Friday, August 29, 2008

Sadar Setiap Waktu

Perjalanan berangkat dan pulang kantor bagi saya merupakan hal yang mengasyikkan. Malam itu KRL Bekasi Ekspress (seperti biasa) terlambat datang di Stasiun Kota. Karena jarak waktu antara KRL Bekasi jadwal sebelumnya berangkat cukup jauh maka KRL Bekasi yang terakhir ini penumpangnya menjadi lebih banyak dari biasanya. Begitu kereta datang dan berhenti, sekian ratus orang berebut naik agar bisa mendapatkan tempat duduk.

Setelah semua penumpang naik ternyata kereta tidak langsung berangkat. Saat itu seorang ibu terdengar berkeluh kesah kepada ibu di sebelahnya. “Aduuhh, kok nggak berangkat juga nih kreta, nunggu apa lagi sih? Bakal kemalaman lagi nih sampai rumah”. Ibu yang disebelahnya bergumam sesuatu dan mengangguk mengiyakan. Berdiri di seberang saya ada seorang perempuan muda kelihatan gelisah dan sebentar-sebentar melihat ke arah jamnya menunjukkan ketidak sabaran. Ternyata dalam gerbong itu cukup banyak wajah-wajah berkerut menandakan kekesalan dan kegelisahan.

Saya mencoba berpikir sederhana saja, apakah dengan mengomel, bersungut-sungut atau marah dapat menyebabkan kereta bisa berjalan? Atau kereta akan sampai tepat waktu? Tentu saja tidak, karena keterlambatan itu berada diluar kemampuan penumpang. Kalau begitu, untuk apa kita melakukan itu semua kalau memang tidak ada pengaruhnya apa-apa? Yang pasti ada pengaruhnya adalah pada diri kita sendiri. Dengan menggerundel dan bersungut-sungut malah akan menyulut rasa gelisah. Dan dengan pikiran yang gelisah, kita tidak akan dapat menikmati waktu. Padahal salah satu kunci hidup bahagia adalah kemampuan untuk menikmati setiap detik kehidupan.

Banyak orang merasa stress atau tertekan di banyak hal dalam kehidupan. Hal ini bisa terjadi salah satunya adalah karena kita tidak bisa menikmati setiap hal yang kita lakukan. Hal yang selalu saya lakukan selain membaca buku/ majalah saat menunggu kereta datang atau selama dalam perjalanan adalah memperhatikan kerumunan dan keriuhan orang yang lalu lalang di sekitar saya. Bila melihat orang-orang yang tidak lebih beruntung dari saya dari segi materi dan fisik, saya akan bersyukur. Saya mencurahkan perhatian dan energi untuk saat itu, saat saya duduk dan mengamati sekitar. Saya tidak mencoba mengalihkan energi saya untuk memikirkan kereta yang entah ada dimana, atau rencana setelah sampai rumah mau ngapain atau kejadian-kejadian yang saya alami di kantor siang tadi. Dengan melakukan itu saya dapat menikmati setiap detik yang saya lewati.


Kita bisa menikmati hidup kalau kita berkonsentrasi ke masa kini. Seorang bijak pernah berkata, bahwa ada dua hari dalam hidup ini yang sama sekali tak perlu kita khawatirkan. Yang pertama; hari kemarin. Kita tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi, tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan, tak mungkin lagi menghapus kesalahan dan mengulangi kegembiraan yang pernah kita rasakan kemarin. Biarkan hari kemarin lewat; lepaskan saja.

Yang kedua adalah: hari esok. Hingga mentari esok hari terbit, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Selalu mengingat masa depan juga dapat membuat kenikmatan hidup kita berkurang. Kita senantiasa dirundung kecemasan akan masa depan yang belum datang. Target yang kita tetapkan seringkali membuat kita gelisah. Padahal seperti halnya dengan masa lalu, masa depan juga berada diluar kontrol kita. Yang berada dalam kontrol kita adalah proses menuju masa depan. Proses inilah yang kita jalani dan hadapi sekarang dari hari ke hari. Dan tugas kita adalah menjalankan dan menikmati proses itu setiap hari.

Yang tersisa kini hanyalah hari ini. Pintu masa lalu telah tertutup; pintu masa depan pun belum tiba. Pusatkan saja diri kita untuk hanya hari ini. Kita akan dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini bila kita mampu memaafkan hari kemarin dan melepaskan ketakutan akan hari esok. Tingkatkan kesadaran terhadap apapun yang kita lakukan dan hadapi. Lakukan apapun yang kita kerjakan dengan sepenuh hati dan curahan energi agar hari ini dapat kita lalui lebih baik dari hari kemarin.

Sambil menikmati perjalanan malam itu ke stasiun akhir Bekasi saya mendengarkan sebuah lagu lama yang dinyanyikan oleh Gito Rollies melalui HP saya,” Hari ini punya hari ini/ Hari esok itu soal nanti/ Bergembiralah/ Berbahagialah/ Nikmatilah hidup ini..

Mendengarkan

“Kamu sih kalau dibilangin suka susah, makanya sekali-kali dengerin dong kalau orang ngomong. Aku nggak mau beurusan lagi denganmu, capek!”. Suara perempuan muda itu jelas sekali saya tangkap karena posisi berdiri dia di dalam gerbong KRL AC Bekasi itu berdekatan dengan saya. Entah sadar atau tidak segala kata yang keluar saat bercakap melalui ponsel itu terdengar oleh kami, penumpang lain disekitarnya. Beberapa penumpang menoleh heran sekaligus geli kearah perempuan muda itu. Dari intonasi dan ekspresi wajahnya selama bertelepon kelihatan sekali perempuan muda itu sedang mendung hatinya. Dan saya yakin orang-orang yang mendengar percakapan itu memiliki ‘skenario’ sendiri mengenai apa kira-kira masalah yang dihadapi perempuan muda itu. Begitu juga saya, dari percakapan yang terdengar kelihatannya si lawan bicara perempuan muda itu jarang mau mendengarkan.

Mendengarkan, kelihatannya sepele untuk dilakukan namun percaya atau tidak hanya karena masalah (yang kita anggap) sepele itu banyak permasalahan kecil menjadi besar, kesepahaman menjadi perselisihan dan persaudaraan menjadi permusuhan. Kenapa? Karena lebih banyak orang cenderung lebih senang berbicara daripada mendengarkan. Buktinya, banyak sekali kursus-kursus yang mengasah manusia bagaimana menjadi seorang ‘pembicara’ yang baik, namun jarang sekali kita menjumpai kursus yang mengajarkan bagaimana menjadi ‘pendengar’ yang baik. “Lha wong dari bayi kita juga udah bisa dengar kok mas, ngapain diajarain lagi?” begitu teman saya pernah bilang. Mendengarkan kita anggap sebagai kebisaan yang otomatis kita miliki bahkan saat kita belum lahir kedunia.

Sebenarnya Allah sudah memberikan isyarat kepada kita melalui apa yang kita miliki. Allah menciptakan manusia dengan 2 telinga dan satu mulut karena kita diminta untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Telinga juga berbentuk terbuka sedangkan mulut tertutup, hal ini menunjukkan bahwa kita senantiasa membuka telinga untuk mendengar dan menahan diri menutup mulut untuk tidak banyak berbicara.

Tapi kenapa kita rasanya masih juga sulit untuk mendengarkan ya? Mungkin yang sering saya alami dan lakukan ini merupakan salah satu penyebabnya. Saat istri saya menyampaikan sesuatu dan kebetulan saya tahu penyebab dan cara mengatasinya, saya cenderung tidak sabar untuk segera memberikan jawaban. Bahkan pernah suatu kali saya menyela saat istri saya belum selesai berbicara. Alhasil, bukannya istri saya berterima kasih karena jawaban dan jalan keluar yang saya berikan, dia malah cemberut. Hal ini mungkin juga sering anda temui atau malah anda lakukan. Coba lihat perilaku kita pada saat rapat, peserta rapat yang sudah tahu permasalahan atau jalan keluar dari suatu masalah akan cenderung menimpali dengan cepat bahkan memotong pembicaraan pihak lain yang belum selesai.

Saya pernah bawa anak saya ke dokter spesialis anak di dekat rumah. Baru saja saya duduk dan mengatakan bahwa demam anak saya tinggi dan tidak turun-turun, sang dokter langsung menukas..”Oohh, ini pasti virus pak, memang lagi musim nih!”. Bagaimana dia bisa yakin kalau itu virus sedangkan saya hanya baru mengatakan satu gejala saja dari sakit anak saya, bagaimana kalau ternyata disebabkan oleh hal lain?. Dokter itu merespon cepat dengan menyatakan bahwa itu disebabkan virus karena banyak kejadian yang mirip dengan anak saya penyebabnya adalah virus. Pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki kadang membuat kita menjadi enggan mendengarkan sesuatu yang dinyatakan dan ditanyakan berulang.

Mendengarkan yang sebenar ”mendengarkan” menjadi sulit karena kita sering menganggap bahwa mendengarkan bisa dilakukan sambil lalu. Bawahan anda berbicara kepada anda mengenai permasalahan yang dialami dalam pekerjaan. Anda mendengarkan, tapi seringkali mata anda menatap tangan anda yang sedang asyik mengetik sms di ponsel untuk janjian makan siang dan supaya terkesan mendengarkan anda akan bersuara..”hmm.., ya..,..terus?...ya udah”. Bagaimana bawahan anda yakin kalau anda mendengarkan kalau mata anda lebih sering melihat ke sms daripada melihat mata mereka?

Mendengarkan dengan baik dapat meningkatkan hubungan antar manusia. Bahkan sebuah pepatah kuno mengatakan ”Bila seorang pria mendengarkan dengan seksama apapun yang dikatakan seorang wanita, wanita itu sudah setengah jatuh cinta kepada pria itu”. Mendengarkan dengan sepenuh hati merupakan ujud penghormatan dan menganggap penting lawan bicara.

Setiap orang tentu ingin suaranya didengar dan agar orang lain mau mendengarkan omongan kita, pertama kali yang harus kita lakukan adalah: belajar untuk mendengarkan.

Apa dan bukan Kenapa

Sabtu pagi itu tiba-tiba saja istri saya masuk rumah sambil uring-uringan. “Duhh sebelnya! Tetangga sebelah nyiram jalan pakai air got lagi tuh, apa nggak tahu ya kalau bau-nya kemana-mana?” ujarnya geram. “Kenapa sih kok nyiramnya selalu pagi-pagi dan kenapa juga nyiramnya selalu mengarah ke depan rumah kita, kenapa nggak ke tetangga sebelah kirinya? Apa memang dia tidak suka dengan kita ya?”. Saya yang sedang asyik minum kopi dan membaca Koran sempat bingung dengan ‘serangan’ gerutuan pagi itu. Memang sih saya juga mulai mencium bau tidak enak dari arah jalan, dan dengan adanya gerutuan istri saya jadi mengerti penyebabnya. Kejadian ini bukan hanya kali ini saja dilakukan tapi sudah berulangkali. Akhirnya kegiatan membaca saya hentikan dan mencoba menenangkan istri saya.

Secara tidak sadar respon kita saat menemui masalah atau musibah adalah pertanyaan ‘Kenapa’. Kenapa mesti terjadi pada saya? Kenapa harus mengalami ini dan itu dan sebagainya. Saat saya di luar kota dan mendengar kabar bahwa mobil saya diserempet truk di jalan tol dan rusak parah, kata pertama yang terucap juga ‘Kenapa’. Kenapa mesti mobil saya yang diserempet? Padahal begitu banyak mobil di jalan yang macet itu…

Respon ‘Kenapa’ terdengar wajar ya dan mungkin sebagian besar dari anda (termasuk saya) juga masih suka mengucapkan kata tanya itu. Coba kita pikirkan dan rasakan sekali lagi. Pada saat kita mepertanyakan sebuah kejadian dengan kata ’Kenapa’, pikiran kita akan diajak untuk berputar-putar pada masalah itu dan menjebak kita dengan sebuah rasa sesal dan penyesalan yang tidak berkesudahan. Seringkali pertanyaan ’Kenapa’ ini bisa menjadi berkembang sampai akhirnya tidak memiliki relevansi dengan kejadian semula. Misalnya saat mobil saya diserempet oleh truk malam itu. Kenapa mobil saya yang diserempet?, Kenapa bukan mobil yang ada di belakang atau di depan saya?, Apa yang sudah saya perbuat kepada orang lain sehingga saya mendapatkan musibah ini? Apa dosa yang telah saya perbuat? Dll. Pertanyaan-pertanyaan yang semakin tidak jelas arahnya ini malah membuat kita menjadi semakin gelisah sedangkan masalahnya sudah berlalu.

Berbeda sekali apabila respon yang kita tunjukkan saat mengalami sebuah musibah dengan kata ”Apa”. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya untuk menghadapai masalah ini? Kata ”Apa” yang kita ucapkan akan memicu pikiran kita bekerja untuk menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Kata ”Kenapa” cenderung berorientasi ke masa lalu sedangkan kata ”Apa” berasosiasi dengan masa depan sesuai dengan kodrat manusia bahwa hidup selalu berjalan ke depan. Seseorang yang hidupnya seringkali memikirkan masa lalu seperti seseorang yang berjalan dengan membawa ransel penuh batu. Batu-batu itulah perlambang masalah-masalah masa lalu yang dibawa dan menjadi beban selama jalan kehidupannya.

Masalah masa lalu bisa kita anggap selesai karena betapapun menyakitkan ataupun merugikan toh hal itu sudah terjadi dan apapun yang sudah terjadi ya kita anggap selesai dan tak akan pernah kembali lagi walau kita memikirkan dan meratapinya terus menerus. Masa lalu tidak menentukan masa depan kita, tetapi yang menentukan adalah apa yang kita perbuat sekarang ini.Melupakan masa lalu bukan berarti tidak mengingatnya lagi. Sebagai manusia normal tentu saja kita mengingat masa lalu kita. Melupakan masa lalu artinya kita tidak lagi dipengaruhi oleh masa lalu tersebut.

Dalam sebuah buku yang saya baca ada sebuah doa yang sebaiknya seringkali kita panjatkan agar kita dapat hidup lebih tenag di masa sekarang.

Pertama, Ya Allah berikan aku keberanian untuk bisa mengubah apa yang bisa aku ubah. Kedua, Ya Allah berikan ketenangan kepadaku untuk dapat menerima apa-apa yang tak dapat aku ubah.
Dan yang ketiga, Ya Allah berikanlah padaku kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.

Hal ini penting karena kita seringkali tidak dapat membedakan mana hal-hal yang dapat kita ubah dan mana yang tidak. Kita seringkali memikirkan hal-hal yang tak dapat kita ubah, misalnya mengenang masa lalu.

Padahal namanya saja masa lalu. Ia sudah berlalu, sudah selesai.

Investasi Kebaikan

Beberapa minggu belakangan HP saya seringkali berdering dan si penelepon selalu menawarkan beberapa produk investasi dengan iming-iming return yang bagus bahkan ada yang terdengar fantastis. Karena memang pada dasarnya saya tipe orang yang ‘konvensional’ dalam soal investasi, penawaran menggiurkan itu selalu saja saya tampik.

Investasi menurut pengertian secara umum diartikan sebagai ‘pengorbanan’ dimasa sekarang untuk mendapatkan sesuatu (baca: keuntungan) dimasa datang dengan harapan yang lebih baik. Atau dalam bahasa yang ilmiah investasi merupakan komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan hasil yang mampu mengkompensasikan pengorbanannya. ‘Pengorbanan’ dalam hal ini berarti kita merelakan sebagian dari materi kita keluarkan untuk keuntungan di masa depan.

Kalau untuk investasi materi banyak dari kita getol melakukannya bahkan mungkin untuk beberapa instrumen investasi seperti saham, asuransi dll. Tapi apakah anda pernah berfikir juga untuk ber-investasi bukan saja untuk masa depan tapi lebih jauh lagi: kehidupan setelah kehidupan yang kita jalani sekarang. Investasi jenis ini tidak menyertakan materi di dalamnya tapi membutuhkan keikhlasan dalam pelaksanaannya: investasi pada kebaikan.


Berbuat kebaikan adalah investasi yang return-nya bisa dalam waktu dekat atau di masa mendatang. Bahkan bisa lintas generasi yang terjadi sekian puluh tahun kemudian. Tak ada satu kebaikan pun yang dilepaskan akan menjadi sia-sia. Mungkin saja kebaikan yang kita lakukan seolah-olah nampak sia-sia bagi pandangan orang lain, tapi yakinlah bahwa itu tidak sia-sia bagi Allah. Bahkan hal ini secara tegas dijamin oleh Allah sebagaimana telah disampaikan dalam kitab suci-Nya bahwa Tuhan akan menggandakan berlipat-lipat, kepada setiap manusia yang melepaskan kebaikan dengan ikhlas.

Salah seorang rekan saya di SQUAD minggu lalu menerima kiriman paket di rumahnya. Bungkusan itu dikirim dengan tanpa tercantum nama si pengirim. Setelah paket dibuka isinya ternyata dompetnya yang hilang 4 bulan yang lalu dan anehnya lagi tidak ada selembarpun dokumen atau uang yang hilang dari dompet itu! Luar biasa! Teman saya ingin sekali mengucapkan terima kasih tapi tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa. Yang bisa dilakukan adalah menulis surat pembaca di surat kabar dan menyatakan terima kasih kepada siapapun yang telah berbuat mulia dengan mengembalikan dompet itu utuh.

Saat itu saya berfikir ini adalah salah satu bukti bahwa investasi kebaikan apapun yang telah dilakukan oleh teman saya salah satunya telah berbuah minggu lalu, dirinya menerima kembali kebaikan dari seseorang yang tidak dia ketahui.

Sayangnya meskipun seringkali kita diperlihatkan bukti-bukti yang diberikan kehidupan kepada mereka yang banyak melakukan kebaikan, masih saja banyak orang senang menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Mengapa demikian ? Hal ini disebabkan oleh banyaknya godaan, baik dari dalam diri kita sendiri, maupun dari lingkungan sekitar. Godaan ini kerap kali membuat orang yang hendak berbuat baik terhalang, menunda, hingga akhirnya tidak sempat berbuat baik. Padahal menunda kebaikan berarti membuang waktu, usia dan kesempatan mulia yang telah diberikan Allah.

Pintu-pintu untuk meraih kebaikan itu sesungguhnya sangat banyak dan tersebar dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan yang lebih tinggi nilainya, terbuka lebar bagi siapa saja yang bersedia menjemputnya. Diantaranya adalah memberikan senyuman dan menyapa orang lain, bertutur kata baik, ikhlas membantu dll. Semua hal-hal sederhana itu termasuk pintu-pintu kebaikan. Pintu-pintu kebaikan seperti ini kalau kita lakukan dengan keikhlasan merupakan sebuah potensi investasi yang pasti akan dikembalikan kepada kita dengan jumlah berlipat. Hal itu semua merupakan potensi untuk menjaga kejernihan suara hati, sehingga cahayanya dapat memancar dalam kehidupan.

Mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan positif dan kebaikan bagi sesama akan merasakan “buah”nya seketika itu dalam jiwa, akhlak, dan hati nuraninya. Sehingga hatinya akan terjaga kejernihannya. Hidup akan terasa lebih mudah, tenang, tenteram dan damai di hati. Bukankah itu yang kita cari dalam kehidupan ini?

Jasa Marga

Hal yang paling saya khawatirkan pada saat mengendarai mobil di jalan tol adalah apabila ban mobil bocor atau pecah karena hal ini sangat membahayakan. Dan hal inilah yang terjadi pada saya beberapa waktu lalu saat saya berada di atas Jalan Tol Priok Jakarta. Siang itu saat melintas diatas Jatinegara saya merasa bahwa mobil saya mulai oleng dan selang beberapa detik kemudian mobil mulai tidak stabil dan seketika saya sadar bahwa ban belakang mobil saya bocor!

Kebetulan siang itu lalu lintas di jalan tol tersebut tidak ramai dan segera saya arahkan mobil ke tepi. Saat saya mengambil perkakas untuk mengganti ban, di belakang saya berhenti sebuah mobil patroli Jasa Marga dengan lampu hazard menyala. Kemudian seorang dari mereka mendatangi saya dan setelah menyapa dia langsung ikut membantu mengganti ban depan saya yang pecah. Sebenarnya saat itu praktis saya tidak ikut mengganti ban yang pecah tersebut karena petugas tersebut mengambil alih dan dengan cekatan dia mengganti ban saya dengan ban serep. Dalam kisaran 5 menit pekerjaan itu sudah selesai dilakukan. Selama pekerjaan mengganti ban itu berlangsung, petugas lain berdiri di samping mobil dan memberikan tanda untuk mobil lain yang melintas agar berhati-hati. Semua pekerjaan itu dilakukan dengan cekatan, sistematik dan rapi. Kedua petugas jasa marga tersebut sudah tahu betul apa yang harus mereka lakukan apabila ada kejadian seperti yang saya alami.

Saat saya ingin sekedar memberikan imbalan atas jasanya, dengan ramah dia menolak pemberian itu dan mengatakan bahwa hal itu sudah bagian dari pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Saat saya kembali masuk kedalam mobil, saya lihat petugas tersebut masih berdiri di belakang mobil sambil memberi arahan kepada mobil yang lewat agar berhati-hati. Sampai akhirnya petugas tersebut mempersilahkan saya jalan ketika jalan sudah aman.

Apa yang ditunjukkan oleh kedua petugas Jasa Marga tadi adalah sebuah bentuk Layanan yang baik. Layanan bukan hanya “bersikap ramah terhadap pelanggan” tapi lebih besar daripada itu. Layanan yang baik juga meliputi ketrampilan dan pengetahuan (product knowledge) si pemberi service. “Bersikap ramah” merupakan perwujudan sikap yang menyamankan hati pelanggan namun sikap yang menyenangkan saja tidaklah cukup tanpa disertai dengan kecekatan dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan dengan benar dan tepat.

Seorang rekan saya pernah mengeluh kepada saya terhadap pelayanan sebuah bank negeri dimana dia pernah menjadi nasabah. “CS-nya ok banget, penampilannya menarik senyumnya menawan dan tutur katanya juga halus. Tapi sewaktu ditanya mengenai beberapa produk baru bank itu, dia kayaknya nggak begitu percaya diri dalam menjelaskan bahkan beberapa kali dia tanya sama supervisor-nya. Lha bagaimana bisa meyakinkan calon nasabah kalau dia sendiri nggak yakin dengan informasi yang mau disampaikan ke calon nasabah?”.

Contoh lain pernah saya temui di salah sebuah kantor Capem. Kebetulan saat itu nasabah yang mengantri di Capem ini cukup banyak. Saya langsung duduk di kursi depan CS tersebut karena dia tidak mempersilahkan saya duduk. Dan dengan (tetap) sambil bersandar dia berkata,”Ada yang bisa saya bantu, Pak?”. Melihat sikapnya saya hanya senyum saja karena antara sikap dan ucapannya tidak sejalan. Ucapannya menyatakan ingin membantu tapi sikap badannya (bersandar) menyiratkan bahwa dia tidak mau membantu saya.

Layanan bukan saja sebuah senyum yang ramah dan tutur kata yang lembut. Sebaik apapun senyum anda seramah apapun sikap anda, pelanggan akan menciut hatinya ketika anda tidak bisa menjawab dengan baik saat mereka bertanya atau anda terlihat tidak yakin dengan jawaban anda atau anda tidak terlihat cakap dalam bekerja.

Pujian

Di dalam gerbong KRL AC Bekasi saat perjalanan pulang kantor, saya duduk dekat dengan sekumpulan ibu-ibu yang kalau dilihat dari barang bawaannya menunjukkan mereka pulang dari berbelanja. “Mbakyu jadi kelihatan tambah muda dan segar lho kalau pakai kerudung warna biru itu,” ujar salah seorang ibu. Dari cara dan tekanan suara ibu tersebut saya yakin kalau hal itu diucapkan dengan sungguh-sungguh. Si ibu yang berkerudung warna biru muda tadi tersipu-sipu sambil menyahut,” Ah, jeng ini ada-ada saja, masak sih? Salah lihat kaliii..”. “Mmm tumben muji, mesti ada apa-apanya tuuhh,” timpal seorang ibu gemuk dengan tas belanjaan paling banyak. Kemudian mereka serempak tertawa, entah siapa dan apa yang ditertawakan.

Saya yang sedari tadi (terpaksa) mendengarkan obrolan mereka menjadi berpikir dengan isi percakapan terakhir itu. Saya rasa anda semua juga sering mendengar obrolan seperti itu dan bahkan mungkin kita sering melakukannya juga. Tapi kalau dicermati percakapan itu ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seseorang yang dipuji semestinya akan merasa senang karena sesuatu yang baik tentang dirinya diketahui orang lain dan dinyatakan secara terbuka. Apalagi kalau pujian tersebut memang dilakukan dengan keikhlasan. Tapi yang terjadi kok malah bisa sebaliknya, si ibu tadi berbalik mempertanyakan pujian kepada dirinya itu dan terkesan seolah memberikan ”penyangkalan” dan malah ”menyalahkan” si pemberi pujian.

Voltaire, seorang pujangga besar, pernah mengatakan hal yang menarik tentang pujian. menurutnya "pujian adalah hal yang indah, pujian membuat yang terbaik pada diri orang lain menjadi bagian dari diri kita pula". Sayangnya, pujian adalah seperti barang langka dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita perhatikan, ketika dipuji, kebanyakan wajah orang kita bersemu merah dan merespon seperti salah seorang ibu di dalam kereta tadi atau malahan ada yang kalau dipuji dengan tulus malah membalas pujian dengan ketus "Mau menjilat saya dengan kata-kata pujian yaaa?", bayangkan betapa lemahnya penghargaan kita terhadap pujian, bahkan sebagai pihak penerima pujian pun kita masih sulit menerima.


Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati. Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pemimpin yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi oleh uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja. Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Saya ingat ketika masih kelas 3 SMA di Pontianak saya mendapat ranking 2 di kelas. Saya bangga sekali dengan prestasi tersebut karena saya adalah murid baru di sekolah itu. Tetapi ketika raport saya berikan kepada ayah saya, diluar harapan, Beliau tidak mengomentari prestasi, malah berkomentar mengenai ”kekurangan” saya, "Wah nilai pelajaran bahasanya cuma 7 ya Rif?". Prestasi menjadi juara 2 dikelas tidak diperhatikan.

Mungkin tujuan Ayah saya baik. Dan saya yakin bahwa Beliau sebenarnya ingin memberikan dorongan agar tak mudah puas dan mau terus maju, hanya saja, setiap orang juga membutuhkan pujian atas apa yang telah diraihnya. Sayangnya, kebiasaan bahwa kita tidak pernah dipuji lantas membuat kita seringkali menjadi sulit untuk memuji orang lain.

Untuk bisa memberikan pujian yang tulus tidaklah mudah, dibutuhkan kedewasaan secara emosi, karena pada saat memberikan pujian, sepintas lalu tampak bahwa gengsi kita harus diturunkan untuk mengakui kelebihan dan kehebatan orang lain. Seakan-akan kita harus merelakan sesuatu untuk bisa memberikan pujian yang membuat orang lain senang dan bahagia. Sayangnya, hal-hal tersebut di atas itulah yang sering kali menjadi alasan mengapa kita sulit memberikan pujian. Kita sering kali menunda pemberian pujian dan penghargaan kita dengan alasan-alasan konyol seperti “Nanti orangnya tambah GR dong!” atau “Nanti dia malah akan semakin sombong” atau juga “Entar dikira menjilat lagi!”. Dan karena itulah kita menunda pujian kita.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, akan membuat orang merasa di’manusia’kan.

Wednesday, May 14, 2008

Malas

”Wah udah masuk kerja lagi nih, gua malas banget kerja apalagi baru libur 4 hari!”. Begitulah bunyi sms yang saya terima pada hari senin pagi kemarin. Sms itu berasal dari salah seorang mantan teman kuliah saya yang sekarang bekerja di sebuah bank Negara. Pernahkah anda merasakan hal yang sama dengan rekan saya tadi? Suatu hal yang lumrah dialami ketika rasa malas menghampiri kita.

”Malas adalah penyakit mental. Siapa dihinggapi rasa malas, sukses pasti jauh dari gapaian”. Begitulah yang pernah dikatakan mantan atasan saya. Rasa malas dapat diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam ”keluarga besar” rasa malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, rasa sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban, dll. Jika ”keluarga besar” dari rasa malas ini mudah sekali muncul dalam aktivitas sehari-hari kita, maka dijamin kinerja kita akan jauh menurun. Bahkan bisa jadi kita tidak pernah bisa mencapai sesuatu yang lebih baik sebagaimana yang kita atau perusahaan tempat kita bekerja inginkan.


Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Mengapa disebut penyakit mental? Disebut demikian karena akibat buruk dari rasa malas memang sangat merugikan. Siapa pun yang dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah datang pada orang yang malas. Masyarakat yang dipenuhi oleh individu-individu yang malas jelas tidak akan pernah maju. Rasa malas adalah dalih yang paling berbahaya. Hal ini karena ia membunuh potensi kita. Ketika rasa malas muncul, kita akan tampil di bawah performance maksimal kita, sehingga kita menjadi kurang bernilai dan kurang bermanfaat di hadapan diri sendiri dan orang lain. Karena itu, rasa malas harus diperangi. Malas membuat potensi seseorang menjadi terpendam atau muncul tapi terlambat. Malas membuat seseorang bagaikan lumpuh. Tak bertenaga dan tak berdaya untuk menghindarinya. Pikirannya menjadi irasional, jiwanya kosong dan perbuatannya menjadi tak bertanggung jawab.

Bagaimana cara mengatasinya? Beberapa tip pernah saya baca seperti dengan meloncat-loncat ditempat sebanyak 20 kali agar peredaran darah kembali lancar dan semangat kembali muncul. Menuliskan hal-hal yang akan dikerjakan hari itu atau dengan mengingat atau melihat sesuatu yang bisa memancarkan semangat untuk kembali aktif. Ayah saya adalah salah seorang guru ”anti-malas” terbaik yang pernah saya tahu. Cara untuk mengatasi rasa malas cukup sederhana namun efektif: Just do it! (lakukan saja, tanpa menunda!)- seperti slogan sebuah iklan sepatu olah raga.
Jadi untuk mengatasi rasa malas, kerjakan saja apa yang menurut kita harus dilakukan. Jangan ditunda dan jangan mencari alasan untuk menunda! Apapun alasan untuk menunda pekerjaan itu, lupakanlah! Sebab sebagian besar alasan itu sejatinya adalah alasan yang dicari-cari dan mengada-ada. Karena itu, just do it! Lakukan sekarang juga! Karena jika kita menundanya maka kita bisa akan semakin malas dan takut untuk melakukannya. Sebaliknya semakin tidak ditunda, semakin bersemangat dan termotivasi kita untuk melakukannya.

Selain itu juga, perlu diketahui bahwa seringkali semangat melakukan suatu pekerjaan justru datang dan semakin besar bersamaan dengan saat kita melakukan pekerjaan tersebut. Semangat bekerja seringkali muncul bukan sebelum melakukan pekerjaan, tapi pada saat kita melakukan pekerjaan tersebut.

Inilah rahasia mengatasi rasa malas, Jika pikiran kita mulai mencoba melakukan rasionalisasi untuk menundanya, katakan dengan keras dan tegas pada diri kita sendiri: Just do it! Lakukan sekarang juga! Jangan banyak alasan! Niscaya kita akan mampu mengatasi rasa malas dan tidak menunda-nunda melakukan pekerjaan.

Seperti halnya pagi itu, sambil tersenyum saya langsung membalas sms teman saya: ”Kalau elu malas kerja, bagaimana jika perusahaan juga malas membayar gaji elu? Just do it!"

Gong Xi Fat Chai

Ada kemeriahan yang menyegarkan pandangan dalam minggu-minggu ini, nuansa merah dan lampion serta hiasan pohon angpao menjadi pandangan yang akan sering dijumpai. Pergantian tahun Imlek sudah di depan mata. Pada masa-masa seperti ini banyak sekali pembicaraan yang berkaitan dengan pengaruh tahun baru dengan shio. Aneka buku dan ramalan seputar tahun mendatang ikut menyemarakkan suasana. Saya sebagai orang yang awam segala hal mengenai hal ini berusaha mensikapi segala pandangan, pendapat dan analisa dengan pola pikir yang logis.
Pergantian tahun adalah sesuatu yang alami, yang pasti akan terjadi. Dampaknya tentu saja ada bagi kita, ada yang bagus dan tentu saja ada yang kurang. Coba saja amati, bukankah dalam setiap pergantian musim ada flora dan fauna yang diuntungkan dan dirugikan. Itulah hukum alam. Keberuntungan dan kegagalan manusia tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh apa shio kita tapi bagaimana kita mensikap tantangan kehidupan.


Banyak buku dan artikel yang mengulas mengenai pengaruh shio terhadap peruntungan. Semua hal yang ditulis di buku-buku itu hanyalah secara garis besar saja. Misalnya kalau dikatakan shio anda akan ada bahaya, belum tentu akan terjadi. Kalau mau lebih akurat, harus dihitung dan dianalisa sampai ke jam, hari bulan dan tahun. Nah, semua yang dikatakan di buku-buku hanyamenghitung dan analisa tahun saja. Namun itu kembali kepada masing-masing individu dalam mensikapi ”ramalan” shio masing-masing. Hal lain yang banyak diulas juga adalah urusan ”membuang sial”. Urusan "membuang sial" juga cukup ramai. Hal itu terkadang diekspose dalam skala yang berlebihan, sehingga hanya menjadi ritual yang membutuhkan biaya cukup besar.

Sebenarnya teknik untuk "membuang sial" yang paling jitu dan ampuh itu cukup mudah dan murah. Berbuatlah kebajikan setiap hari. Membantu orang, berderma kepada yang membutuhkan, atau hal-hal lain yang setiap hari bisa kita lakukan dan merupakan "jurus nomor wahid" untuk membantu melancarkan jalan hidup kita. Jadi tidak perlu menunggu saat tertentu dalam setahun untuk melakukan seremoni "buang sial" atau apapun istilah lainnya. Tahun Baru Imlek mengandung makna spiritual, makna sosial, dan makna budaya. Saat Tahun Baru Imlek juga menjadi suatu momentum untuk saling introspeksi dan bersosialisasi serta saling berbagi. Bagi umat yang merayakan akan berhenti bekerja sejenak untuk memeriksa apa yang telah dijalaninya sepanjang tahun berlalu. Memeriksa kembali dan merenungkan apa-apa yang telah dikerjakan dan yang belum dikerjakan, meneliti apakah perbuatannya selalu didalam kebajikan atau masih belum.

Tahun Baru juga merupakan momentum untuk membaharui diri. Setelah memeriksa diri dari kekurangan-kekurangan, membulatkan tekad dan mengobarkan semangat untuk memperbaiki dan memperbaharuinya di tahun mendatang, sebagai sujud dan prasetya kepada Sang Khalik.
Sambutlah pergantian tahun (apaun shio tahun anda) dengan pikiran dan perasaan yang positif. Kalau dibilang shio kita bagus atau jelek yah terima saja, amini saja. Perjalanan hidup kita tidak ditentukan oleh aneka "ramalan" yang ditulis dibuku-buku. Nasib anda, andalah yang menentukan sendiri. Bagaimana kita bersikap akan jauh lebih menentukan dan bermakna.

Mari kita jemput keberuntungan dan kejayaan kita di Tahun Tikus dengan bekerja lebih keras dan bahu membahu.


Kebahagiaan

Bagi seorang sopir taksi mencari penumpang di malam hari cenderung lebih beresiko daripada di siang hari terutama untuk daerah-daerah yang dikatakan rawan kejahatan. Karena alasan itulah mereka jadi lebih ekstra hati-hati dan “pemilih” dalam mendapatkan penumpang.

Begitu juga dengan Arif (kebetulan namanya sama dengan saya), teman lama saya seorang manager operasional di sebuah perusahaan taksi yang sedang turun lapangan menjadi pengemudi taksi selama beberapa hari. Malam itu saat melintas di jalan by pass (jl. Yos Sudarso, Jakarta) tepatnya didekat daerah Cempaka putih, dia melihat ada 3 orang melambaikan tangan untuk meminta taksinya berhenti. Ketiga orang tersebut berpakaian kotor, memakai sandal dan membawa pacul. Berdasarkan cerita dari para sopir taksi daerah tersebut merupakan daerah rawan, apalagi penampilan ketiga orang tersebut juga tidak meyakinkan. Namun dia tetap meminggirkan taksinya. Untuk mengurangi resiko, dia minta ketiga orang tersebut untuk meletakkan peralatan mereka di bagasi.

Ketiga orang tersebut bergegas masuk ke kursi belakang taksi dan salah seorang berkata dengan antusias,”Pak tolong antarkan lihat Monas ya”. Melihat penampilan penumpangnya yang seadanya dan tujuan mereka untuk melihat Monas membuat teman saya tergerak untuk mencari tahu. ”Mau lihat apa di Monas pak?” tanyanya. ”Begini pak, kami ini kuli bangunan proyek dan sudah 3 minggu ini ada di Jakarta cari pekerjaan. Alhamdulillah bisa langsung dapat dan tadi siang kami baru terima upah. Besok pagi kami mau pulang ke Brebes untuk kasih uang ini ke istri dan anak-anak. Nah, istri dan anak saya pesen supaya tolong ”diliatkan” Monas dan gedung bertingkat di Jakarta supaya saya bisa cerita ke mereka karena selama ini kami hanya bisa lihat Monas dan gedung bertingkat di Jakarta hanya lewat TV saja”. Dua orang penumpang lainnya mengangguk-angguk mengiyakan.

Dari percakapan selama perjalanan diketahui bahwa saat itulah kali pertama mereka datang ke Jakarta dan mereka mendapat informasi bahwa di Jakarta banyak gedung yang tingginya sampai ke langit dan Monas. Sesampainya di Monas mereka tidak turun dari taksi dan minta teman saya agar jalan pelan-pelan. ”Ooo, kayak gini toh yang namanya Monas..apik banget ya kang (bagus sekali ya mas),” ucap salah seorang dari mereka dengan nada kagum. ”Anak-bojoku nek melu mesti seneng banget ndeleng kiye (anak dan istriku kalau ikut pasti senang sekali melihat ini),” kata seorang bapak dengan wajah sumringah. ”Sudah cukup pak lihat Monasnya, sekarang tolong antar kami kembali ketempat tadi berangkat ya pak”, ujar seorang bapak setelah beberapa saat.

Terbersit rasa haru dalam hati teman saya dan kemudian dia menawarkan sesuatu,”Pak mumpung bapak di Jakarta, mau nggak saya antar lihat gedung-gedung tinggi karena kalau malam lebih bagus pak”. Tawaran ini disambut dengan antusias oleh 3 penumpang tersebut. Dan saat melewati Jalan Sudirman dan Thamrin, ketiga bapak itu tidak henti-hentinya berucap kagum akan kemeriahan dan keindahan lampu-lampu jalan dan gedung di sepanjang jalan protokol itu.

Sesampainya di tempat semula, mereka bertiga terlihat mengeluarkan uang untuk patungan membayar argo taksi dan kemudian menyerahkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. ”Pak uang ini bapak simpan saja ya buat anak dan istri bapak di rumah. Biar argo ini saya saja yang nalangin, yang penting bapak-bapak senang,” teman saya berkata sambil menyorongkan kembali uang itu. Sejenak ketiga bapak itu terdiam dan akhirnya mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan teman saya. Sambil mengambil perlengkapan kerja di bagasi mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas pengalaman yang menyenangkan malam itu. ”Nanti saya kasih tahu sama istri saya kalau saya ketemu orang baik seperti bapak di Jakarta,” kata seorang bapak dengan terharu.

Saat menceritakan pengalaman ini kepada saya, teman saya masih merasakan keharuan sekaligus kebahagiaan malam itu. ”Aku mendapat pelajaran malam itu. Tujuan utama kita kerja sebenarnya tidak lain adalah untuk keluarga. Segala kerja keras kita muaranya hanya untuk kebahagiaan orang-orang yang kita sayangi. Bapak-bapak itu bekerja keras meninggalkan kampungnya juga demi mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Dan saat anak dan istri mereka minta untuk sekedar ”dilihatkan” Monas, mereka juga lakukan walau harus mengorbankan sebagian penghasilan mereka. Itu mereka lakukan juga demi orang-orang yang dicintainya. Aku jadi malu kadang aku suka mengeluh pada diriku sendiri dan pada pekerjaanku. Padahal seharusnya aku bersyukur karena aku mendapat pekerjaan yang baik dan bisa selalu dekat dengan orang-orang yang aku cintai”. Saya yang mendengar pengalaman itu menjadi ikut terharu.

Malam itu, setelah mengantar ketiga bapak tadi ke tempat semula, aku langsung pulang karena tiba-tiba ada rasa rindu yang luar biasa besar pada anak dan istriku”.

Resiko

Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi risiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih. Segala usaha untuk meraih tujuan, selalu melibatkan sebuah risiko. Kita mungkin berkata, "Saya tidak mau bergantung di dahan pohon yang kecil itu!". Kita tidak menyadari bahwa ada buah yang matang dan manis di ujung dahan itu. Buah itu selalu berada di sana, di ujung dahan, menunggu ada orang yang berani memetiknya.

Kebanyakan dari kita memulai hidup ini dengan sikap positif dalam menghadapi risiko. Ketika masih anak-anak, kita tidak sabar untuk melakukan berbagai petualangan baru. Mereka belajar memanjat kursi, menaiki tangga dan berlari-lari. Seorang anak yang sehat, gembira, seperti halnya seorang dewasa yang sehat dan gembira, senang menguji dan mengukur kemampuan mereka. Pada saat kita pertama kali mencoba berjalan dengan tertatih-tatih, pada saat kita mulai menguasai seni berjalan, kita sebenarnya sudah mengambil risiko. Bahkan saat bayi lahir ke duniapun dia sudah memutuskan untuk mau mengambil resiko hidup di dunia baru yang tidak diketahuinya. Dan kita ternyata menyukainya!

Bumbu kehidupan adalah saat kita melakukan hal-hal baru, menciptakan sesuatu dari kemampuan kita sendiri. Kala kita mencintai dan peduli pada seseorang, kita menanggung risiko. Mengatakan 'aku cinta padamu', bisa menjadi urusan yang penuh risiko, tetapi imbalannya sungguh fantastis dan itu yang menggerakkan hati manusia untuk melakukannya. Menjadi sosok manusia yang berbeda juga melibatkan risiko. Anda ingin berubah menjadi seseorang yang lebih bisa tepat waktu akan berisiko dicap sebagai orang yang sok disiplin dsb. Dalam kenyataannya, alam semesta ini senantiasa mendorong kita agar berusaha, berkembang dan menjadi luar biasa.

Kita punya pilihan, yaitu antara menjalani hidup dengan benar-benar hidup atau semata-mata hidup. Kalau kita memilih hanya semata-mata hidup, hidup anda akan tidak banyak gejolak, selalu berada dan bermain di “zona aman” dan sebisa mungkin menghindarkan risiko. Hasil yang akan diterima pun juga akan “semata-mata hasil” saja. Sayuran, bumbu kacang dan tahu kalau dicampur akan tetap jadi gado-gado dan kita tidak mungkin mengharapkannya jadi makanan lain. Namun kalau saja kita mau mengambil resiko dengan melakukan eksperimen dan mencampurkan dan mengolah bahan makanan tadi dengan cara lain kita mungkin bisa mendapatkan jenis makanan lain.

Untuk mencapai sesuatu, kita harus menanggung risiko. Untuk belajar berjalan kita menanggung risiko jatuh dan terluka. Untuk memperoleh uang, kita harus menanggung risiko kehilangan dan orang yang memperoleh uang terbanyak memiliki risiko terbesar. Untuk memenangkan sebuah pertandingan kita menghadapi kemungkinan kalah. Mencari pekerjaan adalah risiko. Menyeberang jalan adalah risiko. Bahkan untuk sekedar makan di restoranpun mengandung risiko.

Singkatnya, Hidup adalah risiko. Dan semua resiko itu harus kita ambil dan alami agar kita bisa lebih menghargai apa arti keberhasilan dan kemenangan. Kita harus berani melewati dahan pohon agar dapat memetik dan merasakan manisnya buah.

Suatu hukum yang berlaku dalam kehidupan ini menjamin bahwa imbalan akan datang sesudah risiko. Dan bukan sebaliknya.

Kreatif

Mungkin anda ingat dengan sebuah cerita mengenai seekor gajah yang diikat kakinya sejak kecil dengan seutas rantai sepanjang 4 meter. Ketika dewasa dia tidak akan (berani) melangkah keluar dari area lingkaran 4 meter walaupun rantainya sudah diganti dengan seutas benang. Gajah berperilaku seperti itu karena dalam pikirannya sudah tertanam kuat bahwa area dia bergerak hanyalah sejauh 4 meter saja karena apabila lebih dari 4 meter akan ada sesuatu yang menahannya. Karena berlaku selama bertahun-tahun akhirnya gerakannya menjadi sudah terpola dalam lingkaran 4 meter itu.

Apakah penggambaran itu bisa juga terjadi pada manusia? Tentu saja. Istri teman saya sudah bisa mengendarai mobil. Hampir tiap hari dia menggunakan mobil untuk antar jemputnya ke dan dari sekolah, tapi dia hanya berani menggunakannya di dalam kompleks perumahannya di Kelapa Gading Jakarta. Selama lebih dari 5 tahun tidak pernah sekalipun dia berani mengendarai mobil keluar dari komplek, sampai akhirnya dia memberanikan diri keluar dari komplek karena harus mengantarkan anaknya yang sakit ke rumah sakit.

Dari pengalaman diatas bisa kita kaji bahwa sebenarnya kita mampu melakukan sesuatu yang awalnya kita pikir tidak bisa. Yang diperlukan terutama sekali adalah mempengaruhi pikiran kita dengan mengatakan bahwa kita pasti bisa. Salah seorang adik kelas saya sewaktu kuliah dulu sekarang menjadi salah satu pengusaha yang cukup sukses di Yogya. Saat memulai usahanya dia (nyaris) tidak memiliki apa-apa kecuali surat ijin pendirian perusahaan. Namun dia yakin bahwa dia bisa dan mencari akal agar usahanya cepat dikenal.

Caranya bagaimana? Dia keluar masuk hotel besar di Yogya dan selalu minta bagian Car Call untuk menyuarakan lewat pengeras suara: “Kepada pengemudi dari Konsultan PT.ABC untuk segera ke lobby hotel”. Padahal dia sama sekali tidak punya sopir karena kemana-mana dia hanya naik motor. Begitu dia lakukan selama beberapa hari dan di dua waktu berbeda yaitu saat makan siang dan saat makan malam dimana tamu yang datang ke hotel lebih banyak. Cara unik ini ternyata berhasil. Beberapa hari kemudian hasil dari iklan di koran dan Car Call di hotel mulai nampak. Banyak telepon yang masuk awalnya penasaran dengan nama perusahaan yang sering mereka dengar di hotel dan beberapa akhirnya berlanjut menjadi sebuah project sampai akhirnya perusahaannya menjadi besar seperti sekarang.

Cerita menarik lain saya dengar mengenai salah seorang mantan pemimpin cabang di bank kita. Salah satu cara unik yang digunakan agar nama UOB Buana dapat cepat dikenal adalah dengan mendatangi orang terkenal (tokoh, pengusaha dll) di kota itu yang meninggal dunia. Saat menyatakan berduka cita kepada pihak keluarga yang meninggal, dia juga menyebutkan sebagai perwakilan dari UOB Buana. Moment itu juga dia manfaatkan untuk memperkenalkan diri dan nama UOB Buana kepada pengusaha dan tokoh masyarakat yang datang melayat. Akhirnya secara perlahan nama UOB Buana mulai banyak dikenal di kalangan pengusaha kota itu.


Kedua pengalaman nyata diatas adalah sebuah bukti bahwa bekerja keras saja belumlah cukup, akan lebih baik bila kita juga selalu terpacu untuk mencari ”cara-cara baru” untuk meningkatkan hasil. Mungkin cara baru itu bukan sesuatu yang canggih atau hebat, namun bisa hal sederhana. Seperti kenalan saya seorang kepala cabang sebuah bank negara di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. ”Daripada saya susah-susah cari nasabah diluar dan ”rebutan” dengan bank lain, saya lebih suka memanfaatkan kedekatan dengan nasabah-nasabah lama saya dan meminta mereka merekomendasikan bank kami kepada keluarga, teman dan partner bisnis mereka. Hasilnya malah lebih cepat dan saya juga bisa lebih yakin bahwa nasabah baru yang saya dapat ini kualitasnya bagus karena hasil ”seleksi” dari nasabah-nasabah saya”, jelasnya suatu hari. Sebuah cara yang sederhana bukan?

Sekarang mari kita coba lihat diri kita sendiri, adakah seutas benang yang menghambat diri kita saat ini? Putuskan benang itu, bergeraklah maju lebih dari lingkaran yang selama ini mengurung. Kita pasti bisa kalau kita berpikir kita bisa, kita akan gagal kalau kita selalu berpikir akan gagal. Dan sesuatu kan sulit dilakukan kalau di awal kita mengatakan itu sulit. Peluang demi peluang muncul setiap hari, dan kalau selama ini kita menutup mata, telinga, pikiran, diri, bahkan hidup kita, maka peluang itu menjadi terbuang, dan akan lewat begitu saja.

Mulailah melangkah sedikit demi sedikit kalau sekiranya masih gamang, lalu berlari cepat setelah lebih yakin lagi. Jangan sia-siakan setiap peluang untuk maju, demi perusahaan, demi diri kita sendiri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.

Catatan Akhir 2007

Sebuah sms masuk ke handphone saya minggu lalu, sms itu mengabarkan sebuah berita duka atas meninggalnya salah seorang mantan dosen saya di saat kuliah di Yogya. Berita duka ini patut disampaikan karena beliau adalah salah seorang dosen yang kami sayangi sekaligus dihormati karena keilmuwannya. Seminggu sebelumnya saya juga mendapat kabar mengenai meninggalnya salah seorang kerabat jauh keluarga istri saya yang tinggal di luar kota. Kedua kabar duka cita ini kembali menyadarkan saya akan sebuah kenyataan hidup yakni kehilangan.

Kematian adalah salah satu bentuk kehilangan yang mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat menyadarkan kita akan arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita akan betapa singkatnya hidup. Padahal selama hidup kita seringkali mempermasalahkan hal-hal sepele, terpaku pada hal-hal duniawi dan menimbun materi yang tidak berkesudahan.

Hidup seringkali kita anggap sebagai sebuah rutinitas yang harus dijalani. Hidup juga seringkali menipu dan meninabobokan orang. Agar tidak terjebak dalam keterlenaan kita harus sadar mengenai siapa diri kita sebenarnya, darimana kita berasal dan hendak kemana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu memberi waktu untuk diri sendiri dan keluar dari rutinitas kesibukan duniawi dengan melakukan perjalanan kedalam diri kita.

Seorang filsuf Perancis Teilhard de Chardin mengatakan bahwa ”kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, sebaliknya kita adalah mahluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi”. Karena itu kita disebut juga sebagai ”mahluk langit”. Kita adalah mahluk spiritual yang sedang menempati kehidupan ragawi di dunia. Tubuh yang kita miliki saat ini adalah rumah sementara bagi sang jiwa karena tubuh merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tubuh lambat laun menua, rusak dan akhirnya tak dapat digunakan lagi. Moment itulah yang disebut sebagai ”meninggal dunia” dan jiwa kita akan pergi menuju ”kehidupan” yang lain.

”Urip kuwi mung mampir ngombe” kata orang jawa, hidup itu hanya mampir untuk minum saja. Kalimat ini bermakna bahwa hidup hanya sebentar sebelum memasuki kehidupan selanjutnya. Tapi sayangnya kalimat penuh makna ini sering kita abaikan dan kita kembali senantiasa menyakiti hati orang lain, mengambil yang bukan hak kita, bermalas-malasan, berkeluh kesah dan menutup mata terhadap indahnya kebenaran.

Saya ingin mengajak Anda untuk membayangkan suatu hari yang pasti kelak akan Anda alami. Pada hari itu Anda melihat diri Anda sendiri sedang terbaring tenang di tengah ruangan dengan dikelilingi oleh sanak saudara, kerabat, rekan kerja dan tetangga rumah Anda. Hari itu adalah hari pemakaman Anda. Hari itu, mereka yang mengelilingi Anda datang dengan berbagai kenangan tersendiri tentang diri Anda. Sebelum jenasah Anda dibawa untuk dimakamkan, beberapa orang diminta untuk mengungkapkan perasaan dan kenangannya tentang diri Anda. Menurut Anda, apa yang ingin Anda dengar pendapat mereka tentang Anda selama masih hidup? Orang tua macam apakah Anda? Suami/ Istri macam apakah Anda? Rekan kerja macam apa? Ipar macam apa? Tetangga macam apakah Anda?

Apapun yang mereka katakan saat itu sangat tergantung dari perilaku dan perkataan yang anda gunakan dan tunjukkan selama Anda hidup dan berinteraksi dengan mereka. Anda tidak punya kuasa lagi untuk memperbaiki pendapat itu sekiranya kenangan mereka tidak seperti yang Anda harapkan. Kalau anda dipersepsikan sebagai orang yang angkuh karena mungkin selama Anda hidup anda menunjukkan sikap senantiasa angkuh terhadap mereka, dan sebaliknya.

Tahun 2007 segera berakhir dan tahun yang baru akan dijelang. Sudah saatnya bagi kita untuk kembali melihat perjalanan hidup yang sudah kita lalui, melihat kembali hal-hal yang sudah kita lakukan dan mengkaji kembali prioritas-prioritas hidup kita. Meningkatkan kualitas hubungan horisontal terhadap sesama manusia dan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Menjalin kembali tali silaturahmi dengan orang-orang yang anda kenal, meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga yang anda kasihi dan memberi banyak kebaikan kepada siapapun yang anda temui.

Mari kita jelang Tahun Baru 2008 dengan penuh keyakinan bahwa di tahun yang menjelang kualitas pribadi dan kerja kita akan senantiasa lebih baik dari tahun yang lalu.

SELAMAT TAHUN BARU 2008 !

Apa yang kita beri akan kembali

Entah kenapa saya tertarik sekali setiap kali saya mendengar ada bencana, baik itu bencana alam maupun hal-hal lain yang membutuhkan bantuan sesama. Dalam hati saya selalu ada dorongan untuk berusaha menyisihkan walau sedikit saja uang yang saya miliki untuk membantu mereka yang terkena musibah. Bagi saya materi masih bisa dicari, dan dengan kita memberikan sekedar seribu, dua ribu ataupun 10 ribu tidak akan membuat kita jatuh miskin.

Suatu kali saya pernah mengirim sedikit uang untuk korban bencana alam disuatu daerah lewat kantor saya. Saat saya menyetorkannya sendiri lewat Teller, Teller tersebut berkata,” Kok sumbangan sedikit amat, kalau mau memberi bantuan yang besar dong”. Memang bantuan yang saya berikan saat itu tidaklah besar dari segi jumlahnya, tetapi kalau saya boleh katakan janganlah bantuan itu dilihat dari nilai nominal yang kita berikan, tetapi lebih melihat dari sisi ketulusan kita untuk membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang kesusahan.

Pernah juga suatu hari sekitar 4 tahun yang lalu saya berjalan disekitar Kantor UOB Buana di kota saya, saat itu saya menemukan sebuah dompet yang tergeletak di jalan. Setelah saya pungut dan saya periksa ternyata dompet itu berisi uang yang cukup banyak. Hampir saja saya tergoda, tetapi hati kecil saya seperti mengingatkan 'KEMBALIKAN SAJA APA YANG BUKAN MILIKMU". Saya kemudian berusaha mencari informasi dan nomor telepon yang terdapat dalam dompet tersebut untuk bisa saya hubungi.

Pada saat itu yang ada di benak saya adalah bagaimana sedih dan bingungnya orang yang kehilangan dompet ini, karena di dompet tersebut terdapat bermacam-macam kartu dan mungkin beberapa surat penting. Setelah 2 hari mencari barulah saya berhasil menemukan pemilik dompet tersebut. Kebetulan pemilik dompet tersebut adalah seorang ibu dan ibu tersebut begitu berterima kasih saat tahu bahwa dompetnya yang hilang akhirnya ditemukan oleh seseorang dan kembali dalam keadaan utuh. Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, ibu tersebut hendak memberikan saya sejumlah uang. Saya berusaha menolak karena saya ikhlas melakukannya namun dia tetap berkeras memberikan. Bagi saya sebenarnya, ibu tersebut cukup memberikan uang hadiah tersebut kepada panti asuhan atau pihak lain yang lebih membutuhkan.

"Tangan Tangan Tuhan akan bekerja", inilah yang saya rasakan dan saya alami saat saya melangsungkan pernikahan saya minggu yang lalu, "angpau" yang saya terima jumlahnya cukup banyak dan bahkan lebih dari cukup. Saya juga kaget karena banyak yang datang dan memberikan angpau tersebut merupakan orang yang sebelumnya tidak termasuk dalam daftar undangan. Saat itu saya menyadari bahwa Tuhan memang Maha Pemurah dan Maha Adil kepada umat-Nya dan saya semakin meyakini bahwa apapun yang kita berikan akan selalu kembali ke kita dalam jumlah yang berlipat.

Saya adalah seorang Katolik tetapi saya suka sekali mendengar dan membaca buku-buku agama yang lain. Bagi saya semua agama selalu mengajarkan hal kebaikan bagi kita walaupun terdapat perbedaan dalam tata cara ritualnya. Kalau kita bisa mengambil "Benang Merah" dari semua ajaran tersebut, niscaya dan saya percaya sekali kita akan menjadi manusia yang selalu bertingkah laku dan selalu berbuat kebaikan kepada sesama.

Di salah satu LPB yang pernah saya baca, ada suntingan sebuah bait dari Lagu "Jagalah Hati” dan dalam kesempatan ini saya ingin katakan bahwa hal itu benar sekali, karena hati lah merupakan Lentera Kehidupan kita dan dari Hatilah segala tingkah laku kita akan terlihat.

Bila hati kita bersih, tingkah laku dan perbuatan kita pun akan bersih.


Tulisan kiriman dari seorang rekan di UOB Buana Jambi.

Dekat Dengan Kesederhanaan

Dalam seminggu ke depan kita akan jelang (bagi yang merayakan) 2 hari raya besar yaitu Idul Adha (20/12) dan Natal (25/12). Idul Adha dirayakan umat Islam untuk memperingati kejadian penting dimana Ibrahim menerima wahyu dari Allah untuk mengorbankan anak semata wayangnya, Ismail. Peristiwa itu merupakan batu ujian terberat bagi Ibrahim untuk menunjukkan bukti kecintaannya pada Allah. Walaupun terasa sangat berat, perintah ini tetap dijalankan oleh Ibrahim yang pada detik terakhir Ismail diganti dengan seekor domba oleh Allah.

Kata “kurban” itu berasal dari bahasa Arab qaraba-yuqaribu-qurbanan-qaribun, yang artinya dekat atau mendekatkan maksudnya adalah mendekatkan diri pada Tuhan. Ibadah kurban menurut Jalaludin Rakhmat (1996) juga mencerminkan pesan moral: kita mendekatkan diri dengan saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang tidak lebih beruntung dari kita. Bila kita memiliki kenikmatan, kita diminta berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila berpuasa, kita akan merasakan lapar seperti halnya orang miskin. Hewan kurban yang dipotong merupakan simbol dari penyembelihan dari nafsu kebinatangan yang seringkali kita tunjukkan semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, dan setiap sesuatu yang membutakan mata dan telinga kita terhadap kebenaran.


Hari Natal dirayakan setiap tahun untuk memperingati kelahiran Yesus. Dalam perspektif umat Kristiani, Yesus dihormati sebagai sang penebus dosa-dosa; yang memungkinkan kembalinya kita diterima dengan baik oleh Allah. Dengan demikian, Tuhan sendiri mendekat, mau menerima manusia, mau bertegur sapa dengan-Nya sehingga manusia bisa berharap, bisa membuka hati. Di dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa Dia lahir di palungan dalam sebuah kandang yang kotor, karena tidak ada tempat di dalam penginapan. Berselimutkan kain lampin yang sederhana dan ditemani oleh para gembala. Kenyataan ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk mengambil sikap bersahaja. Semacam semangat untuk mau berbuat baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil dan lemah, serta tidak memberi ruang pada kebencian dan rasa balas dendam kepada siapapun.

Bila diresapi lebih dalam, semangat yang dimiliki oleh 2 hari besar tersebut sebenarnya semakna sejalan. Memaknai sebuah peristiwa untuk bisa lebih dekat dengan kesederhanaan, meningkatkan kepedulian terhadap sesama dan selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Pada perayaan Idul Adha, daging hewan kurban yang disembelih akan dibagikan kepada kaum fakir (tidak mampu), membagikan rejeki dan kenikmatan kepada mereka dan secara tidak langsung kita juga diajak untuk bisa memahami ketidak beruntungan mereka. Natal, merefleksikan kehadiran Tuhan dalam kesederhanaan bersama-sama dengan orang-orang kecil.

Mendekati hari raya Idul Adha ini, kenangan saya selalu kembali pada masa sekitar 13 tahun lalu saat saya melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah desa kecil di daerah Banyumas (Jawa Tengah). Kebetulan selama 3 bulan saya dan teman-teman tinggal disana dan berkesempatan menikmati perayaan hari besar ini. Dua minggu sebelum hari raya suasana di desa tersebut mulai berubah. Warga dari segala usia semua kelihatan antusias mempersiapkan segala sesuatunya dan raut kebahagiaan terpancar dari orang-orang yang saya temui.

Dalam sebuah percakapan dengan seorang sesepuh desa, saya memahami perubahan perilaku warga desa tersebut. Setiap hari raya besar akan banyak sanak kerabat mereka yang bekerja di kota besar pulang ke desa itu, kembali berkumpul dengan keluarga merajut kembali silaturahmi yang terpisah jarak. Alasan kedua adalah hari raya itu adalah hari raya kurban yang juga berarti mereka akan bisa menikmati gurihnya daging kambing atau sapi, karena bagi warga desa tersebut makan berlaukkan daging adalah sebuah “kemewahan” tersendiri.

Saat makan siang bersama di pelataran masjid saya banyak melihat raut wajah penuh syukur dan bahagia di sekitar saya. Warga desa yang tidak merayakan juga diundang dalam acara tersebut. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan saya merasakan arti kasih antar sesama yang sesungguhnya. Walaupun secara materi mereka serba kekurangan namun sesungguhnya mereka memiliki kekayaan bathin yang lebih dibandingkan saudara-saudara mereka yang tinggal di kota, termasuk saya.

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA DAN HARI NATAL 2007

Tuesday, February 5, 2008

Menyalahkan Orang Lain

Namanya Andre, seorang eksekutif muda sebuah bank negeri yang besar. Dia direkrut dan disekolahkan oleh bank tersebut karena kecerdasannya tidak mengecewakan selama kuliah. Gayanyapun sekarang sudah beda dengan saat kuliah dulu. Kalau dulu makan di warungpun mesti harus banyak sayur dan nasi daripada lauk. Sekarang kalau tidak makan di Cafe kayaknya belum afdol. Setiap ketemu 2 buah handphone selalu menemani dia kemanapun. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah sampai sekarang: kebiasaannya datang terlambat setiap kali kami berkumpul. Dan selalu saja ada alasan, entah yang jalan macet lah, taksi susah dapet lah atau lagi banyak pekerjaan.

Seperti juga siang itu saat kami janjian kumpul untuk sekedar ngobrol di sebuah cafe. ”Sorry, gua telat nih,” ujarnya tanpa merasa bersalah. ”Macet lagi jalanan atau elo nggak dapat taksi?” tanya teman saya kesal. ”Bukan, tadi adik gua ikutan jadi gua mesti anter dia dulu dan ternyata di jalan itu macet cet,” jelasnya sambil lalu. Kami yang sudah hadir 1 jam sebelumnya hanya tersenyum maklum.

Entah kenapa teman saya ini selalu ada alasan untuk menjelaskan keterlambatannya. Dan selalu yang jadi alasannya adalah segala hal di luar dirinya. Pendek kata menyalahkan kondisi di luar atau orang lain sebagai alasannya. Mungkin bukan hanya dia saja yang pernah (bahkan selalu) melakukan hal ini, mungkin anda juga pernah, saya juga dan sepertinya tidak ada orang yang tidak pernah melakukan hal ini. Cobalah sekali waktu kita cermati, berapa kali dalam sehari kita menyalahkan orang lain atau keadaan. Perilaku ini seolah sudah menjadi bagian dari budaya kita. Setiap ada masalah otomatis telunjuk kita akan menunjuk keluar.

Entah disadari atau tidak, kita sebagai orang tua (atau calon orang tua) ternyata memiliki andil dalam menanamkan dan menyuburkan perilaku ini terhadap anak-anak kita. Kalau anak anda sedang bermain-main kemudian dia menangis. Apa yang biasanya kita lakukan? Kita (biasanya) akan bertanya ”Kenapa dek? Siapa yang nakal? Ooo kakak ya yang nakal?”. Bahkan kalau anak kita sedang main sendirianpun dan dia menangis karena terbentur kursi, kita akan juga bertanya ”Siapa yang nakal? Ooo kursinya ya yang nakal sama adek..sini biar mama cubit nanti kursinya ya...”.


Dengan semakin seringnya kita mengatakan hal-hal demikian, wajar saja paradigma yang terpatri dalam benak seorang anak kecil adalah apabila ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya itu diakibatkan oleh sesuatu diluar dirinya, bisa orang-orang atau benda-benda yang berada di sekitarnya. Dan begitu dia mengalami masalah lagi dia akan dengan fasihnya menunjuk dan mengatakan siapa atau apa yang salah.

Nah sekarang coba kita lihat perilaku kita sendiri. Kalau kita terlambat datang ke kantor, apa yang biasanya kita salahkan? mungkin kita akan menyalahkan jalanan yang macet atau angkutan yang lebih sering ngetem daripada jalan sebagai kambing hitamnya. Kalau karier kita mentok siapa yang salah? Mungkin kita akan menunjuk atasan yang sentimen dengan kita sebagai sumber masalahnya. Kalau kenaikan gaji kita ternyata lebih kecil dari si A, siapa yang salah? Mungkin kita akan mengatakan bahwa si A memang anak emas atasan kita karena itu dia bisa mendapat lebih banyak. Kalau semua hal yang terjadi dengan diri kita sumber masalahnya selalu berada pada orang lain atau keadaan di luar, lantas apa bedanya kita dengan anak kecil?

Dalam buku 8th habit karya Stephen Covey, perilaku kita yang menyalahkan orang lain (atau keadaan diluar) terjadi karena kita menganggap diri kita sebagai obyek dalam kehidupan. Paradigma menganggap diri sebagai obyek ini disebut juga sebagai paradigma Outside-In (luar – kedalam). Orang-orang seperti Andre kalau tidak mengubah paradigmanya akan terus menemui hal yang sama dengan ilustrasi di atas, kemanapun mereka pergi. Kehidupan mereka akan bisa menurun kualitasnya dan bisa gagal menjadi orang yang sukses, karena memang hidup ini penuh masalah dan mereka selalu memposisikan dirinya sebagai obyek.


Stephen Covey menuliskan bahwa untuk menjadi orang yang sukses haruslah memiliki paradigma Inside-Out (dalam-keluar). Paradigma ini memposisikan diri kita sebagai subyek dari kehidupan ini dan kita punya kemampuan untuk mengatasi segala kesulitan dan bukan lagi sebagai obyek dari kesulitan itu. Bila Andre memiliki paradigma berpikir seperti ini tentu ia akan 99,9% tepat waktu. Dia akan menjadi orang yang super kreatif mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ia akan menyediakan payung dalam tasnya untuk bersiap kalau-kalau hujan turun, ia akan bangun lebih awal, berangkat lebih cepat sehingga ia punya punya cukup waktu cadangan kalau-kalau jalanan macet. Ia menjadi super kreatif menghadapi semua permasalahan.

Orang dengan paradigma ini tidak pernah mengenal stress, karena ia yakin bahwa setiap masalah yang timbul pasti bisa diselesaikan. Orang-orang besar adalah orang-orang yang tidak pernah mengeluhkan keadaan, merekalah yang mengendalikan keadaan. Setiap permasalahan yang mereka temui mereka anggap sebagai tantangan baru untuk meningkatkan kreatifitas mereka. Dan saya yakin di UOB Buana masih banyak orang-orang yang memiliki paradigma seperti ini.

Miskin Mental

Suatu siang saya sedang berada dalam 1 mobil dengan atasan saya menuju ke Harmoni. Di sebuah jalan saya melihat beberapa anak muda tanggung berdiri di tengah median jalan dengan ember ditangan. Mereka meminta sumbangan dari mobil-mobil yang lewat. Dengan menggerak-gerakkan ember mereka menyorongkan ember itu ke jendela mobil-mobil berjalan pelan karena kondisi macet. Sayang saya tidak sempat membaca tulisan yang ada pada ember itu. Tidak banyak mobil yang membuka kaca dan memberikan sekedar lembaran ribuan atau recehan.

Kamu ingat apa yang kamu tulis dalam artikel kemarin mengenai sedekah Rif? Kalau yang minta-minta orangnya begitu kira-kira kamu akan kasih juga nggak?,” tanya atasan saya. ”Kalau dari prinsip bahwa kita lebih mampu dari mereka tentu kita akan berikan. Namun pemberian itu juga harus dilihat dari manfaat jangka panjangnya. Jangan sampai pemberian kita itu ternyata malah ”disalahgunakan” dan malah menciptakan orang-orang yang bukan hanya miskin secara materi tapi lebih bahaya lagi adalah kemiskinan mental”.

Mendengar penjelasan tersebut saya teringat dengan pengalaman teman saya yang menceritakan bagaimana saudara-saudaranya yang lain melihat dan mem-persepsikan dirinya. Teman saya ini adalah anak bungsu dari sebuah keluarga besar dan kebetulan juga dari segi materi masih lebih baik dari kakak-kakaknya yang lain. Setiap kali kakak-kakaknya ada masalah (seringnya berkaitan dengan materi) mereka biasanya menghubungi teman saya ini dan minta dibantu. Awalnya dengan senang hati mereka dia bantu. Namun lama-kelamaan menjadi keseringan dan bukannya kebaikan atau ucapan terima kasih yang diterimanya, malah cibiran dan sindiran apabila sekali waktu dia tidak dapat membantu.

Dari pengalaman teman saya tersebut, dia secara tidak sengaja telah menciptakan manusia-manusia yang seperti atasan saya sebut sebagai miskin secara mental karena saudara-saudaranya menjadi terbiasa hidup dari pemberian orang lain dan tidak tergerak untuk berusaha merubah nasibnya sendiri. Orang-orang seperti ini dengan tidak malu-malu akan selalu menengadahkan tangannya kepada orang lain mengharapkan pemberian.

Dalam sebuah buku agama yang pernah saya baca, dikisahkan oleh Anas bin Malik bahwa salah seorang laki-laki kaum Anshar mendatangi Rasulullah dan meminta sesuatu. Rasulullah bertanya padanya, "Apakah kamu tidak memiliki apa pun di rumahmu?". Ia menjawab, "Tentu kami punya, kain yang kami pakai sebagian dan sebagian lainnya kami jadikan alas, dan juga gelas besar tempat kami minum." Rasulullah berkata, "Bawalah keduanya padaku." Lalu kedua barang itu diberikan kepada Rasulullah dan beliau pun lalu melelangnya, "Siapakah yang ingin membeli kedua barang ini?" Seseorang berkata, "Aku akan membelinya dengan dua dirham”. Lalu Rasulullah menjualnya dan memberikan uangnya dan berkata, "Belilah dengan dirham pertama ini makanan untuk kau berikan kepada keluargamu dan dirham lain belilah kapak dan bawa kepadaku."

Setelah kapak dibeli, lalu Rasulullah memerintahkan, "Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu lagi hingga lima belas hari ke depan”. Laki-laki itu lalu mencari kayu bakar dan menjualnya. Tiba saatnya, ia pun mendatangi Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham di tangannya, yang sebagian ia belikan makanan. Melihatnya, Rasulullah pun berkata, "Ini lebih baik bagimu daripada sedekah yang memberikan noda hitam di wajahmu pada hari kiamat!" .

Pembelajaran yang tersirat adalah hendaknya kita sama-sama menyadari bahwa sikap peduli dan kasih sayang kepada sesama tidak cukup hanya diungkapkan secara emosional. Justru harus dilakukan proporsional dan rasional sebagaimana ditunjukkan Rasulullah dalam cerita tersebut. Dengan demikian, kita akan menciptakan suasana yang mendorong seseorang untuk produktif dan tidak semakin menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan mental yang dalam.

Pemberian memang selalu bermakna baik namun akan lebih mulia lagi apabila pemberian tersebut memang tepat untuk diberikan dan dapat mengangkat derajat si penerima dari kemiskinan mental. Perjalanan singkat siang itu ternyata memberi pelajaran baru yang berharga bagi saya dalam menumbuhkan kesadaran baru agar saya tidak menjadi manusia yang miskin secara mental.