Bagi seorang sopir taksi mencari penumpang di malam hari cenderung lebih beresiko daripada di siang hari terutama untuk daerah-daerah yang dikatakan rawan kejahatan. Karena alasan itulah mereka jadi lebih ekstra hati-hati dan “pemilih” dalam mendapatkan penumpang.
Begitu juga dengan Arif (kebetulan namanya sama dengan saya), teman lama saya seorang manager operasional di sebuah perusahaan taksi yang sedang turun lapangan menjadi pengemudi taksi selama beberapa hari. Malam itu saat melintas di jalan by pass (jl. Yos Sudarso, Jakarta) tepatnya didekat daerah Cempaka putih, dia melihat ada 3 orang melambaikan tangan untuk meminta taksinya berhenti. Ketiga orang tersebut berpakaian kotor, memakai sandal dan membawa pacul. Berdasarkan cerita dari para sopir taksi daerah tersebut merupakan daerah rawan, apalagi penampilan ketiga orang tersebut juga tidak meyakinkan. Namun dia tetap meminggirkan taksinya. Untuk mengurangi resiko, dia minta ketiga orang tersebut untuk meletakkan peralatan mereka di bagasi.
Ketiga orang tersebut bergegas masuk ke kursi belakang taksi dan salah seorang berkata dengan antusias,”Pak tolong antarkan lihat Monas ya”. Melihat penampilan penumpangnya yang seadanya dan tujuan mereka untuk melihat Monas membuat teman saya tergerak untuk mencari tahu. ”Mau lihat apa di Monas pak?” tanyanya. ”Begini pak, kami ini kuli bangunan proyek dan sudah 3 minggu ini ada di Jakarta cari pekerjaan. Alhamdulillah bisa langsung dapat dan tadi siang kami baru terima upah. Besok pagi kami mau pulang ke Brebes untuk kasih uang ini ke istri dan anak-anak. Nah, istri dan anak saya pesen supaya tolong ”diliatkan” Monas dan gedung bertingkat di Jakarta supaya saya bisa cerita ke mereka karena selama ini kami hanya bisa lihat Monas dan gedung bertingkat di Jakarta hanya lewat TV saja”. Dua orang penumpang lainnya mengangguk-angguk mengiyakan.
Dari percakapan selama perjalanan diketahui bahwa saat itulah kali pertama mereka datang ke Jakarta dan mereka mendapat informasi bahwa di Jakarta banyak gedung yang tingginya sampai ke langit dan Monas. Sesampainya di Monas mereka tidak turun dari taksi dan minta teman saya agar jalan pelan-pelan. ”Ooo, kayak gini toh yang namanya Monas..apik banget ya kang (bagus sekali ya mas),” ucap salah seorang dari mereka dengan nada kagum. ”Anak-bojoku nek melu mesti seneng banget ndeleng kiye (anak dan istriku kalau ikut pasti senang sekali melihat ini),” kata seorang bapak dengan wajah sumringah. ”Sudah cukup pak lihat Monasnya, sekarang tolong antar kami kembali ketempat tadi berangkat ya pak”, ujar seorang bapak setelah beberapa saat.
Terbersit rasa haru dalam hati teman saya dan kemudian dia menawarkan sesuatu,”Pak mumpung bapak di Jakarta, mau nggak saya antar lihat gedung-gedung tinggi karena kalau malam lebih bagus pak”. Tawaran ini disambut dengan antusias oleh 3 penumpang tersebut. Dan saat melewati Jalan Sudirman dan Thamrin, ketiga bapak itu tidak henti-hentinya berucap kagum akan kemeriahan dan keindahan lampu-lampu jalan dan gedung di sepanjang jalan protokol itu.
Sesampainya di tempat semula, mereka bertiga terlihat mengeluarkan uang untuk patungan membayar argo taksi dan kemudian menyerahkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. ”Pak uang ini bapak simpan saja ya buat anak dan istri bapak di rumah. Biar argo ini saya saja yang nalangin, yang penting bapak-bapak senang,” teman saya berkata sambil menyorongkan kembali uang itu. Sejenak ketiga bapak itu terdiam dan akhirnya mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan teman saya. Sambil mengambil perlengkapan kerja di bagasi mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas pengalaman yang menyenangkan malam itu. ”Nanti saya kasih tahu sama istri saya kalau saya ketemu orang baik seperti bapak di Jakarta,” kata seorang bapak dengan terharu.
Saat menceritakan pengalaman ini kepada saya, teman saya masih merasakan keharuan sekaligus kebahagiaan malam itu. ”Aku mendapat pelajaran malam itu. Tujuan utama kita kerja sebenarnya tidak lain adalah untuk keluarga. Segala kerja keras kita muaranya hanya untuk kebahagiaan orang-orang yang kita sayangi. Bapak-bapak itu bekerja keras meninggalkan kampungnya juga demi mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Dan saat anak dan istri mereka minta untuk sekedar ”dilihatkan” Monas, mereka juga lakukan walau harus mengorbankan sebagian penghasilan mereka. Itu mereka lakukan juga demi orang-orang yang dicintainya. Aku jadi malu kadang aku suka mengeluh pada diriku sendiri dan pada pekerjaanku. Padahal seharusnya aku bersyukur karena aku mendapat pekerjaan yang baik dan bisa selalu dekat dengan orang-orang yang aku cintai”. Saya yang mendengar pengalaman itu menjadi ikut terharu.
”Malam itu, setelah mengantar ketiga bapak tadi ke tempat semula, aku langsung pulang karena tiba-tiba ada rasa rindu yang luar biasa besar pada anak dan istriku”.
Wednesday, May 14, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment