Wednesday, August 15, 2007

Merdeka!

Di komplek perumahan saya terasa ada yang berbeda dengan hari-hari lain. Terdapat keriuhan di lapangan olah raga, terutama pada saat sabtu dan minggu dimana beberapa pertandingan olah raga diadakan. Di depan setiap rumah, para tetangga sudah mulai memasang bendera pertanda ada perayaan yang akan dijelang: Kemerdekaan Negara kita!

Kemerdekaan identik dengan kondisi yang bebas dan terlepas dari sebuah belenggu, keterikatan dan ketergantungan pada sesuatu dan mulai menentukan keinginan secara mandiri. Kemerdekaan paling mudah diperlihatkan dengan terlepasnya ketergantungan secara fisik. Padahal hakekat sebenarnya dari kemerdekaan adalah meliputi dimensi yang lain juga yaitu, secara mental dan emosional. Banyak artikel di Koran, majalah maupun jurnal-jurnal yang menuliskan bahwa sudah waktunya kita menjadi manusia yang Merdeka. Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah anda sudah merasa Merdeka? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telaah lebih lanjut tentang diri kita.

Dikatakan bahwa kemerdekaan adalah lepasnya terhadap sebuah ketergantungan. Ketergantung yang paling terlihat adalah pada apa-apa yang kita miliki. Banyak orang yang meletakkan kebahagiaan hidup pada benda-benda yang mereka sudah dan akan miliki. Kita sering merasa bahagia karena memiliki mobil baru, rumah baru atau jabatan yang baru. Bahkan seorang teman pernah terucap bahwa dia dan keluarga akan bisa bahagia kalau sudah mampu beli mobil. Sejatinya, hal-hal tersebut adalah sekedar pelengkap dan sekali waktu kita bisa saja kehilangan. Kita akan menjadi kehilangan pegangan dan keriaan manakala segala milik kita tersebut tidak lagi kita miliki. Karena itu janganlah menggantungkan asa kita pada apa yang kita miliki. Ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh mensyukuri dan mencintai apa yang sudah kita miliki, sama sekali tidak. Tetaplah berusaha mencari dan memiliki sesuatu namun janganlah kemudian meletakkan kebahagiaan kita disana. Intinya adalah boleh untuk “memiliki” namun jangan sampai “dimiliki” oleh hal-hal tersebut.

Kemerdekaan secara mental dan emosional adalah hal yang tersulit. Masing-masing dari kita sebenarnya memiliki “remote control” kehidupan. Dimana pada saat kita menekan tombol “Happy” pada remote control tersebut kita akan serta merta merasa gembira dan sebaliknya. Namun disadari atau tidak, banyak dari kita yang “remote control” kehidupannya dikendalikan oleh orang lain. Orang berbuat tidak menyenangkan akan membuat kita emosi, marah dan bahkan mendendam. Meskipun orang yang berbuat tersebut tidak sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan namun pikiran kita telah teracuni oleh amarah.

Orang memberikan pujian kepada kita akan membuat kita senang. Apabila pekerjaan kita dikritik, kita akan sedih dan atau malah kehilangan percaya diri. Orang membantah pendapat yang kita utarakan, kita marah dan sakit hati. Begitu banyak bukti bahwa banyak hal diluar kita yang mengendalikan sikap, perasaan dan pikiran kita. Ini juga berarti kita membiarkan orang lain untuk bisa sekehendak hati menekan-nekan tombol “remote control” kehidupan kita. Kita masih tergantung pada orang lain untuk menentukan apakah kita bahagia atau tidak.

Kita adalah tuan atas diri kita sendiri dan kita jugalah yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak. Bukannya orang lain atau bahkan benda-benda yang kita miliki. Kemerdekaan juga berarti bahwa kita dapat mengendalikan perasaan kita, bukan sebaliknya.

MERDEKA !

Wednesday, August 8, 2007

Target

Minggu lalu saya makan siang bareng dengan 2 orang rekan lama saya sewaktu kuliah dulu. Andre adalah seorang cerdas lulusan dari Fakultas Ekonomi UGM. Rupanya karirnya di sebuah bank swasta cukup mencorong dan sudah 3 tahun ini dia dipercaya sebagai kepala cabang. Agung, rekan saya yang satu lagi seorang insinyur sipil, masih setia berkutat dengan profesi konsultan-nya dengan jabatan senior konsultan di sebuah biro konsultan manajemen asing. Kami bertiga dulu berada dalam 1 kelas ketika mengambil program master sekitar 10 tahun yang lalu.

Siang itu Andre banyak bercerita mengenai posisi dia sebagai orang yang berkuasa di cabang dan tantangan-tantangan pekerjaan yang dihadapi. Kebetulan cabangnya adalah cabang yang cukup baik dalam menghasilkan keuntungan. “Wah, tahun ini gua bakal abis-abisan nyari duit nih. Target yang diberikan dari kantor pusat naik hampir 100% dari tahun lalu!” ujarnya. “Gua kan baru di cabang ini dan gua mesti nyari bisnis baru sebanyak itu…puyeng dah!”. Kemudian dia menjelaskan betapa kerasnya persaingan dunia perbankan sekarang dan nasabah juga mulai banyak pilihan dalam mencari bank.

Agung yang sedari tadi diam akhirnya bicara,” Sebenarnya yang jadi masalah bukan angka target yang besar yang perusahaan berikan, tapi lebih kepada bagaimana cara kamu melihat dan berpikir terhadap angka itu”. Andre tampaknya belum paham maksudnya.

Agung kemudian melanjutkan;“Begini Ndre, kalau kamu melihat angka totalnya pasti kelihatan gede banget dan kamu akan berpikir gak bakalan bisa elo capai. Coba lihat dengan lebih sistematis, misal target perusahaanmu Rp.10 triliun tahun ini. Bagikan nilai Rp.10 triliun itu dengan jumlah kantor bank kamu yang ada 231 cabang. Jadi totalnya kan sekitar Rp.43,290 milliar per tahun per kantor. Trus coba deh bagi angka Rp.43,290 milliar itu dengan jumlah hari kerja per tahun. Anggap aja hari kerja efektif pertahun hanya 250 hari, jadi angka terakhir yang elo dapet sekitar Rp.173,160 juta perhari untuk setiap cabang. Dan aku yakin setiap cabang tentu targetnya tidak sama karena sangat tergantung dari kondisi ekonomi dan bisnis di tiap-tiap cabang, ya kan?. Udah gitu, bagi lagi angka Rp.173,160 juta itu dengan jumlah staff sales di kantormu, dapatlah target per-orangnya.”

Perlahan Andre mulai melihat alasan logis dari penjelasan tersebut. Sambil tangannya memencet-mencet kalkulator, dia berseru; ”Berarti kalau misalnya aja ada nasabah gua yang mau naruh duitnya di deposito Rp.2 M aja berarti gua udah penuhi untuk target selama 11 hari dong..!”. Kemudian Agung melanjutkan,” Nah dengan begitu kamu bisa memanfaatkan waktu yang lebih 10 hari itu untuk cari bisnis baru atau untuk me-maintain nasabah-nasabahmu supaya jangan lari ke bank-nya si Arif ini”. Saya hanya tersenyum saja mendengar penjelasan tersebut.

Saya tidak pernah menjadi kepala cabang dan karena itu saya tidak bisa merasakan bagaimana rasanya dibebani oleh target-target. Hanya saja saya melihat cara berpikir sederhana yang dijelaskan tadi sebenarnya merupakan salah satu cara untuk mempermudah kerja kita. Saya pikir banyak benarnya pola pikir yang dijelaskan oleh Agung. Salah seorang kenalan saya seorang sales coordinator dari sebuah produk farmasi juga sering mengatakan demikian kepada jajaran sales-nya. Buatlah perhitungan target menjadi lebih detail dan sistematis. Dengan begitu kalian bisa membuat action plan yang baik dan sekaligus juga tahu bagaimana dan kapan target itu bisa dicapai.

Saya jadi teringat dengan artikel LPB minggu lalu tentang sebuah Jam yang menolak ketika diminta untuk berdetak 31 juta kali dan baru mau berdetak untuk 1 kali tiap 1 detik., padahal kalau dijumlah secara total sama dengan angka awal yang diminta. Dari ilustrasi Agung tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar dan bisa diaplikasikan di lapangan tapi pesan tersirat dari penjabaran itu adalah kita diajak untuk cerdik dalam mensikapi sebuah tuntutan (target) dengan membuat sebuah perhitungan dan perencanaan yang detail. Target apapun yang kita buat butuh sebuah perencanaan yang matang. Kalau kita ingin kehidupan kita lebih baik di masa depan, kita perlu membuat perencanaan yang matang agar kita tahu apa yang harus kita lakukan dan berapa lama sebuah keinginan itu bisa terwujud.

Di akhir penjelasan, Agung menambahkan,”Perencanaan yang baik dan detail tetap akan hanya menjadi sebuah perencanaan kalau dalam diri kita tidak ada niat untuk mewujudkannya”.

Transformasi

Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40. Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang.

Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian, atau
Mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan --- suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.

Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang , berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut
terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan
ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.

Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!

Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan. Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan.

Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan andalah sang penguasa atas diri anda. Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.
Anda adalah elang-elang itu.

Perubahan pasti terjadi. Maka itu, kita harus berubah!

Hilangkan Kesedihan dengan Bekerja

Beberapa waktu yang lalu saya menelepon teman kuliah saya di Yogya, yang beberapa bulan lalu mendapatkan cobaan dengan meninggalnya anak kedua yang baru dilahirkannya. Saat itu kami mengobrol panjang lebar dan dia sudah kembali dapat berbicara dengan suaranya yang selalu terdengar bersemangat, menceritakan bagaimana dia melalui hari-harinya pasca musibah tersebut.

Awalnya berat sekali buat aku untuk bisa menerima kenyataan bahwa kami telah kehilangan anak kedua kami. Butuh kekuatan besar untuk bisa mengabarkan hal ini kepada teman-teman lain. Kesedihan dan besarnya rasa kehilangan membuat aku menjadi tidak tahu harus bertindak dan bersikap seperti apa. Aku jadi tidak produktif dan semakin lama semakin tenggelam dalam ketidak berdayaan. Banyak rekan dan saudara yang minta aku dan suamiku pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Aku coba lakukan itu namun sejauh apapun aku pergi, pikiran kesedihan itu ternyata tidak pernah juga bisa jauh dari pikiranku”.

Kemudian dia melanjutkan: ”Akhirnya atas desakan suami, aku kuatkan diri untuk kembali ke kampus dan kembali aktif mengajar dan membimbing mahasiswa yang beberapa waktu telah aku telantarkan. Aku langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda, kembali aktif mencari hal-hal baru yang bisa aku sumbangkan ke kampusku dan aku mulai ikuti beberapa sayembara arsitektur yang diadakan. Ajaib! Seiring dengan semakin sibuknya diriku, secara perlahan pula kesedihan dan pilu akan kehilangan berangsur beralih rupa menjadi keikhlasan untuk merelakan dan kembali menumbuhkan semangat yang selama beberapa waktu terkubur. Kepercayaan diriku bangkit dan akhirnya sekarang aku seperti terlahir kembali dengan seragam semangat yang baru dalam menata dan menatap kehidupan”.

Saya takjub dengan proses perubahan yang dia alami dan lakukan. Saya pernah membaca dalam sebuah buku bahwa salah satu hukum yang paling mendasar yang pernah dikemukakan dalam ilmu psikologi adalah: bahwa pikiran manusia, betapapun cerdasnya, sama sekali tidak mungkin bisa memikirkan lebih dari satu hal dalam waktu bersamaan. Kita tidak bisa memikirkan secara bersamaan rencana liburan akhir pekan dan pekerjaan kantor yang masih belum selesai dikerjakan. Memang kita bisa memikirkan kedua hal itu namun secara bergantian dan tidak dalam waktu yang sama kita bisa konsentrasi akan kedua hal tersebut.

Itu sama juga dengan keadaan emosi (baca: perasaan): kita tidak dapat merasa bersemangat dan begitu bergairah dalam mengerjakan sesuatu namun pada saat yang sama kita juga merasa sedih dan patah semangat. Alam pikiran hanya dapat menerima satu jenis perasaan dalam satu waktu. Perasaan (emosi) negatif seperti rasa benci, sedih, takut, cemburu dan iri hati ibarat angin dengan energi yang dinamis dan kekuatan yang besar yang dapat dengan mudah mengusir dan menghancurkan pikiran bahagia, kedamaian dan ketenangan.

Emosi negatif dengan kekuatannya dapat kapan saja merasuki pikiran kita terutama apabila pikiran kita “kosong” dan saat kita bebas dan bersantai-saat-saat yang seharusnya kita merasa bahagia. Pikiran itu seperti alam semesta, dimana “Alam tidak menyukai/ menerima adanya kehampaan”. Begitu kehampaan akan terjadi, saat itu pula akan ada zat yang mengisinya. Begitu juga pikiran, sekali pikiran anda “kosong”, emosi apapun akan bisa masuk untuk mengisi “kekosongan” itu. Sayangnya, emosi-emosi yang paling aktif untuk berusaha masuk kedalam pikiran kita adalah emosi negatif seperti: kenapa hidup saya seperti berjalan ditempat? Kenapa saya tidak punya banyak uang seperti rekan yang lain? Kenapa atasan saya memarahi saya hari ini? Akan seperti apa hidup saya kedepan? Dan macam-macam lainnya.

Urip kuwi mung mampir ngombe” salah satu pepatah jawa yang sangat saya kenal, yang kalau ditilik artinya senada dengan “bahwa hidup itu singkat”. Nah kalau kita sudah tahu bahwa hidup itu sebenarnya singkat, apakah anda masih mau dan rela ke-“singkat”-an itu sepertiga, seperempat atau bahkan separuhnya anda isi dengan kesedihan, kekecewaan dan keterpurukan pikiran? Kalau anda sejalan dengan saya bahwa hidup itu harus bermakna, mari kita singsingkan lengan baju dan mulai untuk mengisi hidup ini dengan menyibukkan diri dan pikiran kita dengan sesuatu yang positif dan berguna bukan hanya buat diri sendiri tapi lebih baik lagi buat orang lain!

Kepiting

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting bahkan mungkin kita sering memakannya, tapi tidak banyak yang tahu sifat sebenarnya dari kepiting.

Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.
Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah tanpa diikat. Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini adalah kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat mereka bergerak perlahan hendak keluar dari baskom.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal tidak khawatir meskipun hasil buruannya selalu berusaha untuk meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu karena si pemburu tahu betul sifat kepiting. Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, kepiting-kepiting lainnya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi kepiting lain akan menariknya turun dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu tinggal memasak mereka semua.

Begitu pula dalam kehidupan ini, tanpa sadar kita juga terkadang menjadi dan berperilaku seperti kepiting-kepiting itu. Kita yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita bersikap malah mencurigai, dan berpikiran jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang tidak benar. Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sebenarnya secara perlahan membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu adalah proses yang kita lalui dan seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya. Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan. Namun setidaknya kita telah melangkah lebih maju dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’: (1). Selalu mengingat kesalahan orang lain (bisa orang lain atau situasi yang sudah lampau) dan menjadikannya sebagai suatu prinsip/pedoman dalam bertindak. (2). Banyak mengkritik orang lain dan situasi tapi tidak ada keinginan dirinya untuk ikut berubah dan memperbaiki diri. (3). Suka membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini akan menjadi penghambat dalam lingkungannya dan menghambat dirinya sendiri untuk maju.

Banyak rekan saya yang ”diprogram” oleh orang tuanya untuk jadi pemenang dalam setiap hal yang dia lakukan. Namun sayangnya banyak juga orang tua yang lupa untuk menjelaskan apa dan siapa sebenarnya ”pemenang” sejati. Bagaimana sebenarnya seorang ”pemenang” dan bagaimana proses kemenangan sebaiknya diraih. Pemenang bukanlah semata menduduki peringkat teratas dan nilai terbaik, namun lebih kepada kemauan dan kemampuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, berorientasi pada kemajuan dan berguna bagi sekitarnya
.

Terima kasih

Saat makan siang bersama dengan seorang teman lama saya, dia kelihatannya sedang kesal karena terlihat dari air mukanya yang keruh. Begitu kami mulai duduk untuk memesan makanan, dia mulai mengungkapkan perasaan kesalnya terhgadap kelakuan saudara iparnya yang baru saja dibantu keluar dari permasalahan keuangan. “Nggak tahu diri benar iparku itu. Udah ditolong dengan membantu membayarkan tagihan kartu kreditnya yang macet, masak nggak bilang terima kasih sama sekali!” ungkapnya. “Bahkan menelepon kembali pun nggak. Apa dia nggak kerasa kalau sudah ditolong orang ya?..nyesel juga aku udah nolong dia, kalau aku tahu begini, aku nggak akan membantunya se-sen pun!”

Saya hanya bisa mendengarkan segala keluh kesah dan mencoba untuk menenangkan perasaan marahnya agar tidak semakin menjadi besar. Perasaan kesal seperti yang teman saya rasakan adalah wajar dan mungkin banyak diantara kita (bahkan saya sendiri) masih sering merasa kesal apabila orang yang kita beri pertolongan tidak mengucapkan terima kasih atas usaha kita.

Orang yang marah, hatinya penuh dengan racun” begitulah Konfusius pernah mengatakan. Dan saya merasa kasihan kepada teman saya tersebut karena saat itu (dan mungkin sampai kini) hatinya masih teracuni oleh sebab amarahnya. Perlu kita sadari bahwa manusia itu bermacam ragam tabiat-nya, itu sudah kodrat manusia. Tabiat untuk selalu berterima kasih terhadap setiap kebaikan tidaklah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam sebuah buku pernah saya baca bahwa “Tahu untuk berterima kasih kepada setiap kebaikan dan pemberian adalah buah dari pendidikan yang baik. Dan kita tidak bisa menemukan ini di setiap diri manusia”.

Kita sebaiknya mengetahui dan memaklumi bahwa tidak semua manusia memiliki sifat “tahu berterima kasih” dan juga kadang manusia “lupa” untuk berterima kasih. Jadi kalau ada orang yang kita tolong kemudian ternyata dia tidak berucap terima kasih adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, sebaiknya kita jangan selalu mengharap untuk mendapatkan ungkapan rasa terima kasih, sebab hal itu akan membuat hati kita jadi jengkel dan kesal.

Hal ini dipraktekkan oleh teman saya yang lain, seorang eksekutif muda yang bekerja di sebuah kedutaan besar asing. Setiap kali saudara-saudaranya membutuhkan bantuan dana (anak sekolah, masuk rumah sakit, bahkan untuk bayar hutang) mereka selalu datang ke teman saya ini. Sewaktu saya tanya apakah saudara-saudaranya berucap terima kasih dan kemudian datang untuk membayar kembali uang yang dipinjam, dia bilang tidak. Teman saya coba mensikapi hal tersebut dari sisi yang berbeda. Dia melihat bahwa apa yang dilakukannya semata-mata adalah ibadah karena Allah dan tidak mengharapkan balasan di dunia tapi nanti saat dirinya berpulang pada-Nya. Karena itulah dia selalu gembira dan iklhas saat memberikan bantuan dan tidak terpenjara dalam amarah dan kesal karena merasa perbuatan baik dan pemberiannya tidak berbalas langsung.

Teman saya agaknya mendekati gambaran syarat-syarat Manusia Ideal yang dijabarkan oleh seorang filsuf: Aristoteles. “Manusia Ideal,” kata Aristoteles,”Adalah orang yang merasa gembira bila dapat berbuat baik kepada orang lain, dan merasa malu bila menerima kebaikan dari orang lain. Sebab memberikan kebaikan adalah menggambarkan keagungan budi seseorang.” Kalimat Aristoteles itu senada sepengertian dengan sebuah cerita dalam sebuah pelajaran agama yang saya dengar waktu SD dulu, sebuah kisah dimana seorang Nabi telah berhasil menyembuhkan 10 orang kusta. Dan dari 10 orang kusta yang sembuh itu hanya ada satu yang mengucapkan terima kasih! Namun sang Nabi tersebut tidak mempermasalahkan hal itu.

Tabiat dapat berterima kasih tidak serta merta tumbuh sendiri, namun perlu dipupuk dan disiram laksana bunga yang terawat. Tidak heran, seringkali kita melihat (bahkan mungkin kita lakukan sendiri) kita selalu bilang kepada anak balita kita untuk jangan lupa bilang terima kasih ketika anak kita mendapatkan sesuatu dari orang lain. Namun pembelajaran itu akan sia-sia kalau kita hanya bisa meminta mereka untuk selalu berterima kasih tanpa kita juga selalu menunjukkan bagaimana caranya. Salah satu saudara saya yang mempunyai anak balita sering kesal melihat anaknya susah (atau lupa) untuk berterima kasih saat mendapatkan sesuatu dari orang lain. Saya seketika tahu sebabnya, ketika saudara saya menerima sesuatu dia juga ternyata tidak (atau lupa) untuk berucap terima kasih! Seorang anak kecil akan lebih cepat belajar dari apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh orang tuanya.

Nah, agar hidup kita dapat lebih bahagia: janganlah memikirkan dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang yang anda bantu, namun bergembiralah karena anda dapat memberi dan masih memiliki kesempatan untuk membantu orang lain.