihlah menjadi hal yang terbaik dan terindah yang dapat menjadikan hidup kita lebih bermakna. Pembelajaran yang langsung menghujam kedalam benak kami. Dalam kehidupan kota besar yang serba cepat, sibuk dan individualistis akan dapat membuat rohani kita menjadi kering dan kejadian seperti ini selaksa siraman rohani yang menyejukkan hati.

Pak Turyadi, lelaki kurus dengan sebagian besar rambut yang mulai memutih seolah dikirimkan oleh Yang Maha Agung untuk memberikan dan menunjukkan pelajaran yang sangat berharga tentang kejujuran. Kejujuran yang selayaknya menjadi prioritas utama untuk diterapkan dalam hidup dan pekerjaan kita.

Banyak Senyum Banyak Rejeki!

Senyum mempunyai segudang manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Diantara manfaat senyum adalah sebagai berikut :

1. Dari segi penampilan, Senyum dapat memperbaiki penampilan dan menambah daya tarik. Dengan senyuman, kita akan lebih dihargai dan disegani.

2. Dari segi kesehatan, orang yang murah senyum biasanya terjaga dari penyakit yang bernama stress. Jantungnya akan berdetak secara normal, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit ketegangan. Menurut pendapat para dokter, untuk menghasilkan sebuah senyuman hanya dibutuhkan 17 otot wajah. Berbeda dengan orang yang suka marah, hobinya cemberut, atau suka mengomel, biasanya kelihatan lebih tua. Memang tiga aktivitas terakhir membutuhkan 32 otot wajah inilah yang menjadi penyebabnya.

3. Dari segi sosial, senyuman merupakan suatu bentuk keakraban dalam pergaulan masyarakat. Karena memang ketika melihat seseorang yang murah senyum, akan terasa menyenangkan.

Senyuman memang sesuatu yang hebat dan dahsyat. Senyuman yang penuh dengan ketenangan akan mampu meluluhkan kemarahan seseorang. Banyak orang bilang bahwa senyum dapat memunculkan inner beauty seseorang , tentu apabila senyum itu dilakukan dengan tulus dari hati.

Bukankah dunia akan menjadi indah dengan senyuman dan apa jadinya bila semua orang bermuka masam, dan selalu cemberut...?!

Maka tersenyumlah... niscaya dunia akan tersenyum bersama kita...!

Pembelajaran
Apabila anda ingin:
1) Tampil lebih menarik dan cantik,
2) Dihargai dan disegani oleh orang lain,
3) menjadi lebih sehat setiap hari,
4) menjadi orang yang menyenangkan bagi lingkungannya;

caranya mudah: SENYUMLAH!