Friday, August 29, 2008

Sadar Setiap Waktu

Perjalanan berangkat dan pulang kantor bagi saya merupakan hal yang mengasyikkan. Malam itu KRL Bekasi Ekspress (seperti biasa) terlambat datang di Stasiun Kota. Karena jarak waktu antara KRL Bekasi jadwal sebelumnya berangkat cukup jauh maka KRL Bekasi yang terakhir ini penumpangnya menjadi lebih banyak dari biasanya. Begitu kereta datang dan berhenti, sekian ratus orang berebut naik agar bisa mendapatkan tempat duduk.

Setelah semua penumpang naik ternyata kereta tidak langsung berangkat. Saat itu seorang ibu terdengar berkeluh kesah kepada ibu di sebelahnya. “Aduuhh, kok nggak berangkat juga nih kreta, nunggu apa lagi sih? Bakal kemalaman lagi nih sampai rumah”. Ibu yang disebelahnya bergumam sesuatu dan mengangguk mengiyakan. Berdiri di seberang saya ada seorang perempuan muda kelihatan gelisah dan sebentar-sebentar melihat ke arah jamnya menunjukkan ketidak sabaran. Ternyata dalam gerbong itu cukup banyak wajah-wajah berkerut menandakan kekesalan dan kegelisahan.

Saya mencoba berpikir sederhana saja, apakah dengan mengomel, bersungut-sungut atau marah dapat menyebabkan kereta bisa berjalan? Atau kereta akan sampai tepat waktu? Tentu saja tidak, karena keterlambatan itu berada diluar kemampuan penumpang. Kalau begitu, untuk apa kita melakukan itu semua kalau memang tidak ada pengaruhnya apa-apa? Yang pasti ada pengaruhnya adalah pada diri kita sendiri. Dengan menggerundel dan bersungut-sungut malah akan menyulut rasa gelisah. Dan dengan pikiran yang gelisah, kita tidak akan dapat menikmati waktu. Padahal salah satu kunci hidup bahagia adalah kemampuan untuk menikmati setiap detik kehidupan.

Banyak orang merasa stress atau tertekan di banyak hal dalam kehidupan. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena kita tidak bisa menikmati setiap hal yang kita lakukan. Hal yang selalu saya lakukan selain membaca buku/ majalah saat menunggu kereta datang atau selama dalam perjalanan adalah memperhatikan kerumunan dan keriuhan orang yang lalu lalang di sekitar saya. Bila melihat orang-orang yang tidak lebih beruntung dari saya dari segi materi dan fisik, saya akan bersyukur. Saya mencurahkan perhatian dan energi untuk saat itu, saat saya duduk dan mengamati sekitar. Saya tidak mencoba mengalihkan energi saya untuk memikirkan kereta yang entah ada dimana, atau rencana setelah sampai rumah mau ngapain atau kejadian-kejadian yang saya alami di kantor siang tadi. Dengan melakukan itu saya dapat menikmati setiap detik yang saya lewati.


Kita bisa menikmati hidup kalau kita berkonsentrasi ke masa kini. Seorang bijak pernah berkata, bahwa ada dua hari dalam hidup ini yang sama sekali tak perlu kita khawatirkan. Yang pertama; hari kemarin. Kita tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi, tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan, tak mungkin lagi menghapus kesalahan dan mengulangi kegembiraan yang pernah kita rasakan kemarin. Biarkan hari kemarin lewat; lepaskan saja.

Yang kedua adalah: hari esok. Hingga mentari esok hari terbit, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Selalu mengingat masa depan juga dapat membuat kenikmatan hidup kita berkurang. Kita senantiasa dirundung kecemasan akan masa depan yang belum datang. Target yang kita tetapkan seringkali membuat kita gelisah. Padahal seperti halnya dengan masa lalu, masa depan juga berada diluar kontrol kita. Yang berada dalam kontrol kita adalah proses menuju masa depan. Proses inilah yang kita jalani dan hadapi sekarang dari hari ke hari. Dan tugas kita adalah menjalankan dan menikmati proses itu setiap hari.

Yang tersisa kini hanyalah hari ini. Pintu masa lalu telah tertutup; pintu masa depan pun belum tiba. Pusatkan saja diri kita untuk hanya hari ini. Kita akan dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini bila kita mampu memaafkan hari kemarin dan melepaskan ketakutan akan hari esok. Tingkatkan kesadaran terhadap apapun yang kita lakukan dan hadapi. Lakukan apapun yang kita kerjakan dengan sepenuh hati dan curahan energi agar hari ini dapat kita lalui lebih baik dari hari kemarin.

Sambil menikmati perjalanan malam itu ke stasiun akhir Bekasi saya mendengarkan sebuah lagu lama yang dinyanyikan oleh Gito Rollies melalui HP saya,” Hari ini punya hari ini/ Hari esok itu soal nanti/ Bergembiralah/ Berbahagialah/ Nikmatilah hidup ini..

Mendengarkan

“Kamu sih kalau dibilangin suka susah, makanya sekali-kali dengerin dong kalau orang ngomong. Aku nggak mau beurusan lagi denganmu, capek!”. Suara perempuan muda itu jelas sekali saya tangkap karena posisi berdiri dia di dalam gerbong KRL AC Bekasi itu berdekatan dengan saya. Entah sadar atau tidak segala kata yang keluar saat bercakap melalui ponsel itu terdengar oleh kami, penumpang lain disekitarnya. Beberapa penumpang menoleh heran sekaligus geli kearah perempuan muda itu. Dari intonasi dan ekspresi wajahnya selama bertelepon kelihatan sekali perempuan muda itu sedang mendung hatinya. Dan saya yakin orang-orang yang mendengar percakapan itu memiliki ‘skenario’ sendiri mengenai apa kira-kira masalah yang dihadapi perempuan muda itu. Begitu juga saya, dari percakapan yang terdengar kelihatannya si lawan bicara perempuan muda itu jarang mau mendengarkan.

Mendengarkan, kelihatannya sepele untuk dilakukan namun percaya atau tidak hanya karena masalah (yang kita anggap) sepele itu banyak permasalahan kecil menjadi besar, kesepahaman menjadi perselisihan dan persaudaraan menjadi permusuhan. Kenapa? Karena lebih banyak orang cenderung lebih senang berbicara daripada mendengarkan. Buktinya, banyak sekali kursus-kursus yang mengasah manusia bagaimana menjadi seorang ‘pembicara’ yang baik, namun jarang sekali kita menjumpai kursus yang mengajarkan bagaimana menjadi ‘pendengar’ yang baik. “Lha wong dari bayi kita juga udah bisa dengar kok mas, ngapain diajarain lagi?” begitu teman saya pernah bilang. Mendengarkan kita anggap sebagai kebisaan yang otomatis kita miliki bahkan saat kita belum lahir kedunia.

Sebenarnya Allah sudah memberikan isyarat kepada kita melalui apa yang kita miliki. Allah menciptakan manusia dengan 2 telinga dan satu mulut karena kita diminta untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Telinga juga berbentuk terbuka sedangkan mulut tertutup, hal ini menunjukkan bahwa kita senantiasa membuka telinga untuk mendengar dan menahan diri menutup mulut untuk tidak banyak berbicara.

Tapi kenapa kita rasanya masih juga sulit untuk mendengarkan ya? Mungkin yang sering saya alami dan lakukan ini merupakan salah satu penyebabnya. Saat istri saya menyampaikan sesuatu dan kebetulan saya tahu penyebab dan cara mengatasinya, saya cenderung tidak sabar untuk segera memberikan jawaban. Bahkan pernah suatu kali saya menyela saat istri saya belum selesai berbicara. Alhasil, bukannya istri saya berterima kasih karena jawaban dan jalan keluar yang saya berikan, dia malah cemberut. Hal ini mungkin juga sering anda temui atau malah anda lakukan. Coba lihat perilaku kita pada saat rapat, peserta rapat yang sudah tahu permasalahan atau jalan keluar dari suatu masalah akan cenderung menimpali dengan cepat bahkan memotong pembicaraan pihak lain yang belum selesai.

Saya pernah bawa anak saya ke dokter spesialis anak di dekat rumah. Baru saja saya duduk dan mengatakan bahwa demam anak saya tinggi dan tidak turun-turun, sang dokter langsung menukas..”Oohh, ini pasti virus pak, memang lagi musim nih!”. Bagaimana dia bisa yakin kalau itu virus sedangkan saya hanya baru mengatakan satu gejala saja dari sakit anak saya, bagaimana kalau ternyata disebabkan oleh hal lain?. Dokter itu merespon cepat dengan menyatakan bahwa itu disebabkan virus karena banyak kejadian yang mirip dengan anak saya penyebabnya adalah virus. Pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki kadang membuat kita menjadi enggan mendengarkan sesuatu yang dinyatakan dan ditanyakan berulang.

Mendengarkan yang sebenar ”mendengarkan” menjadi sulit karena kita sering menganggap bahwa mendengarkan bisa dilakukan sambil lalu. Bawahan anda berbicara kepada anda mengenai permasalahan yang dialami dalam pekerjaan. Anda mendengarkan, tapi seringkali mata anda menatap tangan anda yang sedang asyik mengetik sms di ponsel untuk janjian makan siang dan supaya terkesan mendengarkan anda akan bersuara..”hmm.., ya..,..terus?...ya udah”. Bagaimana bawahan anda yakin kalau anda mendengarkan kalau mata anda lebih sering melihat ke sms daripada melihat mata mereka?

Mendengarkan dengan baik dapat meningkatkan hubungan antar manusia. Bahkan sebuah pepatah kuno mengatakan ”Bila seorang pria mendengarkan dengan seksama apapun yang dikatakan seorang wanita, wanita itu sudah setengah jatuh cinta kepada pria itu”. Mendengarkan dengan sepenuh hati merupakan ujud penghormatan dan menganggap penting lawan bicara.

Setiap orang tentu ingin suaranya didengar dan agar orang lain mau mendengarkan omongan kita, pertama kali yang harus kita lakukan adalah: belajar untuk mendengarkan.

Apa dan bukan Kenapa

Sabtu pagi itu tiba-tiba saja istri saya masuk rumah sambil uring-uringan. “Duhh sebelnya! Tetangga sebelah nyiram jalan pakai air got lagi tuh, apa nggak tahu ya kalau bau-nya kemana-mana?” ujarnya geram. “Kenapa sih kok nyiramnya selalu pagi-pagi dan kenapa juga nyiramnya selalu mengarah ke depan rumah kita, kenapa nggak ke tetangga sebelah kirinya? Apa memang dia tidak suka dengan kita ya?”. Saya yang sedang asyik minum kopi dan membaca Koran sempat bingung dengan ‘serangan’ gerutuan pagi itu. Memang sih saya juga mulai mencium bau tidak enak dari arah jalan, dan dengan adanya gerutuan istri saya jadi mengerti penyebabnya. Kejadian ini bukan hanya kali ini saja dilakukan tapi sudah berulangkali. Akhirnya kegiatan membaca saya hentikan dan mencoba menenangkan istri saya.

Secara tidak sadar respon kita saat menemui masalah atau musibah adalah pertanyaan ‘Kenapa’. Kenapa mesti terjadi pada saya? Kenapa harus mengalami ini dan itu dan sebagainya. Saat saya di luar kota dan mendengar kabar bahwa mobil saya diserempet truk di jalan tol dan rusak parah, kata pertama yang terucap juga ‘Kenapa’. Kenapa mesti mobil saya yang diserempet? Padahal begitu banyak mobil di jalan yang macet itu…

Respon ‘Kenapa’ terdengar wajar ya dan mungkin sebagian besar dari anda (termasuk saya) juga masih suka mengucapkan kata tanya itu. Coba kita pikirkan dan rasakan sekali lagi. Pada saat kita mepertanyakan sebuah kejadian dengan kata ’Kenapa’, pikiran kita akan diajak untuk berputar-putar pada masalah itu dan menjebak kita dengan sebuah rasa sesal dan penyesalan yang tidak berkesudahan. Seringkali pertanyaan ’Kenapa’ ini bisa menjadi berkembang sampai akhirnya tidak memiliki relevansi dengan kejadian semula. Misalnya saat mobil saya diserempet oleh truk malam itu. Kenapa mobil saya yang diserempet?, Kenapa bukan mobil yang ada di belakang atau di depan saya?, Apa yang sudah saya perbuat kepada orang lain sehingga saya mendapatkan musibah ini? Apa dosa yang telah saya perbuat? Dll. Pertanyaan-pertanyaan yang semakin tidak jelas arahnya ini malah membuat kita menjadi semakin gelisah sedangkan masalahnya sudah berlalu.

Berbeda sekali apabila respon yang kita tunjukkan saat mengalami sebuah musibah dengan kata ”Apa”. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya untuk menghadapai masalah ini? Kata ”Apa” yang kita ucapkan akan memicu pikiran kita bekerja untuk menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Kata ”Kenapa” cenderung berorientasi ke masa lalu sedangkan kata ”Apa” berasosiasi dengan masa depan sesuai dengan kodrat manusia bahwa hidup selalu berjalan ke depan. Seseorang yang hidupnya seringkali memikirkan masa lalu seperti seseorang yang berjalan dengan membawa ransel penuh batu. Batu-batu itulah perlambang masalah-masalah masa lalu yang dibawa dan menjadi beban selama jalan kehidupannya.

Masalah masa lalu bisa kita anggap selesai karena betapapun menyakitkan ataupun merugikan toh hal itu sudah terjadi dan apapun yang sudah terjadi ya kita anggap selesai dan tak akan pernah kembali lagi walau kita memikirkan dan meratapinya terus menerus. Masa lalu tidak menentukan masa depan kita, tetapi yang menentukan adalah apa yang kita perbuat sekarang ini.Melupakan masa lalu bukan berarti tidak mengingatnya lagi. Sebagai manusia normal tentu saja kita mengingat masa lalu kita. Melupakan masa lalu artinya kita tidak lagi dipengaruhi oleh masa lalu tersebut.

Dalam sebuah buku yang saya baca ada sebuah doa yang sebaiknya seringkali kita panjatkan agar kita dapat hidup lebih tenag di masa sekarang.

Pertama, Ya Allah berikan aku keberanian untuk bisa mengubah apa yang bisa aku ubah. Kedua, Ya Allah berikan ketenangan kepadaku untuk dapat menerima apa-apa yang tak dapat aku ubah.
Dan yang ketiga, Ya Allah berikanlah padaku kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.

Hal ini penting karena kita seringkali tidak dapat membedakan mana hal-hal yang dapat kita ubah dan mana yang tidak. Kita seringkali memikirkan hal-hal yang tak dapat kita ubah, misalnya mengenang masa lalu.

Padahal namanya saja masa lalu. Ia sudah berlalu, sudah selesai.

Investasi Kebaikan

Beberapa minggu belakangan HP saya seringkali berdering dan si penelepon selalu menawarkan beberapa produk investasi dengan iming-iming return yang bagus bahkan ada yang terdengar fantastis. Karena memang pada dasarnya saya tipe orang yang ‘konvensional’ dalam soal investasi, penawaran menggiurkan itu selalu saja saya tampik.

Investasi menurut pengertian secara umum diartikan sebagai ‘pengorbanan’ dimasa sekarang untuk mendapatkan sesuatu (baca: keuntungan) dimasa datang dengan harapan yang lebih baik. Atau dalam bahasa yang ilmiah investasi merupakan komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan hasil yang mampu mengkompensasikan pengorbanannya. ‘Pengorbanan’ dalam hal ini berarti kita merelakan sebagian dari materi kita keluarkan untuk keuntungan di masa depan.

Kalau untuk investasi materi banyak dari kita getol melakukannya bahkan mungkin untuk beberapa instrumen investasi seperti saham, asuransi dll. Tapi apakah anda pernah berfikir juga untuk ber-investasi bukan saja untuk masa depan tapi lebih jauh lagi: kehidupan setelah kehidupan yang kita jalani sekarang. Investasi jenis ini tidak menyertakan materi di dalamnya tapi membutuhkan keikhlasan dalam pelaksanaannya: investasi pada kebaikan.


Berbuat kebaikan adalah investasi yang return-nya bisa dalam waktu dekat atau di masa mendatang. Bahkan bisa lintas generasi yang terjadi sekian puluh tahun kemudian. Tak ada satu kebaikan pun yang dilepaskan akan menjadi sia-sia. Mungkin saja kebaikan yang kita lakukan seolah-olah nampak sia-sia bagi pandangan orang lain, tapi yakinlah bahwa itu tidak sia-sia bagi Allah. Bahkan hal ini secara tegas dijamin oleh Allah sebagaimana telah disampaikan dalam kitab suci-Nya bahwa Tuhan akan menggandakan berlipat-lipat, kepada setiap manusia yang melepaskan kebaikan dengan ikhlas.

Salah seorang rekan saya di SQUAD minggu lalu menerima kiriman paket di rumahnya. Bungkusan itu dikirim dengan tanpa tercantum nama si pengirim. Setelah paket dibuka isinya ternyata dompetnya yang hilang 4 bulan yang lalu dan anehnya lagi tidak ada selembarpun dokumen atau uang yang hilang dari dompet itu! Luar biasa! Teman saya ingin sekali mengucapkan terima kasih tapi tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa. Yang bisa dilakukan adalah menulis surat pembaca di surat kabar dan menyatakan terima kasih kepada siapapun yang telah berbuat mulia dengan mengembalikan dompet itu utuh.

Saat itu saya berfikir ini adalah salah satu bukti bahwa investasi kebaikan apapun yang telah dilakukan oleh teman saya salah satunya telah berbuah minggu lalu, dirinya menerima kembali kebaikan dari seseorang yang tidak dia ketahui.

Sayangnya meskipun seringkali kita diperlihatkan bukti-bukti yang diberikan kehidupan kepada mereka yang banyak melakukan kebaikan, masih saja banyak orang senang menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Mengapa demikian ? Hal ini disebabkan oleh banyaknya godaan, baik dari dalam diri kita sendiri, maupun dari lingkungan sekitar. Godaan ini kerap kali membuat orang yang hendak berbuat baik terhalang, menunda, hingga akhirnya tidak sempat berbuat baik. Padahal menunda kebaikan berarti membuang waktu, usia dan kesempatan mulia yang telah diberikan Allah.

Pintu-pintu untuk meraih kebaikan itu sesungguhnya sangat banyak dan tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan yang lebih tinggi nilainya, terbuka lebar bagi siapa saja yang bersedia menjemputnya. Diantaranya adalah memberikan senyuman dan menyapa orang lain, bertutur kata baik, ikhlas membantu dll. Semua hal-hal sederhana itu termasuk pintu-pintu kebaikan. Pintu-pintu kebaikan seperti ini kalau kita lakukan dengan keikhlasan merupakan sebuah potensi investasi yang pasti akan dikembalikan kepada kita dengan jumlah berlipat. Hal itu semua merupakan potensi untuk menjaga kejernihan suara hati, sehingga cahayanya dapat memancar dalam kehidupan.

Mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan positif dan kebaikan bagi sesama akan merasakan “buah”nya seketika itu dalam jiwa, akhlak, dan hati nuraninya. Sehingga hatinya akan terjaga kejernihannya. Hidup akan terasa lebih mudah, tenang, tenteram dan damai di hati. Bukankah itu yang kita cari dalam kehidupan ini?

Jasa Marga

Hal yang paling saya khawatirkan pada saat mengendarai mobil di jalan tol adalah apabila ban mobil bocor atau pecah karena hal ini sangat membahayakan. Dan hal inilah yang terjadi pada saya beberapa waktu lalu saat saya berada di atas Jalan Tol Priok Jakarta. Siang itu saat melintas diatas Jatinegara saya merasa bahwa mobil saya mulai oleng dan selang beberapa detik kemudian mobil mulai tidak stabil dan seketika saya sadar bahwa ban belakang mobil saya bocor!

Kebetulan siang itu lalu lintas di jalan tol tersebut tidak ramai dan segera saya arahkan mobil ke tepi. Saat saya mengambil perkakas untuk mengganti ban, di belakang saya berhenti sebuah mobil patroli Jasa Marga dengan lampu hazard menyala. Kemudian seorang dari mereka mendatangi saya dan setelah menyapa dia langsung ikut membantu mengganti ban depan saya yang pecah. Sebenarnya saat itu praktis saya tidak ikut mengganti ban yang pecah tersebut karena petugas tersebut mengambil alih dan dengan cekatan dia mengganti ban saya dengan ban serep. Dalam kisaran 5 menit pekerjaan itu sudah selesai dilakukan. Selama pekerjaan mengganti ban itu berlangsung, petugas lain berdiri di samping mobil dan memberikan tanda untuk mobil lain yang melintas agar berhati-hati. Semua pekerjaan itu dilakukan dengan cekatan, sistematik dan rapi. Kedua petugas jasa marga tersebut sudah tahu betul apa yang harus mereka lakukan apabila ada kejadian seperti yang saya alami.

Saat saya ingin sekedar memberikan imbalan atas jasanya, dengan ramah dia menolak pemberian itu dan mengatakan bahwa hal itu sudah bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Saat saya kembali masuk kedalam mobil, saya lihat petugas tersebut masih berdiri di belakang mobil sambil memberi arahan kepada mobil yang lewat agar berhati-hati. Sampai akhirnya petugas tersebut mempersilahkan saya jalan ketika jalan sudah aman.

Apa yang ditunjukkan oleh kedua petugas Jasa Marga tadi adalah sebuah bentuk Layanan yang baik. Layanan bukan hanya “bersikap ramah terhadap pelanggan” tapi lebih besar daripada itu. Layanan yang baik juga meliputi ketrampilan dan pengetahuan (product knowledge) si pemberi service. “Bersikap ramah” merupakan perwujudan sikap yang menyamankan hati pelanggan namun sikap yang menyenangkan saja tidaklah cukup tanpa disertai dengan kecekatan dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan dengan benar dan tepat.

Seorang rekan saya pernah mengeluh kepada saya terhadap pelayanan sebuah bank negeri dimana dia pernah menjadi nasabah. “CS-nya ok banget, penampilannya menarik senyumnya menawan dan tutur katanya juga halus. Tapi sewaktu ditanya mengenai beberapa produk baru bank itu, dia kayaknya nggak begitu percaya diri dalam menjelaskan bahkan beberapa kali dia tanya sama supervisor-nya. Lha bagaimana bisa meyakinkan calon nasabah kalau dia sendiri nggak yakin dengan informasi yang mau disampaikan ke calon nasabah?”.

Contoh lain pernah saya temui di salah sebuah kantor Capem. Kebetulan saat itu nasabah yang mengantri di Capem ini cukup banyak. Saya langsung duduk di kursi depan CS tersebut karena dia tidak mempersilahkan saya duduk. Dan dengan (tetap) sambil bersandar dia berkata,”Ada yang bisa saya bantu, Pak?”. Melihat sikapnya saya hanya senyum saja karena antara sikap dan ucapannya tidak sejalan. Ucapannya menyatakan ingin membantu tapi sikap badannya (bersandar) menyiratkan bahwa dia tidak mau membantu saya.

Layanan bukan saja sebuah senyum yang ramah dan tutur kata yang lembut. Sebaik apapun senyum anda seramah apapun sikap anda, pelanggan akan menciut hatinya ketika anda tidak bisa menjawab dengan baik saat mereka bertanya atau anda terlihat tidak yakin dengan jawaban anda atau anda tidak terlihat cakap dalam bekerja.

Pujian

Di dalam gerbong KRL AC Bekasi saat perjalanan pulang kantor, saya duduk dekat dengan sekumpulan ibu-ibu yang kalau dilihat dari barang bawaannya menunjukkan mereka pulang dari berbelanja. “Mbakyu jadi kelihatan tambah muda dan segar lho kalau pakai kerudung warna biru itu,” ujar salah seorang ibu. Dari cara dan tekanan suara ibu tersebut saya yakin kalau hal itu diucapkan dengan sungguh-sungguh. Si ibu yang berkerudung warna biru muda tadi tersipu-sipu sambil menyahut,” Ah, jeng ini ada-ada saja, masak sih? Salah lihat kaliii..”. “Mmm tumben muji, mesti ada apa-apanya tuuhh,” timpal seorang ibu gemuk dengan tas belanjaan paling banyak. Kemudian mereka serempak tertawa, entah siapa dan apa yang ditertawakan.

Saya yang sedari tadi (terpaksa) mendengarkan obrolan mereka menjadi berpikir dengan isi percakapan terakhir itu. Saya rasa anda semua juga sering mendengar obrolan seperti itu dan bahkan mungkin kita sering melakukannya juga. Tapi kalau dicermati percakapan itu ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seseorang yang dipuji semestinya akan merasa senang karena sesuatu yang baik tentang dirinya diketahui orang lain dan dinyatakan secara terbuka. Apalagi kalau pujian tersebut memang dilakukan dengan keikhlasan. Tapi yang terjadi kok malah bisa sebaliknya, si ibu tadi berbalik mempertanyakan pujian kepada dirinya itu dan terkesan seolah memberikan ”penyangkalan” dan malah ”menyalahkan” si pemberi pujian.

Voltaire, seorang pujangga besar, pernah mengatakan hal yang menarik tentang pujian. menurutnya "pujian adalah hal yang indah, pujian membuat yang terbaik pada diri orang lain menjadi bagian dari diri kita pula". Sayangnya, pujian adalah seperti barang langka dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita perhatikan, ketika dipuji, kebanyakan wajah orang kita bersemu merah dan merespon seperti salah seorang ibu di dalam kereta tadi atau malahan ada yang kalau dipuji dengan tulus malah membalas pujian dengan ketus "Mau menjilat saya dengan kata-kata pujian yaaa?", bayangkan betapa lemahnya penghargaan kita terhadap pujian, bahkan sebagai pihak penerima pujian pun kita masih sulit menerima.


Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati. Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pemimpin yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi oleh uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja. Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Saya ingat ketika masih kelas 3 SMA di Pontianak saya mendapat ranking 2 di kelas. Saya bangga sekali dengan prestasi tersebut karena saya adalah murid baru di sekolah itu. Tetapi ketika raport saya berikan kepada ayah saya, diluar harapan, Beliau tidak mengomentari prestasi, malah berkomentar mengenai ”kekurangan” saya, "Wah nilai pelajaran bahasanya cuma 7 ya Rif?". Prestasi menjadi juara 2 dikelas tidak diperhatikan.

Mungkin tujuan Ayah saya baik. Dan saya yakin bahwa Beliau sebenarnya ingin memberikan dorongan agar tak mudah puas dan mau terus maju, hanya saja, setiap orang juga membutuhkan pujian atas apa yang telah diraihnya. Sayangnya, kebiasaan bahwa kita tidak pernah dipuji lantas membuat kita seringkali menjadi sulit untuk memuji orang lain.

Untuk bisa memberikan pujian yang tulus tidaklah mudah, dibutuhkan kedewasaan secara emosi, karena pada saat memberikan pujian, sepintas lalu tampak bahwa gengsi kita harus diturunkan untuk mengakui kelebihan dan kehebatan orang lain. Seakan-akan kita harus merelakan sesuatu untuk bisa memberikan pujian yang membuat orang lain senang dan bahagia. Sayangnya, hal-hal tersebut di atas itulah yang sering kali menjadi alasan mengapa kita sulit memberikan pujian. Kita sering kali menunda pemberian pujian dan penghargaan kita dengan alasan-alasan konyol seperti “Nanti orangnya tambah GR dong!” atau “Nanti dia malah akan semakin sombong” atau juga “Entar dikira menjilat lagi!”. Dan karena itulah kita menunda pujian kita.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, akan membuat orang merasa di’manusia’kan.