Tuesday, February 5, 2008

Menyalahkan Orang Lain

Namanya Andre, seorang eksekutif muda sebuah bank negeri yang besar. Dia direkrut dan disekolahkan oleh bank tersebut karena kecerdasannya tidak mengecewakan selama kuliah. Gayanyapun sekarang sudah beda dengan saat kuliah dulu. Kalau dulu makan di warungpun mesti harus banyak sayur dan nasi daripada lauk. Sekarang kalau tidak makan di Cafe kayaknya belum afdol. Setiap ketemu 2 buah handphone selalu menemani dia kemanapun. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah sampai sekarang: kebiasaannya datang terlambat setiap kali kami berkumpul. Dan selalu saja ada alasan, entah yang jalan macet lah, taksi susah dapet lah atau lagi banyak pekerjaan.

Seperti juga siang itu saat kami janjian kumpul untuk sekedar ngobrol di sebuah cafe. ”Sorry, gua telat nih,” ujarnya tanpa merasa bersalah. ”Macet lagi jalanan atau elo nggak dapat taksi?” tanya teman saya kesal. ”Bukan, tadi adik gua ikutan jadi gua mesti anter dia dulu dan ternyata di jalan itu macet cet,” jelasnya sambil lalu. Kami yang sudah hadir 1 jam sebelumnya hanya tersenyum maklum.

Entah kenapa teman saya ini selalu ada alasan untuk menjelaskan keterlambatannya. Dan selalu yang jadi alasannya adalah segala hal di luar dirinya. Pendek kata menyalahkan kondisi di luar atau orang lain sebagai alasannya. Mungkin bukan hanya dia saja yang pernah (bahkan selalu) melakukan hal ini, mungkin anda juga pernah, saya juga dan sepertinya tidak ada orang yang tidak pernah melakukan hal ini. Cobalah sekali waktu kita cermati, berapa kali dalam sehari kita menyalahkan orang lain atau keadaan. Perilaku ini seolah sudah menjadi bagian dari budaya kita. Setiap ada masalah otomatis telunjuk kita akan menunjuk keluar.

Entah disadari atau tidak, kita sebagai orang tua (atau calon orang tua) ternyata memiliki andil dalam menanamkan dan menyuburkan perilaku ini terhadap anak-anak kita. Kalau anak anda sedang bermain-main kemudian dia menangis. Apa yang biasanya kita lakukan? Kita (biasanya) akan bertanya ”Kenapa dek? Siapa yang nakal? Ooo kakak ya yang nakal?”. Bahkan kalau anak kita sedang main sendirianpun dan dia menangis karena terbentur kursi, kita akan juga bertanya ”Siapa yang nakal? Ooo kursinya ya yang nakal sama adek..sini biar mama cubit nanti kursinya ya...”.


Dengan semakin seringnya kita mengatakan hal-hal demikian, wajar saja paradigma yang terpatri dalam benak seorang anak kecil adalah apabila ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya itu diakibatkan oleh sesuatu diluar dirinya, bisa orang-orang atau benda-benda yang berada di sekitarnya. Dan begitu dia mengalami masalah lagi dia akan dengan fasihnya menunjuk dan mengatakan siapa atau apa yang salah.

Nah sekarang coba kita lihat perilaku kita sendiri. Kalau kita terlambat datang ke kantor, apa yang biasanya kita salahkan? mungkin kita akan menyalahkan jalanan yang macet atau angkutan yang lebih sering ngetem daripada jalan sebagai kambing hitamnya. Kalau karier kita mentok siapa yang salah? Mungkin kita akan menunjuk atasan yang sentimen dengan kita sebagai sumber masalahnya. Kalau kenaikan gaji kita ternyata lebih kecil dari si A, siapa yang salah? Mungkin kita akan mengatakan bahwa si A memang anak emas atasan kita karena itu dia bisa mendapat lebih banyak. Kalau semua hal yang terjadi dengan diri kita sumber masalahnya selalu berada pada orang lain atau keadaan di luar, lantas apa bedanya kita dengan anak kecil?

Dalam buku 8th habit karya Stephen Covey, perilaku kita yang menyalahkan orang lain (atau keadaan diluar) terjadi karena kita menganggap diri kita sebagai obyek dalam kehidupan. Paradigma menganggap diri sebagai obyek ini disebut juga sebagai paradigma Outside-In (luar – kedalam). Orang-orang seperti Andre kalau tidak mengubah paradigmanya akan terus menemui hal yang sama dengan ilustrasi di atas, kemanapun mereka pergi. Kehidupan mereka akan bisa menurun kualitasnya dan bisa gagal menjadi orang yang sukses, karena memang hidup ini penuh masalah dan mereka selalu memposisikan dirinya sebagai obyek.


Stephen Covey menuliskan bahwa untuk menjadi orang yang sukses haruslah memiliki paradigma Inside-Out (dalam-keluar). Paradigma ini memposisikan diri kita sebagai subyek dari kehidupan ini dan kita punya kemampuan untuk mengatasi segala kesulitan dan bukan lagi sebagai obyek dari kesulitan itu. Bila Andre memiliki paradigma berpikir seperti ini tentu ia akan 99,9% tepat waktu. Dia akan menjadi orang yang super kreatif mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ia akan menyediakan payung dalam tasnya untuk bersiap kalau-kalau hujan turun, ia akan bangun lebih awal, berangkat lebih cepat sehingga ia punya punya cukup waktu cadangan kalau-kalau jalanan macet. Ia menjadi super kreatif menghadapi semua permasalahan.

Orang dengan paradigma ini tidak pernah mengenal stress, karena ia yakin bahwa setiap masalah yang timbul pasti bisa diselesaikan. Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak pernah mengeluhkan keadaan, merekalah yang mengendalikan keadaan. Setiap permasalahan yang mereka temui mereka anggap sebagai tantangan baru untuk meningkatkan kreatifitas mereka. Dan saya yakin di UOB Buana masih banyak orang-orang yang memiliki paradigma seperti ini.

Miskin Mental

Suatu siang saya sedang berada dalam 1 mobil dengan atasan saya menuju ke Harmoni. Di sebuah jalan saya melihat beberapa anak muda tanggung berdiri di tengah median jalan dengan ember ditangan. Mereka meminta sumbangan dari mobil-mobil yang lewat. Dengan menggerak-gerakkan ember mereka menyorongkan ember itu ke jendela mobil-mobil berjalan pelan karena kondisi macet. Sayang saya tidak sempat membaca tulisan yang ada pada ember itu. Tidak banyak mobil yang membuka kaca dan memberikan sekedar lembaran ribuan atau recehan.

Kamu ingat apa yang kamu tulis dalam artikel kemarin mengenai sedekah Rif? Kalau yang minta-minta orangnya begitu kira-kira kamu akan kasih juga nggak?,” tanya atasan saya. ”Kalau dari prinsip bahwa kita lebih mampu dari mereka tentu kita akan berikan. Namun pemberian itu juga harus dilihat dari manfaat jangka panjangnya. Jangan sampai pemberian kita itu ternyata malah ”disalahgunakan” dan malah menciptakan orang-orang yang bukan hanya miskin secara materi tapi lebih bahaya lagi adalah kemiskinan mental”.

Mendengar penjelasan tersebut saya teringat dengan pengalaman teman saya yang menceritakan bagaimana saudara-saudaranya yang lain melihat dan mem-persepsikan dirinya. Teman saya ini adalah anak bungsu dari sebuah keluarga besar dan kebetulan juga dari segi materi masih lebih baik dari kakak-kakaknya yang lain. Setiap kali kakak-kakaknya ada masalah (seringnya berkaitan dengan materi) mereka biasanya menghubungi teman saya ini dan minta dibantu. Awalnya dengan senang hati mereka dia bantu. Namun lama-kelamaan menjadi keseringan dan bukannya kebaikan atau ucapan terima kasih yang diterimanya, malah cibiran dan sindiran apabila sekali waktu dia tidak dapat membantu.

Dari pengalaman teman saya tersebut, dia secara tidak sengaja telah menciptakan manusia-manusia yang seperti atasan saya sebut sebagai miskin secara mental karena saudara-saudaranya menjadi terbiasa hidup dari pemberian orang lain dan tidak tergerak untuk berusaha merubah nasibnya sendiri. Orang-orang seperti ini dengan tidak malu-malu akan selalu menengadahkan tangannya kepada orang lain mengharapkan pemberian.

Dalam sebuah buku agama yang pernah saya baca, dikisahkan oleh Anas bin Malik bahwa salah seorang laki-laki kaum Anshar mendatangi Rasulullah dan meminta sesuatu. Rasulullah bertanya padanya, "Apakah kamu tidak memiliki apa pun di rumahmu?". Ia menjawab, "Tentu kami punya, kain yang kami pakai sebagian dan sebagian lainnya kami jadikan alas, dan juga gelas besar tempat kami minum." Rasulullah berkata, "Bawalah keduanya padaku." Lalu kedua barang itu diberikan kepada Rasulullah dan beliau pun lalu melelangnya, "Siapakah yang ingin membeli kedua barang ini?" Seseorang berkata, "Aku akan membelinya dengan dua dirham”. Lalu Rasulullah menjualnya dan memberikan uangnya dan berkata, "Belilah dengan dirham pertama ini makanan untuk kau berikan kepada keluargamu dan dirham lain belilah kapak dan bawa kepadaku."

Setelah kapak dibeli, lalu Rasulullah memerintahkan, "Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu lagi hingga lima belas hari ke depan”. Laki-laki itu lalu mencari kayu bakar dan menjualnya. Tiba saatnya, ia pun mendatangi Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham di tangannya, yang sebagian ia belikan makanan. Melihatnya, Rasulullah pun berkata, "Ini lebih baik bagimu daripada sedekah yang memberikan noda hitam di wajahmu pada hari kiamat!" .

Pembelajaran yang tersirat adalah hendaknya kita sama-sama menyadari bahwa sikap peduli dan kasih sayang kepada sesama tidak cukup hanya diungkapkan secara emosional. Justru harus dilakukan proporsional dan rasional sebagaimana ditunjukkan Rasulullah dalam cerita tersebut. Dengan demikian, kita akan menciptakan suasana yang mendorong seseorang untuk produktif dan tidak semakin menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan mental yang dalam.

Pemberian memang selalu bermakna baik namun akan lebih mulia lagi apabila pemberian tersebut memang tepat untuk diberikan dan dapat mengangkat derajat si penerima dari kemiskinan mental. Perjalanan singkat siang itu ternyata memberi pelajaran baru yang berharga bagi saya dalam menumbuhkan kesadaran baru agar saya tidak menjadi manusia yang miskin secara mental.