Thursday, April 26, 2007

Ramayana Dept. Store: Beyond Expectation

Siapa diantara anda yang tidak pernah mendengar dan melihat Ramayana Department Store? Banyak orang bilang bahwa target pasar mereka adalah konsumen dengan golongan menengah ke bawah atau golongan masyarakat kebanyakan. Seringkali dalam persepsi orang, layanan tidak begitu diperhatikan dalam operasional Ramayana dan ini selalu dikaitkan dengan golongan pelanggan mereka. Pengalaman saya dengan Ramayana ternyata berbeda.

Di kantor saya yang dulu, setiap hari jumat karyawan dibolehkan untuk menggunakan pakaian casual. Hari itu saya menggunakan kaos kerah dan celana jeans. Mendadak ada permintaan dari klien untuk melakukan presentasi pada jam 15.00 mengenai progress project yang sedang saya tangani. Jelas tidak mungkin bagi saya untuk pergi ke klien dengan pakaian santai seperti itu. Kebetulan di seberang kantor kami ada Ramayana Departemen Store yang tidak terlalu besar dan saya yakin mereka pasti menjual pakaian yang saya butuhkan.

Sesampainya disana saya mulai mencari kemeja putih dan celana panjang hitam. Saat itu pramuniaga menanyakan kebutuhan saya dan memberikan kepada saya beberapa pilihan kemeja dan celana serta dasi (padahal saya tidak minta untuk ini). Setelah beberapa kali memilih dan mencoba akhirnya saya memutuskan untuk membeli kemeja, celana dan dasi. Kecenderungan kondisi pakaian baru adalah terlihat kusut karena selalu disimpan dalam posisi terlipat. Saya katakan kepada pramuniaga bahwa saya akan langsung memakainya dan membungkus pakaian yang saya kenakan saat itu, tapi (kalau bisa) saya minta pakaian yang kondisinya tidak kusut seperti itu.

Si pramuniaga kemudian mencari dalam tumpukan dan membuka beberapa pakaian untuk melihat kondisinya…dan bisa dipastikan bahwa semua kondisinya sama. Kemudian si pramuniaga mengatakan, “kalau memang bapak mau memakainya langsung, saya bisa menyetrika baju ini sekarang agar tidak terlihat kusut”. Saya seolah tidak percaya dengan tawaran itu dan ketika si pramuniaga sambil tersenyum mengatakan “beri saya waktu 5 menit dan bapak akan mendapatkan kemeja baru yang sudah rapi…, dan selama saya merapikan bapak bisa mengurus pembayaran di kasir D yang letaknya disebelah konter Jeans”. Tanpa pikir panjang saya langsung menyetujui usulnya dan mengantri untuk melakukan pembayaran. Saat kembali dari membayar, saya melihat pramuniaga sudah memegang dengan hati-hati baju baru saya yang sudah rapi!…..luar biasa!

Dan saya keluar dari Ramayana tersebut dengan senyum mengembang bukan hanya karena baju baru saya bersih dan rapi tapi lebih pada layanan pramuniaga yang telah melebihi harapan saya……..!


Pembelajaran

Saya tidak yakin bahwa dalam job description pramuniaga tersebut tertulis bahwa dia harus menyetrika baju yang akan dibeli oleh pelanggan. Tapi saya yakin bahwa dalam dirinya selalu ada keinginan untuk membantu dan membahagiakan orang lain, membuat hari pelanggan menjadi lebih menyenangkan dengan memberikan usaha ekstra dalam layanan.

Banyak cara dan kesempatan untuk bisa membahagiakan dan memuaskan pelanggan, yang dibutuhkan hanyalah keinginan yang kuat untuk memberikan yang terbaik dan kreatifitas !


Basri

Akhir-akhir ini saya menemukan sesuatu yang menarik yang terjadi di komplek perumahan saya di Bekasi. Kebiasaan para ibu-ibu (yang tidak bekerja) dan sebagian besar pembantu rumah tangga setiap pagi sekitar jam 7 pagi adalah membeli sayur mayur. Saya sebut menarik karena sebagian besar para ibu dan pembantu tersebut hanya membeli pada satu tukang sayur saja yang bernama Basri, padahal tukang sayur yang beredar dalam komplek itu tidak hanya dia saja tapi ada 5 orang tukang sayur lain.

Kembali syaraf keingintahuan saya tergelitik, ada apa dengan si Basri ini dan kenapa dia lebih banyak dipilih daripada tukang sayur lain. Harga yang ditawarkan ternyata tidak lebih murah dari tukang sayur lain dan variasi sayurnya pun tidak lebih lengkap. Lalu apa yang membuat satu tukang sayur ini berbeda? Setelah saya amati ternyata memang ada yang membedakan Basri ini dengan yang lain yaitu cara dia berjualan. Wajahnya selalu tersenyum pada saat berinteraksi dengan para pelanggannya dan percakapan yang terjadi tidak melulu masalah sayuran yang dibawanya tapi juga berkisar masalah lain. Dia hapal nama dari setiap pelanggannya dan selalu menyebutkan nama pada saat berinteraksi. Dengan begitu para pelanggannya setiap pagi itu merasa nyaman saat berbelanja dan akan terus berbelanja kepadanya.

Ada sebuah studi yang mengatakan bahwa keputusan pembelian lebih banyak didasarkan pada faktor emosional ketimbang rasional. Terutama untuk produk dan jasa yang memiliki banyak pilihan (consumer goods, banking dll). Kalau saya akan membeli spare part untuk mobil Toyota saya, saya selalu pergi ke sebuah toko langganan saya di Atrium Senen. Kali pertama saya mencoba untuk pergi ke beberapa toko tapi saya akhirnya selalu memilih toko di sudut tersebut sebagai tujuan tetap saya. Pilihan itu bukan didasarkan pada faktor harga tapi lebih didasarkan pada bagaimana si penjual memperlakukan saya selama transaksi. Selain mendapatkan spare part yang saya mau, disana saya juga dapat belajar seluk beluk mesin karena mereka akan dengan senang hati menjawab dan menjelaskan setiap pertanyaan saya mengenai mesin mobil.

Ketika pelanggan diberi pilihan beberapa perusahaan,”perasaan nyaman” menjadi efektif dalam mempengaruhi mereka dalam memutuskan pembelian dari perusahaan tertentu. Rasa nyaman ini didapatkan dari beberapa elemen seperti fasilitas fisik yang tersedia (banking hall, toko yang nyaman dll), produk yang baik dan terutama sekali adalah perlakuan dari staf yang melayani pelanggan. Pengaruh rasa nyaman terhadap sebuah perusahaan “sangat ampuh”, menurut Jan Carlzon, mantan presiden Scandinavian Airlines (SAS). “Inilah kekuatan yang mendatangkan profit yang konsisten”. Mengherankan bahwa banyak perusahaan tidak melihat adanya hubungan antara penjualan dan Layanan. Mereka percaya bahwa perusahaan telah memenuhi kewajibannya saat pelanggan mendapatkan barangnya. Layanan hanya dilihat sebagai “bonus” yang tidak menghasilkan apa-apa dalam bisnis mereka dan karena itu Layanan dirasa tidak diperlukan.

Dari survey yang saya lakukan pada nasabah bank kita, sebagian besar mereka mengatakan bahwa mereka merasa nyaman saat mereka bertransaksi dan berinteraksi dengan para karyawan di cabang. Nyaman itu diterjemahkan dalam bentuk perlakuan yang bersifat kekeluargaan bukan pada kenyamanan dalam konteks tempat ataupun fasilitas. Dan menurut saya ini adalah hal penting yang kita miliki yang dapat membuat ikatan dengan nasabah.

Saya sempat berdiskusi dengan salah seorang GM senior dari sebuah bank swasta, beliau mengatakan bahwa nasabah mereka punya semacam ungkapan untuk bank tersebut:”I NEED YOU BUT I DON’T LOVE YOU”. Ini dibuktikan pada saat bank tersebut terkena isu negative, begitu banyak nasabahnya yang langsung menarik dananya untuk kemudian dipindah ke bank lain disebelah bank tersebut. Tapi begitu krisis (isu) itu selesai, berbondong-bondong pula nasabah yang pindah tersebut kembali menyimpan dananya ke bank tersebut.

Tindakan ini disebabkan karena para nasabah sudah punya “ikatan emosional” dengan bank tersebut. Nilai positifnya adalah sudah terbentuk NEED (ikatan) dalam benak nasabahnya dan belum LOVE karena kalau ungkapan itu sudah berubah menjadi “I NEED YOU AND I LOVE YOU”, dengan begitu isu apapun tidak akan membuat nasabah dengan mudahnya berpindah ke bank lain.

Untuk membuat ikatan emosional pada pelanggan bukanlah pekerjaan yang mudah dan cepat. “Bank kami, lanjutnya, “memulainya sudah belasan tahun dan kami sangat focus pada hal itu dan apapun yang kami lakukan tujuan kami hanya satu: menciptakan “ketergantungan” pada nasabah kepada kami and you see, it works!”.

Ya, kita memang hidup di era dimana terdapat sekian banyak produk dan jasa yang serupa. Produk bank tidak jauh dari tabungan, deposito dan kredit; asuransi tidak jauh dari asuransi jiwa, pendidikan, dan investasi. Yang membedakan dari segala persamaan tersebut adalah seberapa nyaman pelanggan berinteraksi dengan perusahaan tersebut.

Pembelajaran

Ada pepatah kuno yang mengatakan, “apabila anda ingin orang lain menyukai anda, sentuhlah hatinya”. Menyentuh hati dalam Layanan adalah memberikan atmosfir yang nyaman dan menyenangkan pada saat kita betransaksi dan berinteraksi dengan pelanggan.

Pesan Tuhan pada Tubuh

Pernahkah sesekali anda berdiam dan merenung tentang apa yang Tuhan sudah berikan dan ciptakan untuk kita? Sejatinya Yang Maha Pemberi tidak semata-mata menciptakan dan meletakkan sesuatu tanpa ada maksudnya. Tidak perlu melihat yang jauh-jauh, lihatlah apa yang telah Allah ciptakan dan letakkan sesuatu di tubuh kita.

Tuhan menciptakan kita dengan dua mata yang diletakkan di depan wajah kita, karena kita diminta untuk tidak selalu melihat ke belakang. Memandang kebelakang serupa dengan selalu memandang masa lalu kita, berandai-andai bahwa sesuatu tetap seperti adanya dulu tanpa mengikhlaskan adanya perubahan. Mata diletakkan di depan sebagai ajakan untuk kita agar selalu memandang semua itu kedepan, pandanglah masa depan kita. Kita memang tidak hidup di masa depan, juga tidak hidup dalam keagungan masa lalu. Kita hidup hari ini, sekarang, dan saat kinilah sebagai persiapan untuk menuju ke masa depan karena waktu tiada dapat berulang.

Kita dilahirkan dengan 2 buah telinga yang diletakkan di kanan dan kiri, supaya kita bisa mendengarkan semuanya dari dua sisi. Mendengar dari dua sisi juga berarti bahwa apa yang kita dengar haruslah seimbang atau bisa juga apabila ada seuatu permasalahan janganlah hanya mendengar dari satu pihak tapi coba dengar dari 2 sisi yang berbeda agar keputusan yang akan kita berikan juga diharapkan dapat lebih adil. 2 telinga ini juga merupakan simbol bahwa kita harus bisa menerima tidak hanya pujian tapi juga kritikan.


Kita terlahir dengan 1 otak yang terletak didalam tengkorak kepala kita. Otak yang lembut dan sangat sensitive dilindungi oleh sebuah tempurung yang kuat. Sehingga tidak peduli semiskin apapun kita secara materi, kita tetaplah “kaya” sebagai manusia. Orang dapat saja mengambil kekayaan materi kita namun tidak akan ada satu orang pun yang bisa mencuri pikiran, keyakinan, ide dan bahkan mimpi kita. Dan apa yang kita miliki dalam pikiran kita jauh lebih berharga dari pada kekayaan materi yang kita miliki. Otak yang dipenuhi dengan pikiran positif, rasa cinta kasih dan keinginan untuk selalu memberi dapat memberi kedamaian bagi orang-orang disekitarnya.

Bagaimana dengan mulut? Kita memiliki 2 mata, 2 telinga tapi kita hanya diberi 1 buah mulut. Karena Sang Maha kasih menginginkan kita untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kemahiran mendengar dengan baik tidak lebih mudah dari kepintaran berbicara. Butuh banyak ruang kesabaran dalam hati kita untuk bisa menjadi pendengar yang baik. Selain itu mulut cukup satu saja karena mulut adalah senjata yang sangat tajam, mulut bisa menyakiti, bisa membunuh, bisa menggoda, dan banyak hal lainnya yang tidak menyenangkan. Ungkapan lidah lebih tajam dari pedang ada benarnya karena luka pedang akan terlihat dan mudah dihilangkan. Tapi luka karena ucapan tak terlihat dan butuh waktu dan usaha untuk menyembuhkan. Sehingga bila kita hendak mengatakan sesuatu yang menyakitkan berpikirlah seribu kali. Ingatlah untuk mencoba berbicara sesedikit mungkin namun lihat dan dengarlah sebanyak-banyaknya.

Kita lahir hanya dengan 1 hati yang letaknya jauh didalam tulang iga kita. Mengingatkan kita pada penghargaan dan pemberian cinta diharapkan berasal dari tempat dalam tubuh kita yang paling dalam: Hati. Belajar untuk mencintai dan menikmati betapa kita dicintai tapi jangan pernah mengharapkan orang lain untuk mencintai kita seperti kita mencintai mereka.

Harmonisasi antara mata, telinga dan mulut sangat ditentukan oleh bagaimana hati dan pikiran kita bekerja. Kita akan memandang dengan penuh kasih, tersenyum dengan segenap ketulusan dan mendengar dengan lebih sabar apabila pikiran kita dilingkupi oleh kejernihan, kesabaran dan pasokan cinta kasih. Bila harmonisasi ini selalu kita tunjukkan niscaya akan banyak memberi kedamaian pada sekitar. Permasalahan akan dapat diselesaikan apabila dituntun oleh semangat saling kasih dan cinta.

Berilah cinta tanpa meminta balasan dan kita akan menemukan cinta yang jauh lebih indah
.

Tuesday, April 17, 2007

Rejeki

Suatu siang saya naik sebuah taksi blue bird dari daerah Senen. Pengemudinya seorang bapak dengan usia sekitar 40 tahun, berkulit gelap dan badan sedikit gemuk. Setiap kali naik taksi saya selalu sempatkan ngobrol dengan pengemudinya, dari mulai obrolan ringan sampai dengan yang “sedikit seirius”. Pertanyaan awal yang sering saya tanyakan kepada pengemudi taksi adalah menanyakan pendapatannya sampai jam saat saya naik.

Begitu juga siang itu saya menanyakan pertanyaan “pembukaan” tersebut. Tapi alih-alih menjawab pertanyaan saya, dia malah balik mengajukan pertanyaan kepada saya.”Pak, maaf ya saya mau tanya, bapak percaya nggak kalau rejeki kita itu sudah diatur dan ditentukan banyaknya, dan kita manusia hanya diminta untuk berusaha dengan tanpa sedikitpun mempertanyakan rejeki tersebut?”. Saya mengiyakan pertanyaan tersebut dan mempertanyakan alasan pertanyaan tadi.

Saya memang percaya dengan pernyataan saya tadi dan hari ini saya ditunjukkan bukti bahwa apa yang saya yakini itu benar bahwa rejeki masing-masing orang sudah ada yang mengatur dan kadang rejeki itu datangnya juga bisa datang dari sumber yang tidak pernah kita duga arahnya”, jelas sopir taksi tersebut. Saya makin penasaran dengan penjelasan tersebut dan menanyakan hal apa yang mendasari keyakinan tersebut.

Hari ini saya hampir putus asa dan nyaris berprasangka buruk terhadap Tuhan karena sudah lebih dari 5 jam saya muter-muter tapi belum juga dapat penumpang. Saya heran juga kok hari ini saya merasa sulit sekali dapat penglaris”. Kemudian dia melanjutkan,”Akhirnya saya berdoa dalam hati untuk minta ditunjukkan jalan rejeki untuk hari ini. Dan biasanya setiap kali melalui jalan ini saya selalu belok kiri ke arah stasiun gambir dan tidak pernah mau melewati fly over tadi karena saya merasa jarang ada orang yang mau naik taksi di daerah ini. Tapi saya merasa seperti ada bisikan yang menyuruh saya untuk jangan belok kiri melainkan jalan terus dan naik fly over. Dan ternyata bisikan itu benar karena saya bertemu bapak sebagai penumpang pertama saya dan saya yakin sebagai pembuka rejeki bagi saya hari ini. Saya masih merinding nih pak kalau mengingat betapa Yang Diatas itu Maha Kuasa dan sayang pada umatnya yang mau berusaha”.

Kemudian dia melanjutkan, “Saya kadang heran dengan tingkah laku banyak dari penumpang saya yang selalu mengeluh tentang pekerjaan mereka, yang suasana kantornya nggak enaklah, pemimpin yang nggak pengertian dan yang lebih membuat saya ngelus dodo itu kalau mereka ngeluh soal kecilnya gaji yang mereka terima. Padahal kalau dipikir-pikir ya pak, mereka itu nasibnya jauh-jauh-jauh lebih baik dari saya lho. Mereka kan sudah pasti mendapatkan gaji setiap bulan, pekerjaan juga sudah tetap, bonus kalau tiap tahun dikasih, THR dapet, kenaikan gaji juga ada. Lha kalau saya, untuk dapat kelebihan uang supaya bisa dipakai makan buat besok aja saya mesti banting tulang nahan capek, ngantuk dan pegal selama lebih dari 12 jam sehari! Apa ya mereka nggak lihat kalau masih buanyak orang yang nasibnya tidak seberuntung mereka, orang yang nyari kerja aja susahnya minta ampun, eh ini yang udah dapet kerja enak malah mengeluh!”, jelasnya lebih lanjut.

Saya yang sedari tadi mendengarkan di belakang dapat memahami jalan pikiran dan perasaan sopir taksi tersebut. Saya jadi teringat kembali Mbok Wariyah di pasar Beringhardjo Yogya yang telah memberikan pembelajaran mengenai makna kata “Cukup” kepada saya bertahun-tahun yang lalu (lihat LPB 072). Pesan bapak saya di Yogya juga masih saya ingat baik-baik, "Rif, bekerjalah bersungguh-sungguh, kalau kamu tidak suka atau kurang puas, silahkan keluar secara baik-baik. Itu sikap yang gentleman daripada kamu berbuat atau berbicara hal-hal yang tidak baik di tempat kerja. Banyak bersyukur karena tidak banyak orang yang bisa bekerja saat ini."


Perjalanan siang itu yang hanya 25 menit ternyata memberi banyak pembelajaran baru bagi saya terutama dalam hal mensyukuri apa yang saya dapat dan miliki saat ini. Dalam sebuah buku agama saya pernah membaca sebuah firman Allah: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Wednesday, April 11, 2007

Belajar dari Tubuh Kita

Pada sebuah kesempatan mengunjungi Cabang Balikpapan beberapa bulan lalu, saya terlibat diskusi yang menarik dengan salah seorang rekan disana. Dalam diskusi tersebut saya seperti “ditegur” karena saya belum banyak mengupas salah satu bentuk Layanan yang juga sangat penting yaitu: Layanan Internal. Rekan saya tersebut kemudian menceritakan bentuk-bentuk Layanan internal yang dia dapat baik dari dalam cabang sendiri maupun dari kantor pusat. Dan semua pengalaman yang diceritakan adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. “Saya saja sebagai karyawan merasa tidak nyaman dengan Layanan seperti itu, bagaimana dengan nasabah-nasabah kita yang mengalami hal yang sama, Pak Arif?” ujarnya.

Banyak orang berpendapat bahwa Layanan adalah hanya untuk pelanggan eksternal (baca: nasabah) saja. Segala kebaikan, kecepatan dan keramahan kita tunjukkan kepada pelanggan yang datang tapi kita lupa bahwa ada banyak pihak di belakang kita yang secara langsung atau tidak akan turut berpengaruh terhadap seberapa baiknya Layanan yang kita berikan keluar.

Dari beberapa hasil analisa project dalam pekerjaan saya sebelumnya, saya mendapatkan bahwa kelemahan sebuah Layanan justru karena tidak baiknya Layanan untuk internal proses. Bagian frontliner yang tidak bisa sehati dengan bagian back office, cabang-cabang yang kesulitan untuk menghubungi kantor pusat, bagian marketing yang tidak sejalan dengan bagian after sales dan masih banyak lagi. Ketidak sinkronan hubungan internal tersebut ternyata memberi dampak yang merugikan bagi pelanggan. Pelanggan yang hilang kesabarannya karena untuk mendapatkan sebuah informasi ternyata membutuhkan waktu yang lama, pelanggan yang mendapati kenyataan bahwa untuk claim tidak semudah seperti yang dijanjikan pada saat bagian sales menawarkan produk tersebut.

Bila bicara masalah Layanan internal, hampir dipastikan bahwa kita akan membicarakan masalah kerjasama (teamwork), koordinasi, empathy, komunikasi dan yang berperan sangat besar adalah peran pemimpinnya. Karena keempat hal itulah yang merupakan “perekat” bagi perbedaan fungsi dalam perusahaan dan peran pemimpin sebagai pihak yang memungkinkan semua itu terjadi dalam wilayah kewenangannya. Untuk bisa belajar bagaimana keempat hal tersebut bekerja, kita bisa melihat bukti empiris, dari tubuh kita sendiri.

Anda tentu pernah mengalami dan merasakan sakit perut atau luka karena terjatuh, bukan? Tapi pernahkah anda mengamati apa yang biasanya tubuh kita perbuat pada saat kita mengalami hal tersebut? Pada saat kita merasakan sakit itu, tangan kita otomatis memegang-megang daerah yang sakit, bila yang sakit di perut badan kita akan membungkuk, tangan memegang perut, mata terpejam dan mulut meringis menahan sakit. Bila anda terluka karena jatuh, otomatis tangan anda akan memijit-mijit daerah yang dekat dengan luka tersebut, mulut anda meniup-niup luka itu agar berkurang rasa perihnya dan kadang mata anda akan terpejam menahan sakit.

Pada saat salah satu anggota tubuh kita ada yang sakit, serta merta anggota tubuh yang lain ikut bereaksi terhadap sakit itu. Kalau kita perhatikan anggota tubuh yang ikut beraksi sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sakit itu. Tangan yang memegang perut tidak ada hubungannya dengan sakit yang dirasakan oleh perut, kaki yang menekuk sehingga badan kita meringkuk juga tidak berhubungan langsung dengan derita yang dialami oleh perut. Mereka merespon dan bereaksi sebagai bentuk nyata dari rasa empathy, solidaritas, dan kerja sama. Mulut yang meniup-niup luka tersebut sebagai upaya untuk meringankan penderitaan dan mengurangi rasa sakit. Dan semua itu dilakukan atas perintah sesuatu yang mendasari semua gerakan tubuh yaitu: pikiran kita!

Pikiran laksana pemimpin yang memungkinkan semua bereaksi seperti seharusnya. Pemimpin yang baik akan dapat mengkoordinasikan fungsi-fungsi dibawahnya dengan baik laksana seorang composer dalam memainkan sebuah lagu dalam harmoni yang indah dan memikat. Tangan, mulut, mata, kaki dan anggota tubuh lain ibarat fungsi-fungsi instrumental yang berbeda dalam sebuah orkestra yang akan bermain sesuai arahan dan komando dari composer.


Bayangkan apabila dalam perusahaan (atau cabang) anda, semua orang, semua fungsi saling menunjukkan empathy, solidaritas tinggi dan kerjasama yang baik, betapa akan menjadi menyenangkannya tempat anda bekerja. Anda akan merasa nyaman dan aman karena anda yakin bahwa akan ada orang lain yang dengan senang hati mengulurkan tangan untuk membantu anda selagi masalah datang. Akan ada orang lain yang akan mengingatkan anda apabila jalan anda sedikit melenceng dari jalur. Anda percaya bahwa orang lain akan membantu anda dan mereka juga percaya bahwa andapun akan melakukan hal yang sama terhadap mereka.

Rekan-rekan kantor adalah keluarga kedua kita dan bersama merekalah kita habiskan 8 jam waktu kita dalam sehari. Karena itulah buatlah 8 jam itu menjadi 8 jam yang menyenangkan untuk dilewati.

Taksi Ekspres

Menggunakan taksi adalah salah satu angkutan paling mewah untuk tujuan dalam kota. Dengan harga yang lebih mahal dari moda transportasi lain (bis, mikrolet dll) wajar kalau kita juga mengharapkan kenyamanan dan keamanan yang lebih selama kita menaikinya.

Siang itu saya dan istri hendak pulang dari sebuah pertokoan di daerah Kebayoran baru kembali ke rumah saya di Bekasi. Saat itu saya memanggil sebuah taksi Ekspress yang sedang menunggu. Pengemudinya seorang anak muda yang berpakaian bersih dan rapih.Dia tersenyum begitu saya dan istri memasuki taksi.

Sambil tersenyum, pengemudi tersebut melihat kepada kami dan berkata:
“Selamat siang, saya senang menjadi sopir taksi untuk bapak dan ibu. Maaf, bapak dan ibu mau saya antar kemana?” Saya kaget dengan sambutan yang tidak biasa seperti ini. Setelah saya sebutkan tujuan saya kembali dia menanyakan:
Maaf, mungkin bapak punya keinginan mau lewat mana menuju Bekasi?” saya jawab lewat jalan tol dalam kota saja.

Selama dalam perjalanan saya amati kondisi interior taksi. Interiornya begitu bersih dan kain putih pembungkus kursi juga seperti baru diganti. Bau harum menyebar dari 2 pengharum mobil yang ditaruh di depan dan dibelakang tempat duduk. Kemudian si pengemudi bertanya lagi: “Maaf, bapak dan ibu mungkin ingin mendengarkan musik atau radio tertentu? Untuk kaset saya punya Koes plus, Beatles, Westlife, Julio Iglesias dll”.
Sambil berkata, dia membuka laci dashboard dan saya lihat koleksi kasetnya yang tersusun rapi.
Atau mungkin bapak ingin mendengarkan radio juga bisa”.
Dan akhirnya saya memutuskan untuk mendengarkan The Beatles.

Saya lihat dalam kantong di tempat duduk depan yang ada dihadapan saya ada 2 jenis Koran dan tabloid yang berbeda dan sebuah majalah. Karena penasaran, saya tanyakan mengapa sampai disediakan beberapa Koran dan majalah. Jawabannya membuat saya terheran:

“Penumpang saya tiap hari itu macam-macam pak, dari anak sekolah, Ibu rumah tangga sampai orang kantoran. Makanya kaset dan Koran saya sediakan beberapa jenis yang berbeda agar penumpang saya bisa memilih yang menjadi kesenangannya. Kalau selama perjalanan macet, setidaknya penumpang punya alternatif untuk mengisi waktu dan agar tidak tambah stress dan perjalanan juga mudah-mudahan jadi menyenangkan. Penumpang senang saya pun ikut senang Pak”.

Ketika saya tanyakan apakah ini standar dari Taksi Ekspress dia menjawab bukan dan itu murni inisiatif pribadi dan uang yang dikeluarkan dari kantongnya sendiri. Prinsip hidupnya adalah sebisa mungkin membuat siapapun yang bertemu dengannya menjadi nyaman, bahagia dan keluar dari taksinya dengan senyum. Luar Biasa!…..dia sudah mempraktekkan prinsip dasar dari Layanan!

Sambil menikmati sisa perjalanan yang nyaman itu saya membayangkan, alangkah indahnya hidup ini kalau semua orang memiliki dan menjalankan prinsip Layanan dalam hidupnya…..


Pembelajaran

Untuk bisa membahagiakan pelanggan bisa lewat banyak cara apapun pekerjaan anda. Anda hanya perlu mencoba berpikir dari sisi pelanggan. Nyamankah pelanggan bila saya melakukan ini dan itu terhadap mereka?.

Mulailah berpikir dan bertindak dengan selalu mengutamakan pelanggan dalam pikiran anda….

Antusiasme

Minggu-minggu ini saya disibukkan dengan kegiatan interview untuk mengisi beberapa posisi dalam team SQUAD. Secara pribadi saya menyukai kegiatan interview ini karena kita bisa melihat dan mengetahui beberapa jenis karakter manusia dan pola pikirnya. Satu hal yang selalu saya lihat pertama kali dalam setiap interview adalah antusiasme dari kandidat. Interview akan berlangsung cepat apabila saya lihat kandidat tidak menunjukkan antusiasme, baik antusiasme untuk pekerjaan yang ditawarkan maupun antusiasme sebagai individu.

Kenapa perlu menunjukkan antusiasme dalam bekerja? Saya melihat perilaku antusias merupakan refleksi terhadap bagaimana anda memandang pekerjaan anda, seberapa puas anda dengan pekerjaan dan penghargaan anda terhadap pekerjaan itu sendiri. Dalam sebuah interview dengan seorang direktur sebuah perusahaan financial, saya mendapatkan pembenaran akan hal ini.”Jika anda mencintai pekerjaan anda, hal itu akan terlihat dalam perilaku anda saat bekerja….anda akan bekerja lebih antusias!”, ujarnya.

Kebanyakan orang menghargai sebuah pekerjaan dilihat dari “Sebutan” atau level/jabatan, misal petugas admin, Teller, Auditor dll. Saat saya melakukan ibadah disebuah masjid kecil yang asri dan bersih di Yogya, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan seorang petugas kebersihan masjid. Saat saya tanyakan apa tugas utamanya di masjid itu, jawabannya sungguh mengherankan saya.”Tugas utama saya adalah memastikan bahwa setiap orang dapat beribadah dengan lebih khusuk (tenang dan konsentrasi) di masjid ini”. Saat saya tanyakan maksudnya, beliau melanjutkan,”Coba kalau mas shallat disini dengan terganggu bau tidak sedap dari sampah dan toilet, kan pasti ndak bisa tenang dan konsentrasi tho?”. Dengan cara pandang terhadap pekerjaan seperti diatas, tidak heran bila bapak tersebut melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan antusias.

Pandangan yang berbeda saya dapatkan dari salah seorang peserta training saya seorang Teller yang menceritakan kepada saya bagaimana dia memandang pekerjaannya. Setiap kali bangun pagi dia melihat ke kaca dan mengucapkan “Terima kasih Tuhan karena hari ini saya masih dipercaya untuk bisa membahagiakan orang lain”. Setelah itu baru dia membersihkan diri dan berangkat ke kantor. Sesampainya dikantor dia akan mempersiapkan segalanya dengan baik sebelum membuka konter untuk memulai layanan. Apabila antrian nasabah pada saat itu banyak dia akan berucap “Terima kasih Tuhan karena begitu banyak orang yang Kau kirimkan hari ini untuk dapat saya bahagiakan”.

Teller tersebut memaknai tugasnya bukan hanya sekedar membantu nasabah untuk menyetor ataupun menarik uang tapi jauh lebih besar dari itu, yaitu tugas untuk membahagiakan siapapun pelanggan yang bertransaksi didepannya. Karena fungsinya sebagai Teller, membahagiakan pelanggan dilakukan dengan cara melakukan transaksi dengan cepat, benar dan tidak lupa Layanan yang menyenangkan.

Tidak ada satupun pekerjaan yang menarik. Orang yang senang berinteraksi dengan orang lain akan menganggap marketing adalah pekerjaan yang menarik tapi tidak bagi orang yang senang berkutat dengan angka dan data, begitu sebaliknya. Pekerjaan adalah pekerjaan, itu saja…yang membuatnya menjadi menarik atau tidak adalah bagaimana anda memandang dan menaruh minat pada pekerjaan tersebut. Minat terbentuk di dalam diri anda sendiri, dan ini sifatnya amat pribadi sekali! Rekan saya seorang sekretaris begitu menikmati dan mencintai pekerjaannya dan memperlakukan pekerjaannya sebagai salah satu hobinya!

Dari perjalanan pekerjaan saya selama ini saya menyadari bahwa saya tidak selalu bisa menjadi dan mendapatkan apa yang saya mau (cita-citakan), yang bisa saya lakukan adalah menikmati apapun pekerjaan saya saat ini dan selalu berusaha menjadi yang terbaik.

Well, jika anda menaruh minat pada pekerjaan anda, bukankah pekerjaan itu akan menjadi lebih menarik?

Stimulus - Respon

4 hari yang lalu pada pukul 21.30 malam listrik di rumah saya mati dan setelah saya cek ternyata seluruh perumahan di daerah saya di Bekasi juga mengalami pemadaman. Sesuatu yang menyebalkan apabila listrik mati apalagi pada malam hari. Kebetulan saya punya bayi dan kejadian ini membuat saya harus siap berjaga semalaman untuk mengipasi dia agar bisa tidur. Sesekali istri saya menggerutu dengan mengatakan PLN keterlaluan karena melakukan pemadaman di malam hari, sampai akhirnya kemudian dia tertidur.

Bagaimana sikap anda apabila mengalami hal yang sama? Saya kira wajar kalau seandainya anda juga menggerutu dan menyalahkan PLN karena kejadian ini. Coba saja anda bayangkan situasinya: kondisi gelap hanya dengan penerangan lilin, udara panas dan banyak nyamuk sehingga membuat anda susah tidur.

Saya coba merespon dengan cara yang berbeda. Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel sebelumnya bahwa tumbuhkanlah kesadaran setiap saat dan nikmatilah apa yang anda hadapi saat ini, detik ini. Dalam keremangan cahaya lilin saya berusaha menikmati kondisi yang saat itu saya hadapi. Saya baru sadari bahwa ternyata kesunyian itu bisa juga mengasyikkan. Saya jadi ingat sebuah kalimat bijak “Sesungguhnya dalam kegelapan kau akan dapat melihat lebih banyak hal”.

Ada konsep yang ditulis oleh Stephen Covey bahwa kita sebenarnya mempunyai pilihan dalam memberikan respon terhadap stimulus yang datang kepada kita. Stimulus adalah apapun yang berada di luar anda. Ia bisa berupa kejadian, peristiwa ataupun hanya sebuah objek biasa. Sedangkan respon adalah tanggapan anda terhadap stimulus tersebut. Untuk jelasnya, proses yang terjadi bisa digambarkan sbb:

STIMULUS RESPON

Apakah setiap stimulus langsung menghasilkan sebuah respon? Dalam kejadian saya diatas stimulusnya adalah padamnya listrik dan suasana yang tidak nyaman (panas dan banyak nyamuk). Respon yang bisa saya ambil bisa macam-macam; menggerutu berkepanjangan, berkeluh kesah, menelepon PLN dan komplain atau menikmati kegelapan dan kesunyian yang ada. Dan saat itu saya memilih respon yang terakhir karena saya sadari dengan berkeluh kesah atau marah-marah berkepanjangan tidak akan membuat listrik hidup kembali dan hal itu juga diluar control kita. Bahkan dengan bersungut-sungut dan kesal energi kita akan lebih banyak keluar dan membuat kita tambah stress.

Saya mencoba melihatnya dari pola pikir yang lain, Dengan padamnya listrik malam itu, Sang Pencipta seolah memberi saya waktu untuk menikmati indahnya sunyi dan melakukan kontemplasi terhadap diri sendiri. Saat itu saya jadi punya banyak waktu untuk mengamati Anindya putri kecil kami dan istri saya yang sedang tidur. Sambil terus mengipasi mereka, pikiran saya seolah melakukan evaluasi terhadap segala yang sudah terjadi dan akhirnya saya semakin menyadari betapa beruntungnya saya dengan segala yang saya miliki saat ini.

Dari ilustrasi diatas ada satu hal yang harus kita pahami sebelum memberikan respon terhadap stimulus yang timbul yaitu PARADIGMA. Dengan paradigma, anda sebenarnya memiliki beberapa pilihan dalam merespon. Hal itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Pilihan A
STIMULUS PARADIGMA Pilihan B RESPON
Pilihan C

Sebuah stimulus dapat diartikan negative atau positif sangat tergantung pada paradigma berpikir yang kita gunakan sebelum menentukan pilihan respon dan bukan pada stimulus itu sendiri.

Setelah lebih kurang 4 jam mengipasi akhirnya pukul 01.30 dinihari listrik hidup kembali. Sebelum saya rebahkan diri untuk istirahat saya cium kening kedua orang yang saya cintai itu sambil mengucapkan syukur kepada Yang Maha Tinggi karena sudah memberikan saya 4 jam yang berharga malam itu.

KLIA

Saat mengunjungi Kuala Lumpur, yang pertama kali saya kagumi adalah desain dan sosok bandara KLIA (Kuala Lumpur International Airport) yang megah sekaligus unik. Sebagai seorang arsitek, saya selalu melihat bangunan yang saya datangi/masuki secara detail. Konsep desain yang modern dengan bentuk yang tidak biasa membuat KLIA pantas dijuluki sebagai salah satu bandara tercantik di asia.

Setelah turun dari pesawat, ternyata penumpang harus berjalan cukup jauh ditambah menggunakan kereta untuk dapat mengambil bagasi yang letaknya di gedung berbeda. Setelah menunggu dan akhirnya mendapatkan bagasi, selanjutnya adalah menuju ke sebuah konter untuk memesan taksi ke hotel.

Di depan konter, saya lihat ada 3 loket yang panjang antriannya berbeda. Baris pertama ada 5 orang mengantri, baris kedua ada 6 orang sedangkan baris ketiga hanya 3 orang. Saya memutuskan untuk mengantri di baris ketiga. Sembari mengantri saya lihat petugas di 2 konter sebelahnya, pertama seorang wanita muda berwajah oriental dan sebelahnya wanita muda berwajah India. Mereka terlihat cekatan, ramah dan bersemangat dalam melayani pelanggan didepannya. Sapaan selamat datang dan senyuman selalu terlihat diwajah mereka.

Pada saat giliran saya, petugas konter ketiga seorang wanita muda berwajah melayu dengan mengenakan kerudung. Dengan terus melihat ke layar computer didepannya, dia berkata (dalam Bahasa Inggris) tanpa senyum,”Ya, tujuan kemana?”. Sembari terheran melihat sikap yang dia tunjukkan, saya menyebutkan tujuan saya. Kemudian dengan tetap tidak melihat pada saya,” VIP atau biasa?”. Karena saya tidak paham dengan maksudnya, saya tanyakan kembali apa maksudnya VIP dan biasa.

Petugas tersebut akhirnya memandang saya sambil menghela napas kemudian menerangkan dengan ekspresi yang kelihatan malas (atau jengkel?). Petugas tersebut menerangkan dengan cepat dengan pengucapan yang (bagi saya) kurang jelas. Setelah mengerti (walaupun tidak sepenuhnya) saya akhirnya menentukan pilihan.

Kembali petugas memandangi komputernya dan mencetak resi taksi yang saya minta sambil menyebutkan jumlah yang harus saya bayar (tetap tanpa memandang ke pelanggan). Setelah menerima pembayaran, petugas menghitung ulang dan memberikan tiket taksi kepada saya sambil berkata,”Next!”. Tanpa ada ucapan salam apalagi Terima Kasih!

Sambil mengatur kertas dokumen dalam tas, saya perhatikan petugas di konter ketiga tadi dan membandingkannya dengan petugas di sebelahnya yang sikapnya sangat bertolak belakang! Well..pantas saja antrian di baris pertama dan kedua selalu lebih panjang dari baris ketiga! Karena selain mendapatkan tiket taksi, pelanggan juga akan mendapatkan ucapan salam dan senyuman yang menyenangkan dari petugas konter.

Kekaguman saya akan keindahan dan kemegahan bangunan KLIA seolah terhapus sebagian karena sikap dari seorang karyawannya yang tidak simpatik.

Pembelajaran

1. Pelanggan akan selalu memilih orang/perusahaan yang dapat memberikan kenyamanan dalam berinteraksi dan bertransaksi. Dan pelanggan akan dengan senang hati kembali dan kembali lagi untuk bertransaksi.


2. Betapapun besar dan mewahnya sebuah tempat (gedung, perusahaan, kantor) yang menentukan nyaman tidaknya tetaplah ditentukan oleh sikap orang-orang yang berada didalamnya terhadap pelanggan yang datang.

Maaf

Malam ini saya dan beberapa teman menyempatkan untuk makan malam bersama di Kelapa Gading, kami memilih rumah makan yang cukup bersih dan ramai pengunjung, serta letaknya mudah dijangkau karena letaknya di pinggir jalan utama.

Sewaktu kami makan ternyata pesanan kami ada yang kurang memuaskan yaitu ikan bakar yang masih berbau "amis" dan sepertinya kurang matang maka saya dan teman-teman tidak memakan masakan itu dan hanya mencicipinya sedikit saja.Setelah selesai makan, teman saya meminta bon pembayaran dan ternyata keadaaan ikan yang masih "utuh" itu menarik perhatian pelayan rumah makan. Pelayanan tersebut dengan ramah bertanya," Apakah ikan bakar ini akan dibungkus ?" Teman saya sambil membayar bon menjawab," Tidak usah mas, karena ikan bakarnya masih amis".

Tak disangka ternyata jawaban teman saya itu disampaikan kepada pemimpin rumah makan dan kemudian dia mendekati kami sambil membawa uang kembalian pembayaran. Sewaktu pemimpin rumah makan itu mengembalikan uang kembalian, beliau menjelaskan proses memasak ikan bakar tersebut dan beliau meminta maaf karena ikannya ternyata masih berbau amis. Diluar dugaan pemimpin rumah makan itu mengembalikan uang pembayaran untuk ikan bakar itu. Jelas hal ini menjadikan kami kaget dan teman saya bilang," Tidak apa-apa pak, kami akan tetap membayar harga ikan itu". Namun pemimpin rumah makan tetap tidak mau menerima dan sekali lagi meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan karena pesanan kami tidak disajikan seperti seharusnya."Sungguh sikap yang luar biasa, dimana pemimpin tersebut berani mengakui kesalahan dan mengambil resiko dengan membebaskan biaya pemesanan serta meminta maaf secara terbuka,” pikir saya. Dan teman saya yang lain ternyata juga berpendapat sama dengan saya.

Perasaaan kagum masih menggayuti pikiran saya ketika kami meninggalkan rumah makan tersebut. Inilah pengalaman sederhana penuh makna. Seringkali seseorang sulit sekali mengakui kesalahan dan apalagi mengambil resiko dari kesalahan tersebut. Sikap yang sering ditunjukkan biasanya seseorang akan memberi bantahan jika mendapatkan kritikan dari orang lain dan kemudian membandingkan dirinya yang dikritik itu dengan orang lain pula.

Kekaguman, simpati, empati terjadi karena pemimpin rumah makan itu berani memberikan penjelasan dan dengan kerendahan menerima kritikan bahkan mengambil resiko akan "kesalahan" yang telah dilakukan. Penjelasan yang diberikan memberikan keterangan kalau pada dasarnya tidak ada kesalahan dalam proses pemasakan namun kalau ada ketidaknyamanan yang ditimbulkan maka mereka berani meminta maaf dan mengambil resiko dari kekeliruan ini, dengan demikian hidup menjadi lebih maju dan mengembirakan.

Hidup selalu penuh dengan penerimaan dan penghormatan dan dengan hal ini maka terjadi jalinan persaudaraan sehingga kepuasan dalam kebersamaan semakin dapat dirasakan. Hidup akan maju hanya dengan kerendahan hati dan keberanian mengakui kesalahan serta memperbaiki kesalahan itu.Semoga keteladanan dari pemimpin rumah makan itu ada dalam diri kita sehingga kita boleh selalu berdamai dengan apapun yang terjadi, baik pujian maupun kritikan orang lain.

Pelayanan yang baik akan memberikan kesan yang baik pula karena dalam pelayanan yang baik ada ikatan kasih yang mampu melahirkan kegembiraan dalam hidup.

Sumber tulisan: Irene, Divisi ITG Kantor Pusat

Monday, April 9, 2007

Boss atau Leader?

Dari pengalaman saya selama menjadi konsultan banyak menemui hal-hal yang kontradiktif yang kadang membuat saya geli sendiri. Sekali waktu saya pernah bertemu dengan seorang manajer bagian HRD dari sebuah bank pemerintah. Kebetulan manajer ini adalah juga seorang trainer yang salah satu tugasnya adalah mensosialisasikan standar-standar layanan bank tersebut ke seluruh cabang di Indonesia. Dia menjelaskan dengan antusias betapa dia dan tim-nya sudah bersusah payah memaksa para karyawan gugus depan untuk menerapkan standar layanan dalam menerima telepon. Tapi hasilnya selalu tidak seperti yang diharapkan, jawabannya selalu tidak lengkap dan sering dengan intonasi yang tidak professional.

Dia memberi contoh standar saat menerima telepon,”Selamat pagi Bank ABC dengan Fulan, ada yang bisa dibantu?”. Berulang kali saya cek dengan coba telepon langsung ke cabang tapi selalu tidak standar, saya jadi pusing kenapa sebabnya?”. Saat kami berbincang, tiba-tiba telepon di mejanya berbunyi dan saat dering kedua telepon diangkat sambil mengucapkan dengan tegas sang manajer menjawab,”Halo!, hmm…siapa nih!..ya..ya..nanti aja, lagi ada tamu” . Seketika itu juga saya sudah tahu jawaban dari sumber permasalahan yang dihadapi manajer tadi.

Kemudian saya iseng minta si manajer untuk telepon salah satu bos-nya (kepala divisi) untuk sekedar ingin tahu respon jawabannya. Dalam deringan keempat terdengar telepon diangkat dan terdengar suara,”Halo!..”. Nadanya persis dengan yang diucapkan sang manajer tadi.

Sekali waktu saya berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke cabang sebuah bank swasta ditemani oleh kepala cabang bank tersebut. Siang itu cabang bank tersebut ramai oleh nasabah yang mengantri. Pada saat berada di banking hall, saya lihat si kepala cabang tersebut dengan ramahnya menyapa nasabah yang sedang mengantri dan tersenyum kepada nasabah-nasabah yang lain sambil mengucapkan,” Mohon maaf bapak dan ibu hari ini mengantri lebih lama karena memang hari ini ramai sekali, terima kasih”. Nasabah yang mengantri membalas dengan senyum dan anggukan tanda maklum kepada pemimpin cabang tersebut.

Pada saat melewati banking hall, pemimpin cabang tersebut membungkuk dan memungut sisa bungkus permen dan membuangnya ke dalam tempat sampah. Sebenarnya dia bisa saja menyuruh Office boy atau satpam untuk mengambil dan membuang sampah tersebut. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Waktu saya tanyakan kenapa dia lakukan hal itu, jawabannya,”Saya mau tunjukkan bahwa Layanan termasuk kebersihan di cabang ini adalah tangungjawab setiap orang tidak terkecuali dan ini juga sebagai bukti bahwa saya melakukan apa yang saya katakan”.

2 buah pengalaman yang sangat bertolak belakang bukan? Aktor utama dalam 2 pengalaman tersebut adalah Leader, tapi anda bisa lihat tipe kepemimpinan seperti apa yang ditunjukkan oleh mereka.

Salah satu “kutukan” bagi seorang atasan adalah bahwa anda selalu diawasi oleh bawahan anda. Segala tindak tanduk anda, sikap dan perilaku anda menjadi point amatan yang mengasyikkan buat para bawahan anda. Anda adalah topik yang paling asyik dibicarakan di kantin-kantin kantor, di toilet dan tempat bergunjing lain. Anda akan dengan mudahnya mendapat julukan “Om-Do” (Omong Doang) apabila anda memang lebih banyak bicara daripada mepraktekkan apa yang anda katakan. Dan mereka dengan mudah mengidentifikasi apakah anda seorang BOSS atau LEADER. Seorang Boss akan selalu meminta dan memerintah sedangkan Leader akan lebih pada membimbing, mengajak dan memahami.

Pembelajaran

Kita sering meminta orang lain melakukan sesuatu yang baik dan penting tapi sesering itu pula kita lupa bahwa kita-pun juga harus dapat menjadi contoh dari apa yang kita minta mereka untuk lakukan.

Anda punya hak untuk bersikap apapun terhadap karyawan anda karena itu adalah hak anda sebagai manusia dan karyawan anda juga punya hak untuk punya persepsi tertentu tentang anda.
Keputusan sepenuhnya ada di tangan anda..

Burung dengan Sebelah Sayap

Suatu hari pada saat jam makan siang secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama kerja saya di sebuah toko mainan. Teman saya itu sudah seringkali pindah kerja dan saat itu dia bilang bahwa minggu depan dia akan pindah lagi ke sebuah perusahaan telekomunikasi besar. Saat saya tanya apa alasan yang membuat dia selalu pindah, jawabannya adalah karena tidak cocok dengan teman kerja yang lain. Sekali waktu dia merasa tidak cocok dengan rekan sekerja dan di perusahaan selanjutnya dia merasa tidak cocok dengan atasannya.

Pernahkah anda mengalami hal yang sama: merasa tidak cocok dengan rekan kerja atau bawahan atau bahkan atasan anda? Apakah benar dengan menghindar dari orang-orang yang “tidak cocok” merupakan sebuah pemecahan? Kalau anda ingin mencari orang yang cocok baik dalam pekerjaan maupun pasangan hidup, sebaiknya lupakan saja.

Sikap yang sebaiknya kita tunjukkan adalah dengan: menerima perbedaan dan melihat perbedaan sebagai sebuah pengkayaan. Tuhan sejatinya menciptakan manusia dengan sifat ketergantungan satu sama lain. Kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidak sempurnaannya. Tuhan memberi manusia kelebihan dan kekurangan sekaligus. Meminjam istilah dari Leonardo de Crescendo manusia dengan segala keterbatasannya ibarat seekor burung dengan sayap yang hanya sebelah. Dan untuk bisa terbang burung tersebut haruslah berpelukan erat dengan burung lain yang hanya memiliki sayap sebelah juga.

Dalam Layanan ada prinsip yang namanya Service Chain, bahwa Layanan adalah sebuah hasil kerja dari berbagai fungsi yang berbeda dalam sebuah organisasi. Ada pola hubungan simbiosis mutualisma (ketergantungan yang saling menguntungkan) antara beberapa fungsi yang terlibat. Baik buruknya sebuah layanan dapat dilihat dari baik dan buruknya hubungan antara fungsi tadi. Sebuah perusahaan yang berjaya adalah berkat hubungan harmonis dan sinergis diantara fungsi-fungsi didalamnya. Sebuah keluarga akan menjadi keluarga yang harmonis apabila masing-masing anggota keluarga menyadari dan menghargai adanya perbedaan dan saling memperkaya.

Rekan saya yang hendak menikah sering diliputi keraguan akan keputusannya. “Apakah dia (pasangannya) bisa cocok dalam berbagi hidup denganku?, apakah kami bisa mengarungi keidupan rumah tangga dengan bahagia?”. Dalam sebuah buku pernah saya baca bahwa untuk hidup bahagia hanya dibutukan 30% CINTA dan sisanya adalah KOMPROMI! Kompromi adalah juga pengejawantahan dari kasih sayang dan penerimaan akan perbedaan guna mencari kesepahaman untuk tujuan yang lebih mulia: hidup bahagia!


Bila dua ekor burung yang hanya memiliki sebelah sayap hendak terbang bersama mereka juga harus memiliki cinta sebagai perekat karena dengan cintalah harmoni kepakan sayap mereka akan dapat mengantarkan ke tempat tujuan mereka. Cinta tidak saja merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan. Rugi besarlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah mengenal cinta. Ia seperti pendaki gunung yang tidak pernah sampai di puncak gunung. capek, lelah, penuh perjuangan namun sia-sia. Makanya, Jack Canfield penulis buku Chicken Soup For The Couple Soul mengemukakan, cinta adalah rahmat Tuhan yang terbesar.

Memaknai perbedaan sebagai kekayaan adalah mudah untuk dikatakan tapi sulit untuk dilakukan. Dan akan semakin sulit dan mustahil dilakukan kalau kita tidak pernah mencobanya dari sekarang. Mari kita mulai dengan memaknai perbedaan kita dengan pasangan hidup kita, anak-anak kita dan tetangga sekitar. Cintai rekan kerja anda, orang yang duduk di sebelah anda, orang yang menjadi bawahan dan atasan anda. Maknai perbedaan sebagai kekuatan dan rekatkan hubungan dengan lem cinta kasih.

Karena sepintar dan sehebat apapun anda, anda tetaplah burung yang hanya memiliki sebelah sayap.

Sunday, April 8, 2007

Senyum dan Kebahagiaan

Saya pernah mengajukan sebuah pertanyaan kepada teman-teman saya yang baru memiliki momongan (bayi),” Apa yang paling membuat anda bahagia pada saat melihat bayi anda?”.
Dari sekian banyak jawaban, 90% mengatakan saat yang paling membahagiakan adalah saat sang bayi menatap dan tersenyum pada mereka.


Apa sebenarnya yang membuat saat itu begitu membahagiakan? Bukan hanya karena bayi kita sehat dan cantik. Tapi lebih pada senyum yang diberikan anak kita yang begitu tulus dan menebarkan rasa bahagia yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah senyum yang menghangatkan batin kita dan membuat ikatan emosional kita semakin kuat.

Setiap saya memberikan training mengenai Layanan, saya sering mendapatkan pertanyaan dari peserta “ Senyum tulus itu deskripsinya seperti apa?”. Dan saya selalu jawab bahwa senyum tulus tidak pernah bisa dideskripsikan tapi selalu bisa dirasakan. Senyum tulus, sebuah senyuman yang datang dari hati yang paling dalam. Muncul untuk membahagiakan, menghormati, dan memuliakan orang lain. Senyuman ini menunjukkan adanya kondisi paralel antara bibir (lahir) dengan hati (bathin).

Senyum bukan hanya menyangkut urusan bibir saja, tetapi yang utama adalah ingin tidaknya kita membahagiakan orang lain, ingin tidaknya kita membuat keadaan di sekitar kita bercahaya.
Kita memang harus belajar dari para bayi tentang bagaimana caranya menyebarkan kebahagiaan dan kehangatan ke setiap orang yang menerima senyumannya.

Dan saya selalu bersyukur bahwa setiap pagi saya selalu mendapatkan senyum yang terindah dari anak saya….

Cukup

Dalam perjalanan ke Solo minggu lalu, saya menyempatkan diri pulang ke Yogya untuk sowan kedua orangtua saya sekaligus juga untuk menyambangi sobat saya Petro untuk melihat karya-karya lukisnya yang baru. Yogya merupakan kota yang selalu saya kangeni dan ada nuansa magis tersendiri semenjak mulai memasuki perbatasan kota. Tidak heran kalau Katon Bagaskara lantas menuangkan rasa magis kota ini dalam sebuah lagu yang sangat populer.

Saya menghabiskan waktu 8 tahun untuk belajar di kota ini dan saat-saat itu saya gemar bertandang ke Pasar Beringhardjo pada siang hari dan selasar Malioboro pada malam hari, hanya sekedar untuk nongkrong, makan lesehan dan berbincang dengan para penjaja kaki lima. Saat itulah saya mengenal seorang mbok bakul (ibu-ibu penjual) gerabah ini di Pasar Beringhardjo.

Namanya Mbok Wariyah, ibu paruh baya ini berjualan gerabah (barang pecah belah dari tanah liat) berupa celengan, kendi dll. Saat saya pertama kali bertemu dirinya sedang bersenda gurau dengan sesama pedagang lain di pasar itu. Dia berasal dari sebuah desa kecil dekat perbatasan Imogiri dan Yogya yang jaraknya sekitar belasan km dari pasar tersebut. Untuk menuju ke pasar setiap pagi dia menggunakan sepeda onthel dengan keranjang besar di kiri dan kanan sepeda untuk menaruh barang-barang dagangannya. Namun dia tidak sendirian, dia dan beberapa rekan sesama mbok bakul selalu pergi bersama-sama di pagi buta menuju Pasar beringhardjo.

Berapa untungnya satu barang ini mbok?” tanya saya siang itu. “Tergantung yang ngenyang (menawar) mas, kalo orangnya nggak nawar banget ya saya bisa dapet untung Rp.3000 – Rp.4000 sebuah. Tapi kalau orangnya nawarnya ulet ya saya lepas juga walau untungnya cuman Rp.1000, kan yang penting dagangan saya laku dan saya nggak bawa beban berat kalo pulang,” jelasnya.

Apa cukup mbok untung segitu buat hidup sehari-hari?”. Sesaat mbok itu terdiam kemudian sambil memandang saya dia bertanya,” Mas, yang dimaksud dengan cukup itu apa tho?”. Saya bingung harus menjawab apa karena sayapun tidak tahu apa sesungguhnya “Cukup” itu. Sambil tersenyum dia kemudian melanjutkan,” Saya dengan penghasilan saya yang memang nggak banyak ternyata masih bisa hidup, anak-anak nggak keleleran (tidak terurus), masih bisa ngobrol dengan Mas dan saya pikir saya sudah tercukupi dengan semua itu”. Saya semakin tidak mengerti dengan maksud kalimat itu. “Cukup dan tidak cukup yang menentukan itu pikiran kita. Kalo Mas misalnya punya gaji Rp.5 juta sebulan dan pikiran mas bilang bahwa itu nggak cukup ya bakal nggak akan cukup. Tapi sebaliknya, kalaupun gaji mas Cuma Rp.500 ribu tapi pikiran mas bilang ‘Alhamdulillah diparingi (diberi) rejeki’ dan merasa cukup pasti juga akan cukup. Uang itu kan cuma alat tho? dan Mas nggak usah khawatir karena Gusti Allah pasti mencukupkan rejeki kita kalau kita mau berusaha”.

Saya tertegun mendapat penjelasan itu. Sungguh dalam makna yang terkandung dalam setiap kalimat yang terucap. Kita sering mengeluh bahwa penghasilan kita kecil dan tidak mencukupi buat hidup. Hidup yang seperti apa? Rekan saya seorang eksekutif muda sering mengeluh dengan penghasilannya yang dia bilang “pas-pasan”. Padahal dia sudah bisa kontrak rumah yang cukup lega, bisa punya motor dan pekerjaan tetap. Apabila ada ketidak puasan akan rejeki bisa dipastikan bahwa hal itu berkait dengan materi. Belum punya ini, belum punya itu, mau kesini, pengen makan itu dll. Dan semakin kita terjebak dalam cengkeraman nafsu materi sudah dapat dipastikan bahwa berapapun penghasilan kita tidak akan pernah dirasa cukup.

Pasrah dan berserah, mungkin itulah kekuatan para perempuan seperti Mbok Wariyah ini. Namun, keliru besar apabila mengartikannya sebagai sikap apatis. Dalam kata “Pasrah” dan “Berserah” terkandung kekuatan luar biasa untuk bukan hanya bertahan tapi juga mengendalikan nafsu dari hal-hal yang bersifat materi.

Contoh lebih ekstrem dapat kita lihat dari para abdi dalem Keraton Yogya. KRT Jojoseputro yang sering dipanggil dengan Mbah Kanjeng, adalah seorang abdi dalem yang bertugas mengurus Kereta Kencana Keraton. Usianya sudah mencapai lebih dari 100 tahun tapi tetap bisa bekerja. Penghasilannya? Rp.20,000 (dua puluh ribu) sebulan dan jumlah itu selalu dibilang,”Cukup untuk hidup..”. Bagi orang seperti Mbah Kanjeng, kata “Cukup” maknanya lebih dari kaya secara materi karena dia percaya rejeki sudah ada yang mengatur dan kita manusia hanya diminta untuk berusaha.

Melayani = Tabungan Masa Depan

Dalam kehidupan sehari-hari kita tentu sering mengkonsumsi layanan dari orang/perusahaan lain. Saat anda ke supermarket anda bertemu dengan sales promotion girl (SPG) dan kasir. Anda menabung di bank anda akan bertemu dengan satpam, teller atau CSO dan mungkin pegawai bank lain yang membantu proses anda. Saat ke restoran anda akan bertemu dengan pelayan, dan bila beruntung anda mungkin bisa bertemu dengan pemilik restoran.

Anda tentu juga bisa merasakan dan membedakan mana layanan yang baik dan menyenangkan sehingga pikiran anda memutuskan untuk kembali lagi lain waktu. Kadang juga anda menemui layanan yang seolah tidak “memanusiakan” anda sebagai pelanggan. Dan secara otomatis panca indera yang menemui dan mengalami layanan yang buruk akan memberi sinyal ke otak anda untuk tidak pernah datang lagi ke tempat tersebut.

Saya kadang bingung sekaligus penasaran mengapa orang kadang sulit sekali untuk menerapkan Layanan yang baik kepada pelanggan. Apa yang diajarkan dalam Service Quality (Layanan) pada dasarnya adalah mengajarkan sekaligus mengingatkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Dalam layanan anda harus ramah, senyum, siap membantu, menyebut nama dan mengucapkan terima kasih. Bukankan hal-hal tersebut intinya adalah berbuat baik?

Dengan berbuat baik, di agama manapun anda akan mendapatkan pahala dan disukai oleh Yang Maha Tinggi. Saat anda berbuat baik, secara otomatis malaikat yang ada disebelah kanan anda akan mencatat amal anda sebagai tabungan pahala anda nanti. Beruntungnya lagi, untuk berbuat baik dengan memberikan layanan yang baik kepada orang lain anda mendapatkan uang (baca:gaji) setiap bulan dari tempat anda bekerja.

Sekarang coba sama-sama kita renungkan:
Anda diminta berbuat baik sesuai ajaran agama dengan ganjaran pahala dan segala kebaikan di kehidupan selanjutnya. Dan perbuatan baik ini tidak membutuhkan biaya sama sekali, modal yang dibutuhkan hanyalah: Niat dan Ketulusan ! Selain itu anda juga akan mendapatkan keuntungan materil setiap bulan (gaji) untuk perbuatan baik tersebut.

Kalau dlihat dari sisi kita sendiri, saya yakin anda (dan juga saya) akan senang dan merasa dihargai apabila kita dibantu dan dilayani dengan baik oleh orang lain dan sebaliknya. Bukankah dalam hidup sebisa mungkin kita dapat membahagiakan orang lain sebanyak mungkin? Saya ingat pepatah lama, “memiliki teman 100 masihlah sedikit tapi memiliki musuh 1 orang saja adalah terlalu banyak”.

Perasaan senang dan bahagia itu juga menular (sama seperti menguap!). Apabila anda sudah membahagiakan seseorang, dia akan juga menularkan kebahagiaan yang dia terima dari anda kepada orang lain dan mungkin orang lain tersebut akan menularkannya juga kepada orang lain lagi dan seterusnya. Bisa anda bayangkan akhirnya begitu banyak orang yang bisa anda bahagiakan harinya dalam 1 hari!

Thursday, April 5, 2007

Life is Beautiful (2)

Alkisah, seorang lelaki yang merasa sudah jenuh dengan hidupnya pergi menemui seorang bijak.”Saya ingin segera mati saja,” ujarnya. Sang bijak hanya tersenyum sambil berkata,”Besok pagi, saat kamu bangun, anggaplah hari itu adalah hari terakhirmu. Juga sarapan pagimu karena itu mintalah makanan yang paling kamu sukai. Banyak-banyaklah ajak istrimu bercakap-cakap karena ini kesempatan terakhirmu. Saat hendak bekerja, pandanglah rumahmu dan lingkungan sekitarmu, nikmatilah perjalananmu ke kantor. Saat dikantor nikmatilah setiap kegiatan yang kamu lakukan di kantor karena inilah kesempatan terakhirmu.” Pria itu lalu pulang kerumah dan berjanji akan melakukan perintah tersebut.

Beberapa hari kemudian pria tersebut kembali ke Sang Bijak untuk menceritakan pengalamannya. Ia kini selalu membayangkan setiap hari adalah hari terakhirnya karena itu dia selalu nikmati apapun yang dia lakukan. Salah satu kebiasaan baru yang dilakukannya adalah dia selalu memeluk dan mencium mesra istri dan anak-anaknya dengan penuh cinta seraya mengucapkan I Love You pada saat akan pergi dan saat pulang kerja sore harinya. Ia mengharapkan besok dan hari-hari berikutnya ia masih diperkenankan hidup oleh Sang Maha Hidup. Pria itu menjadi bersemangat dan bergembira dalam hidupnya.

Ada 2 pembelajaran yang utama dari cerita tersebut: Pertama, mensyukuri. Cobalah sekali-kali anda berdiam diri dan melihat kepada diri anda sendiri dan yang anda miliki saat ini. Kita seringkali stress karena sering memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak kita miliki. Kecemburuan timbul karena rekan kerja kita kemarin beli TV baru, teman sekolah kita yang kerja di tempat lain gajinya lebih tinggi dari kita. Saya punya teman yang jadi sering pindah kerja hanya karena dia ingin gajinya setidaknya sama dengan rekan yang lain. Suatu saat di awal-awal masa saya mulai bekerja saya bertemu dengan seorang ustad untuk menyampaikan berita gembira bahwa saya telah mendapatkan pekerjaan tetap. Ustad tersebut hanya tersenyum kemudian berkata,” anakku, yang patut kamu syukuri bukanlah pekerjaan tetap itu tetapi adalah bahwa kamu bisa tetap bekerja karena tetap atau tidak tetap, selama orang itu bekerja dia sedang melakukan ibadah.”

Pelajaran kedua, kita bisa menikmati hidup kalau kita berkonsentrasi ke masa kini, bukan ke masa lalu atau masa depan. Mengingat masa lalu yang buruk dapat menyebabkan penyesalan berkepanjangan dan kalaupun sebaliknya kerinduan akan masa lalu yang indah dapat menjadi beban, seolah-olah kita harus hidup seperti masa lalu. Misal, dulu mah enak karena bekerja tidak pakai target, bonus juga gede dan tidak banyak aturan dll. Mengingat masa depan juga dapat membuat kenikmatan hidup berkurang. Kita sering terjebak dengan target-target pribadi yang kita buat, keinginan 2 tahun lagi harus dapat ini dan itu semakin membuat konsentrasi kita terbelah dan pikiran kita dibebani untuk dapat mencapai target tersebut.

Seperti juga halnya masa lalu, masa depan juga berada diluar control kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi minggu depan, esok hari bahkan 1 jam kedepan. Kita hanya bisa mengontrol pada proses menuju masa depan itu. Proses inilah yang kita jalani sekarang, saat ini, detik ini. Karena itu nikmatilah setiap detik dari hidup anda. Caranya adalah dengan menumbuhkan kesadaran terhadap setiap apa yang anda kerjakan. Satukanlah badan dan pikiran anda setiap waktu. Dalam FISH! Philosophy (Lundin,Paul,Christensen – New York 2000), konsep ini disebut sebagai BE THERE! Yaitu fokuskan perhatian pada siapa yang sedang anda layani. Stress terjadi karena tidak bersatunya badan dan pikiran. Bila anda seorang Teller saat bertransaksi dengan pelanggan pikiran anda ada dirumah memikirkan tagihan listrik yang belum dibayar. Anda sedang rapat dengan karyawan di kantor tapi pikiran anda sibuk memikirkan mobil yang hendak dipakai untuk berlibur. Anda sedang bercengkerama dengan keluarga tapi pikiran anda memikirkan pekerjaan di kantor. Badan dan pikiran anda terpisah karena itu stress dengan mudah datang.

Mencapai hidup bahagia sebetulnya tidaklah sulit. Kebahagiaan tidak perlu anda cari. Kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari materi yang kita miliki, pangkat/gelar yang kita sandang, gaji yang tinggi dll. Kebahagiaan sejati bersumber dari diri sendiri, hati, pikiran dan paradigma kita dalam memandang hidup. Anda hanya perlu menumbuhkan kesadaran dan menikmati apapun yang sedang anda lakukan. Mantan atasan saya (seorang warga Negara Amerika) sering berkata kepada saya,”Arif, Life is beautiful. So, enjoy it!”..

Life is Beautiful (1)

Saya pernah menonton sebuah film yang cukup mengharukan bagi saya, judulnya “Life is Beautiful” (La Vita est Bella) dengan tokoh kunci yang diperankan oleh Roberto Benigni. Film ini menceritakan seorang lelaki Guido Orefice yang sangat menikmati hidupnya dan tidak sedetikpun waktunya dilewatkan dengan bermuram durja. Padahal kehidupan sebenarnya sangatlah tidak mendukung karena dia seorang yahudi dan dalam masa itu (perang dunia kedua) bangsa yahudi dimusuhi.

Kemalangan dimulai saat Guido dan istri serta anaknya ditangkap oleh pasukan Jerman dan dijebloskan ke kamp konsentrasi. Dia tahu hidupnya beserta keluarganya akan terancam dalam kamp tersebut. Tapi Guido tidak ingin anaknya yang berusia 6 tahun tahu yang sesungguhnya terjadi karena itu dia mengarang cerita bahwa semua yang terjadi di kamp itu adalah sebuah permainan. Ada yang berperan sebagai orang Jerman dan ada juga yang berperan sebagai yahudi. Guido menjelaskan bahwa pemenang akan diberi hadiah naik diatas tank Jerman yang besar.

Yang membuat saya sangat terharu dalam film tersebut adalah bagaimana Guido berusaha untuk tetap membuat anaknya senang dan bersemangat dalam situasi yang demikian tertekan. Banyak hal yang baik-baik dan menyenangkan dikatakan kepada anaknya Joshua Guido. Bahkan sampai sebelum Guido meninggal ditembak oleh tentara Jerman, Guido tetap menyemangati anaknya agar terus bersemangat dalam “permainan” itu. Di akhir cerita Jerman kalah, istri dan anak Guido selamat bahkan oleh tentara sekutu Joshua Guido dinaikkan ke atas tank besar milik Jerman yang kalah perang. Joshua merasa berhasil sebagai pemenang dalam “permainan” tersebut.

Pembelajaran yang saya dapatkan dalam film yang telah mendapatkan 3 Academy Awards dan 56 penghagaan international itu adalah SENI MENIKMATI HIDUP. Kebahagiaan bagi seorang Guido adalah apa yang dia miliki saat ini dan menikmati apapun yang dia lakukan bahkan dalam kondisi ekstrem sekalipun (dijajah Jerman dan dibawa ke kamp) karena dia yakin bahwa masa depan berada di luar kontrol dia.

Dalam sebuah buku saya pernah membaca sebuah cerita mengenai seorang nelayan. Seorang lelaki dari kota datang ke pantai dan bertemu dengan seorang nelayan yang sedang bercanda dengan riang bersama anak-anaknya. Lalu si orang kota tersebut bertanya mengapa nelayan tersebut tidak melaut. Nelayan tersebut menjawab bahwa dia baru pulang dari melaut mencari ikan dengan perahu kecil yang ada disamping rumah. Kemudian orang kota tersebut menyarankan untuk melaut lebih lama dari biasanya agar mendapatkan hasil yang lebih banyak.”Kalau saya dapat hasil yang lebih banyak kemudian apa pak?” tanya nelayan itu. “Bapak bisa membeli kapal yang lebih besar, dan dengan kapal besar itu tangkapan bisa lebih banyak, bapak bisa punya uang yang banyak dan hidup bapak bisa jadi bahagia,” jawab lelaki kota itu. Sejenak nelayan terdiam kemudian berkata,”Pak kalau tujuan akhirnya untuk saya agar bahagia, saat inipun saya sudah bahagia dengan apa yang saya miliki sekarang. Saya bisa lebih lama berkumpul dan bercengkerama dengan anak-anak saya….dan itulah yang membuat saya bahagia.”


Kebahagiaan adalah suatu kondisi tanpa syarat. Anda tidak memerlukan apapun untuk bisa bahagia. Budha Gautama pernah mengatakan,” Keinginan-keinginan yang ada pada manusialah yang seringkali menjauhkan manusia dari kebahagiaan.” Banyak yang bilang saya akan bahagia kalau saja saya memiliki anu atau saya akan bahagia kalau posisi saya sudah mencapai level itu dsb. Keinginan-keinginan inilah yang malah menjauhkan anda dari kebahagiaan.

"Untung cuma.."

Dalam perjalanan ke Palembang minggu lalu, pesawat Garuda yang saya naiki mengalami beberapa kali goncangan karena menabrak sekumpulan awan mendung. Saat itu saya dan rekan saya sempat kaget dan deg-degan karena takut. Setelah beberapa menit goncangan akhirnya berhenti, spontan rekan saya berkata,”untung cuma awan mendung, coba kalau ditambah hujan dan petir!”…

Seringkah anda saat setelah mengalami sesuatu yang buruk dan kemudian berkata ..”untung cuma ini, coba kalau itu..dst”. “Untung cuma..”, kalimat ini sering kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari (terutama kalau anda orang Jawa). Kalimat ini bila dilihat dari sisi filosofis bermakna bahwa kita bersyukur karena hal yang terjadi tidaklah terlalu buruk. Falsafah Jawa mengenai ucapan “masih untung” ini merupakan sebuah cara pandang (paradigma) yang sarat muatan spiritual. Paradigma “untung cuma..” bukanlah ungkapan penghiburan dan sekedar menyenang-nyenangkan diri. Dibalik ucapan itu tersirat keyakinan bahwa Tuhan akan selalu melindungi ciptaan-Nya. Bahwa rahmat selalu ada di sekitar kita betapapun kecilnya. Ini akan mengubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, dan kekeruhan menjadi kejernihan. Lebih dari itu hidup kita akan senantiasa diliputi perasaan penuh. Apapun yang sudah kita miliki menjadi cukup, bahkan berlebih.

Ungkapan syukur lebih banyak kita panjatkan pada saat kita mendapatkan kebaikan. Bagaimana kalau hari ini anda lalui dengan kesulitan bahkan musibah: anak anda sakit, anda terlambat masuk kerja karena macet yang luar biasa dan anda dimarahi atasan dll. Dalam kondisi seperti ini, apa yang harus kita syukuri?

Kalau hal ini masih menjadi pertanyaan anda, sebaiknya anda coba untuk membuka lebih lebar prespektif anda tentang kehidupan dan coba lihat dan kaji semua yang sudah anda dapatkan dalam hidup anda. Udara yang anda hirup, makanan yang anda santap setiap hari, putra-putri yang sehat, pekerjaan, teman-teman dan masih banyak lagi hal yang kelihatannya memang sudah sewajarnya didapat sebenarnya adalah rejeki yang berlimpah.

Saya sering mendengar karyawan yang masih mengeluhkan betapa membosankannya pekerjaan mereka, kejenuhan dan apatis terhadap segala perubahan. Tapi mana yang lebih baik, apakah duduk, tetap bekerja dengan mensyukuri pekerjaan sekarang atau tanpa pekerjaan sama sekali? Kita sering terjebak untuk membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang orang lain punya, gaji, materi, pangkat dll. Daripada anda membuang waktu anda dengan membanding-bandingkan dengan orang lain, lebih baik anda gunakan waktu anda untuk menikmati dan mensyukuri apa yang anda miliki sekarang.

Saat saya naik taksi dari bandara kembali ke rumah, saya tanyakan cuaca di jakarta dalam 2 hari terakhir ini karena saya rasakan panas Jakarta sore itu terik sekali. Sopir taksi tersebut menjawab dengan antusias “cuacanya selalu menyenangkan pak!”. Karena saya tidak paham dengan maksud “menyenangkan” tersebut saya bertanya lebih lanjut. Dan jawabnya adalah,”Bagi saya cuaca seperti apapun menyenangkan pak, baik hujan atau panas terik sekalipun. Karena saya yakin apapun yang Tuhan berikan pasti mengandung banyak kebaikan”. Saya merasakan jawaban yang diberikan oleh sopir taksi tersebut sarat akan keikhlasan dan muatan syukur didalamnya.

Dalam sisa perjalanan tersebut saya lewatkan dengan banyak bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Maha Agung.
Terima kasih Tuhan karena kau beri cuaca yang cerah hari ini, Terima kasih Tuhan karena kau beri keselamatan dalam perjalananku,
Terima kasih Tuhan karena kau beri kesehatan pada raga dan batin ini dan
Terima kasih Tuhan karena kau telah kirimkan seseorang untuk mengingatkanku agar selalu bersyukur kepada-Mu”.

Sudahkan anda bersyukur atas apapun yang anda dapatkan dan alami setiap hari?

"Untung cuma.."

Dalam perjalanan ke Palembang minggu lalu, pesawat Garuda yang saya naiki mengalami beberapa kali goncangan karena menabrak sekumpulan awan mendung. Saat itu saya dan rekan saya sempat kaget dan deg-degan karena takut. Setelah beberapa menit goncangan akhirnya berhenti, spontan rekan saya berkata,”untung cuma awan mendung, coba kalau ditambah hujan dan petir!”…

Seringkah anda saat setelah mengalami sesuatu yang buruk dan kemudian berkata ..”untung cuma ini, coba kalau itu..dst”. “Untung cuma..”, kalimat ini sering kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari (terutama kalau anda orang Jawa). Kalimat ini bila dilihat dari sisi filosofis bermakna bahwa kita bersyukur karena hal yang terjadi tidaklah terlalu buruk. Falsafah Jawa mengenai ucapan “masih untung” ini merupakan sebuah cara pandang (paradigma) yang sarat muatan spiritual. Paradigma “untung cuma..” bukanlah ungkapan penghiburan dan sekedar menyenang-nyenangkan diri. Dibalik ucapan itu tersirat keyakinan bahwa Tuhan akan selalu melindungi ciptaan-Nya. Bahwa rahmat selalu ada di sekitar kita betapapun kecilnya. Ini akan mengubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keteraturan, dan kekeruhan menjadi kejernihan. Lebih dari itu hidup kita akan senantiasa diliputi perasaan penuh. Apapun yang sudah kita miliki menjadi cukup, bahkan berlebih.

Ungkapan syukur lebih banyak kita panjatkan pada saat kita mendapatkan kebaikan. Bagaimana kalau hari ini anda lalui dengan kesulitan bahkan musibah: anak anda sakit, anda terlambat masuk kerja karena macet yang luar biasa dan anda dimarahi atasan dll. Dalam kondisi seperti ini, apa yang harus kita syukuri?

Kalau hal ini masih menjadi pertanyaan anda, sebaiknya anda coba untuk membuka lebih lebar prespektif anda tentang kehidupan dan coba lihat dan kaji semua yang sudah anda dapatkan dalam hidup anda. Udara yang anda hirup, makanan yang anda santap setiap hari, putra-putri yang sehat, pekerjaan, teman-teman dan masih banyak lagi hal yang kelihatannya memang sudah sewajarnya didapat sebenarnya adalah rejeki yang berlimpah.

Saya sering mendengar karyawan yang masih mengeluhkan betapa membosankannya pekerjaan mereka, kejenuhan dan apatis terhadap segala perubahan. Tapi mana yang lebih baik, apakah duduk, tetap bekerja dengan mensyukuri pekerjaan sekarang atau tanpa pekerjaan sama sekali? Kita sering terjebak untuk membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang orang lain punya, gaji, materi, pangkat dll. Daripada anda membuang waktu anda dengan membanding-bandingkan dengan orang lain, lebih baik anda gunakan waktu anda untuk menikmati dan mensyukuri apa yang anda miliki sekarang.

Saat saya naik taksi dari bandara kembali ke rumah, saya tanyakan cuaca di jakarta dalam 2 hari terakhir ini karena saya rasakan panas Jakarta sore itu terik sekali. Sopir taksi tersebut menjawab dengan antusias “cuacanya selalu menyenangkan pak!”. Karena saya tidak paham dengan maksud “menyenangkan” tersebut saya bertanya lebih lanjut. Dan jawabnya adalah,”Bagi saya cuaca seperti apapun menyenangkan pak, baik hujan atau panas terik sekalipun. Karena saya yakin apapun yang Tuhan berikan pasti mengandung banyak kebaikan”. Saya merasakan jawaban yang diberikan oleh sopir taksi tersebut sarat akan keikhlasan dan muatan syukur didalamnya.

Dalam sisa perjalanan tersebut saya lewatkan dengan banyak bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Maha Agung.
Terima kasih Tuhan karena kau beri cuaca yang cerah hari ini, Terima kasih Tuhan karena kau beri keselamatan dalam perjalananku,
Terima kasih Tuhan karena kau beri kesehatan pada raga dan batin ini dan
Terima kasih Tuhan karena kau telah kirimkan seseorang untuk mengingatkanku agar selalu bersyukur kepada-Mu”.

Sudahkan anda bersyukur atas apapun yang anda dapatkan dan alami setiap hari?

Nasi Sudah jadi Bubur!

Kegiatan mudik Lebaran kemarin ke Yogya saya manfaatkan untuk bertemu dengan teman lama saya Petro, seorang pelukis muda lulusan Institut Seni Indonesia (ISI). Selain sebagai teman, kebetulan saya juga sebagai pelanggannya dengan mengkoleksi beberapa dari hasil karyanya.

Satu hal yang saya sukai dari teman saya ini adalah sifat ulet dan pantang menyerah terhadap keadaan, selain tentu saja ide-ide kreatif ke-seniman-nya. Dari informasi yang saya dapat, ternyata hampir separuh bisnis kriya-nya di desa Kasongan hancur karena bencana gempa bumi kemarin. Ratusan hasil kerajinan yang sedianya akan dikirim ke Spanyol hancur berkeping-keping dan ini berarti kerugian yang tidak sedikit.

Tapi kesedihan tidak terlihat pada dirinya selama kami berbincang-bincang. Dia lebih banyak berbicara mengenai hal-hal yang telah dan akan dilakukan untuk mendapatkan kembali kepercayaan pelanggannya dengan bekerja ekstra keras. Beruntung dia memiliki tim yang solid dan sepemikiran sehingga dengan cepat mereka bangkit dan kembali berbisnis.

Sebuah buku “Dare To Fail” yang ditulis oleh Billi P.S. Lim yang coba melihat sisi lain dari sesuatu yang selalu kita hindari yaitu KEGAGALAN. Sudah jadi kebiasaan dalam keseharian kita yang selalu mengutamakan kesuksesan dan kita dididik untuk menghindari kegagalan. Gagal dianggap sebagai pantangan, mengukur orang menurut prestasi dan memandang sebelah mata pada orang yang gagal. Pentingnya “sukses” terlalu dibesar-besarkan sehingga kita lupa bahwa sebenarnya dengan pernah “gagal” kita akhirnya menjadi pemenang yang lebih unggul.

Saya teringat dengan seorang keponakan saya yang berusia 5 tahun. Saat dulu mulai belajar naik sepeda dia berulangkali jatuh dan menabrak pagar. Walaupun badannya jadi sering lebam dan lecet tapi dia tetap saja tidak mau menyerah dan terus berlatih dengan belajar dari kegagalan-kegagalan yang dialami. Mulai dari 5 meter, 10 meter sampai akhirnya dia bisa mengayuh lebih jauh tanpa harus dipegangi. Saya ingat betul ekspresinya saat dia menyadari bahwa dia bisa mengayuh sepedanya beberapa puluh meter tanpa jatuh dan tanpa dipegangi oleh ayahnya. Ekspresi yang menunjukkan kepuasan, seolah lebam dan lecet selama proses belajar tidak ada artinya bila dibandingkan dengan keberhasilan yang dia rasakan saat itu.

Kegagalan diperlukan agar kita bisa tahu apa arti dan manisnya kesuksesan. Seperti halnya dalam alam kosmis kita, kita membutuhkan kegelapan malam untuk bisa melihat betapa berkilaunya pancaran bintang. Kita membutuhkan hujan untuk bisa melihat dan menikmati indahnya sebuah pelangi. Kegagalan bagi sebagian besar orang masih dipandang sebagai musibah dan bukti ketidak berdayaan. Padahal kalau kita pandang dari sudut agama, kegagalan, musibah, cobaan atau apapun namanya, sejatinya adalah sebuah proses untuk membentuk kita menjadi manusia yang lebih kuat dan lagi dengan mendapatkan “musibah” sebenarnya Tuhan sedang menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya pada kita. Seorang bijak pernah berkata “Berbahagialah manusia yang sedang mengalami cobaan karena pada saat itulah perhatian Sang Pencipta sedang tertuju kepadanya”.

Nasi sudah jadi bubur!,” kata Petro diujung obrolan sore itu.”Dan tugas saya selanjutnya adalah bagaimana membuat nasi yang sudah jadi bubur itu menjadi bubur yang paling lezat yang pernah saya buat!.”

Bravo Petro!

Pasrah

Dalam sebuah perjalanan diatas KRL Patas AC Bekasi, saya terlibat perbincangan menarik dengan salah seorang rekan dari kantor pusat. Perbincangan berawal dari ungkapan bahwa selama ini dia rajin membaca LPB secara rutin dan disadari bahwa tulisan-tulisan yang dia baca selama ini banyak memberi kekuatan bathin-nya untuk terus tegar dan tak lupa selalu bersyukur dengan segala hal yang dia miliki dan dapatkan.

Kemudian perbincangan beralih kepada bagaimana setiap orang memandang hidup dan kehidupannya.”Pak Arif, apa betul orang hidup itu harus pasrah? Soalnya kata “pasrah” sendiri seperti menunjukkan bahwa kita tidak berusaha sama sekali dan hanya menyerahkannya pada Yang Kuasa,” tanyanya saat itu. Saya terkesiap dengan pertanyaan tersebut. Sebuah pertanyaan yang sederhana tapi bermakna dalam.

Saya teringat sebuah cerita bijak yang diceritakan oleh atasan saya pada suatu sore. Cerita sederhana mengenai seorang petani tua yang kehilangan kudanya. Kemudian para tetangga berdatangan dan turut prihatin atas nasib buruk petani tua tersebut. Tapi petani tersebut menjawab,”Nasib buruk atau nasib baik, siapa yang tahu?”. Demikian juga ketika ternyata kudanya datang kembali dengan membawa beberapa kuda betina. Tetangga datang kembali dan mensyukuri nasib baik sang petani. Jawaban petani tua tersebut tetap sama,”Nasib buruk atau nasib baik, siapa yang tahu?”. Begitu seterusnya ketika kejadian baik dan buruk menghampiri kehidupan petani tua tersebut, jawaban petani tersebut tetap sama.

Sikap yang diperlihatkan oleh petani tersebut merupakan pengejawantahan dari prinsip: apa yang baik tidak selamanya berarti baik dan sebaliknya, yang kelihatannya buruk tidak selamanya buruk. Keterbatasan pikiran kita dan (mungkin) kedangkalan iman kitalah yang membuat kita tidak bisa melihat adanya hubungan sebuah kejadian dengan kejadian lain. Kejadian apapun yang kita alami merupakan bagian kecil dari sebuah skenario besar yang telah Tuhan rencanakan untuk kita. Karena itu tidak ada satupun kejadian yang terjadi secara kebetulan, semua terjadi karena adanya campur tangan Sang Khalik.

Dengan memahami setiap kejadian sebagai sebuah skenario yang telah ditulis dengan baik dan rapi oleh Pencipta, dapat menumbuhkan rasa syukur karena setiap kejadian akan berlaku atas seijin-Nya. Kita tidak berhak menyebut sebuah kejadian baik atau buruk karena hal itu tidak berdiri sendiri tapi terkait erat dengan apa yang akan kita dapat selanjutnya. Seorang rekan saya dulu sangat ingin menjadi pemain bulu tangkis profesional, bahkan dia dulu pernah mengalahkan Alan Budikusumah sewaktu dalam kejuaraan daerah. Tapi sebuah kecelakaan membuyarkan impiannya tersebut. Memang dia sekarang bukan seorang atlet bulutangkis professional tapi menjadi seorang senior konsultan yang sukses dan akhirnya membuat biro konsultan manajemen sendiri. Dia pernah berseloroh,”Kalau saja saat itu motor itu nggak menabrakku dengan keras, mungkin aku nggak akan punya perusahaan konsultan sendiri seperti sekarang..”

Ada campur tangan Tuhan dalam menentukan kehidupan kita. Tapi kehidupan itu juga tidak akan terwujud tanpa ada kemauan dan usaha keras dari kita. Ada yang mengatakan bahwa kita memberikan kontribusi sebesar 90% terhadap nasib kita dan 10%nya lagi merupakan urusan Tuhan. Tugas kita hanyalah berusaha sekuat tenaga dengan tidak lupa berdoa. Kepasrahan sering disebut sebagai berdoa setelah berusaha, dan bukan hanya berdoa dengan menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa tanpa ada usaha sama sekali. Berdoa sebagai bentuk kepasrahan merupakan wujud pemahaman bahwa betapapun kuatnya kita berusaha tetaplah bahwa kehidupan itu milik Allah dan DIA lah yang tahu apa yang terbaik untuk kita, bukan kita.

Sering saya dengar orang berdoa dengan meminta sesuatu “yang baik menurut kita” kepada Tuhan: “Tuhan berilah rejeki agar kehidupan saya lebih baik, Tuhan berikan pekerjaan yang lebih baik karena tempat saya bekerja sekarang tidak menyenangkan”, dll. Dalam melafaskan doa itu seolah kita yakin bahwa kita tahu benar apa yang terbaik untuk kita.

Dr.Larry Dossey dalam bukunya “Healing Words” mengatakan bahwa doa yang baik bukanlah meminta hasil tertentu kepada Tuhan melainkan dengan mengatakan,”Ya Tuhan, berikanlah yang terbaik sesuai dengan kehendakMu, karena Kau-lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Itulah doa yang penuh rasa syukur, rendah hati dan sebuah bentuk kepasrahan yang sesungguhnya.

Marah

Suatu sore di Stasiun Kota Jakarta saat menunggu kereta yang akan membawa saya kembali ke Bekasi, saya melihat kejadian yang mengusik rasa nyaman saya. Terlihat 2 orang sedang bertengkar dengan saling berteriak satu sama lain. Keributan ini mengundang banyak orang untuk melihat dan berkerumun. Saya amati banyak orang yang melihat kejadian itu saling berbisik dan lamat-lamat saya dengar gumaman mereka yang menyayangkan perilaku kedua orang tersebut karena mengumbar kemarahan mereka di tempat umum.

Marah. Kata ini sering kita dengar dan saya yakin kita juga sering mengalaminya dikarenakan oleh banyak alasan. Dan kalau diamati seringkali kita melihat seseorang yang begitu marah akan bersuara keras bahkan berteriak, seolah dengan berteriak segala emosi yang mengganjal dalam hati turut tersalur keluar. Padahal orang yang sebagai objek marahnya berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Tidak bisakah berbicara dengan halus?


Seorang bijak berkata, “Pada saat 2 orang dilingkupi kemarahan dalam hatinya, meskipun secara fisik mereka berdekatan namun sejatinya hati mereka masing-masing perlahan menjauh dan akan semakin jauh seiring dengan kemarahan yang makin memuncak. Hati yang menjauh dipicu oleh kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut kedua orang yang bertengkar. Dan untuk mencapai hati masing-masing dengan jarak yang demikian jauh, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang bijak masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus. Sehalus apapun kata yang terucap, keduanya tetap bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian? Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak terhalang jarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami perasaan apa yang ingin mereka sampaikan."

Hal yang lebih mengesalkan sekaligus membuat hati saya terenyuh adalah apabila ada orangtua yang memarahi anaknya yang masih kecil. Sadar atau tidak, orangtua tersebut sejatinya secara perlahan membuat jarak hati dengan anak mereka perlahan menjauh. Dan semakin sering mereka melakukan itu akan semakin jauh jarak hati antara orangtua dan anak-anak mereka. Saat sang anak beranjak besar, jarak yang terbentuk demikian lama akan menunjukkan perannya dalam mengganggu keharmonisan hubungan cinta kasih keluarga.

Ketika kita sedang dilanda kemarahan, ingatkan diri bahwa hati kita mulai menciptakan jarak. Janganlah hati kita menjauh. Lebih lagi hendaknya kita tidak mengucapkan kata-kata pedas dan menyakitkan yang mendatangkan jarak. Kemarahan adalah suatu kondisi dimana lidah bekerja lebih cepat daripada pikiran. Kadang kita tidak sadar dengan berbagai kata-kata yang kita ucapkan saat marah menghampiri hati. Kata-kata kasar tidak kan mematahkan tulang tetapi akan meremukkan hati. Untuk setiap menit kita marah pada seseorang, sesungguhnya kita telah kehilangan 60 detik kebahagiaan yang tak akan bisa kita peroleh kembali.

Mungkin di saat marah menghampiri diri seperti itu, dengan berdiam dan tak mengucapkan kata-kata merupakan cara yang bijaksana. Perikata berkata, lidah lebih tajam dari sebilah pedang. Luka pedang bisa tersembuhkan, luka rasa karena ucapan akan menetap dan membekas dalam hati.

Marah tidak perlu diekspresikan. Cinta Kasih-lah yang seharusnya sering kita perlihatkan.




Berpikir Positif

Hukum Pygmalion adalah hukum berpikir positif. Nama ini diambil dari cerita dari Yunani mengenai Pygmalion seorang pemuda yang berbakat dalam seni memahat. Hasil karyanya sungguh indah tapi bukan itu yang membuatnya terkenal dan disenangi oleh setiap orang. Pygmalion dikenal sebagai orang yang selalu berpikiran positif. Ia selalu memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang baik.

Ketika seseorang menawar dengan harga rendah hasil karyanya, teman-temannya akan mengatakan betapa kikirnya orang tersebut. Tetapi Pygmalion berkata,”Mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk hal lain yang lebih perlu”. Itulah pola pandang Pygmalion, ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain; sebaliknya dia berusaha membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain. Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk menggambarkan dampak pola berpikir yang positif. Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif.

Pikiran kita memang seringkali mempunyai dampak fulfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik positif maupun negative. Kalau kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita. Kalau kita sudah putus asa dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinan kita betul-betul akan gagal.

Pola pikir Pygmalion adalah berpikir, menduga dan berharap hanya yang baik tentang suatu keadaan atau seseorang. Apapun yang baik kalau kita memandangnya dengan pikiran negative maka akan menjadi buruk. Perubahan pola kerja, apabila dipandang sebagai hal yang merepotkan dan menyusahkan maka perubahan itu akan benar-benar menjadi menyusahkan. Berbeda sekali apabila kita melihat perubahan pola kerja sebagai sesuatu tantangan baru, keyakinan akan kebaikan dan kemudahan dalam bekerja di masa depan dan sesuatu yang harus dilakukan, tentu dengan senang hati dan semangat kita akan mengikuti perubahan tersebut.

Pygmalion adalah sebuah kaca mata. Kaca mata kita dalam memandang kehidupan dan warna hidup akan sangat tergantung dari warna kaca mata yang kita pakai. Kalau kaca mata kita kotor maka segala sesuatu yang kita lihat, hadapi akan menjadi kotor, hidup menjadi suram. Kaca mata yang penuh dengan prasangka negatif dan benci akan membuat hidup kita dipenuhi rasa curiga dan dendam, dan sebaliknya. Hidup akan menjadi lebih indah kalau kita memandangnya dengan kacamata keindahan. Berpikir baik terhadap diri sendiri dan orang lain dan tentu saja berpikir baik tentang Tuhan.

Pikiran positif ibarat vitamin dan gizi yang memberi dampak pada kesehatan batin kita, sebaliknya pikiran curiga, negatif serupa racun yang kita tumpuk dalam hati kita. Tidak heran orang yang hidupnya dipenuhi oleh pikiran negatif akan selalu terlihat murung, gelisah dan siksaan ini perlahan merusak juga fisik orang tersebut. Dampak dari selalu berpikir baik akan membuat kita selalu tersenyum, bersyukur dengan apa yang kita miliki, ikatan keluarga menjadi hangat, kawan menjadi bisa dipercaya dan pekerjaan menjadi menyenangkan.

Kalau anda ingin hidup anda lebih sehat, cerah dan berwarna, berpikiran positiflah mulai detik ini dan mari kita ajak teman, saudara, keluarga untuk menjadi Pygmalion-Pygmalion baru seperti anda! Niscaya dunia akan menjadi ramah dan hidup menjadi lebih indah.

Bukankah itu yang kita inginkan dalam hidup ini?

Memaknai Kehilangan

Saya adalah penggemar berat PT.KAI (Kereta Api) karena setiap pagi saya menggunakan KRL (Kereta Rel Listrik) Patas AC jurusan Bekasi – Kota PP. Saya pikir inilah moda angkutan paling praktis dan nyaman (kecuali jadwalnya yang suka ngaret) saat ini mengingat lokasi rumah saya jauh dari kantor. Praktis, karena Stasiun pemberhentian terakhir kereta ini letaknya di seberang kantor saya di Asemka. Sedangkan jarak rumah dengan stasiun Bekasi hanya 2 km dan di pagi hari dengan mobil cukup saya tempuh dengan waktu 12 menit saja. Nyaman, karena gerbongnya full AC dan penumpangnyapun cenderung “lebih bermartabat dan wangi” dibandingkan KRL lain karena mayoritas adalah pekerja kantor.

Kemarin lusa merupakan hari yang berbeda dari biasanya. Saya katakan kepada rekan saya bahwa kemarin lusa adalah tiket kereta termahal yang pernah saya bayar untuk jurusan Bekasi – Kota yaitu Rp.209,000. Jelas saja rekan saya kaget, kemudian saya jelaskan bahwa saya bayar Rp.9,000 untuk bayar tiket kereta dan Rp.200,000 nya adalah karena sepatu jogging saya yang baru tertinggal di kereta. Saat saya sadar dan hendak saya ambil ternyata sudah hilang. Sewaktu istri saya menanyakan hal itu, saya jawab dengan enteng bahwa ada orang lain yang lebih membutuhkan sepatu itu daripada saya dan mungkin itu sudah harus menjadi rejeki orang lain yang menemukannya.

Kesal? Tentu saja kesal. Tapi saya kesal bukan karena sepatu baru saya yang hilang melainkan kesal lebih kepada kecerobohan saya. Memang ada beragam cara untuk menyikapi sebuah kehilangan. Anda bisa saja menggerutu berkepanjangan, menangis atau bahkan memaki-maki (walau kita tidak tahu makian itu sebenarnya ditujukan kepada siapa). Salah satu rekan saya malah bisa 2 hari uring-uringan di kantor karena dia kehilangan salah satu Pulpennya!

Suatu hari salah seorang kenalan saya di sebuah perusahaan manufaktur mencak-mencak karena dengan adanya perubahan struktur organisasi membuat dia tidak mendapatkan “kursi” lagi. Kini dia ditempatkan dalam satu bagian yang lebih besar yang merupakan penggabungan dari beberapa bagian dan yang semakin membuat dia kesal adalah junior-nya ternyata dipilih menjadi kepala dalam bagian yang baru tersebut. Dia mengatakan bahwa rejekinya sudah direbut oleh orang tersebut. Kehilangan kadang juga dimaknakan sebagai rejeki yang diambil atau tertukar dengan orang lain. Kita sering merasa bahwa rejeki itu seharusnya milik kita, dan begitu kita tidak mendapatkannya kita merasa bahwa rejeki tersebut telah dirampas.


Seandainya kita bersikap lebih bijak, mungkin perasaan itu bisa dihindari atau paling tidak diperkecil pengaruh negatifnya. Semua mahluk dicipta oleh Yang Maha Adil disertai dengan rejekinya masing-masing (atasan saya menyebutnya Hoki). Bayi yang masih lemah, diberi rejeki melalui perantaraan ibunya. Semakin besar, setelah punya gigi, air susu ibu dihentikan. Sebagai penggantinya disiapkan bubur, buah-buahan dan lainnya. Semakin dewasa makanan semakin bermacam-macam.

Karena kita semakin kuat, Yang Maha Adil memberikan rejeki dengan cara yang berbeda.Kalau dulu waktu bayi dan anak-anak, kita tergantung kepada orang tua, maka setelah dewasa kita harus "menjemput" sendiri rejeki itu. Istilah "menjemput" saya pilih karena sebenarnya Tuhan telah menyiapkan semuanya untuk kita. Rejeki tidak pernah tertukar. Siapa yang berusaha keras dengan cara yang tepat dan niatan yang bersih maka akan sampai rejeki tersebut kepadanya. Dan siapa yang malas maka tidak akan rejeki datang menghampirinya. Pernahkah anda bayangkan bagaimana mungkin seekor cecak yang gerakannya terbatas di tembok, tapi makanan utamanya adalah lalat dan serangga? Secara nalar sulit dimengerti tapi Tuhan memang telah menggariskan bahwa rejeki sang cecak memang berasal dari serangga-serangga tersebut.

Bila kita perhatikan, kita datang kedunia dengan tidak membawa apa-apa dan kelak kita berpulang pun juga begitu. Harta, pangkat, bahkan orang-orang yang kita cintaipun adalah bersifat sementara. Semoga kita termasuk orang yang bijak dalam menghadapi kehilangan dan sadar bahwa sukses hanyalah TITIPAN Sang Maha Hidup.

Benar kata orang bijak, manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup. Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kesedihan yang berlebihan saat kita kehilangan sesuatu?

Kebetulan atau keajaiban kecil?

Peristiwa ini terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu saat saya masih kuliah. Bermula dari telepon dari seorang rekan semasa SMA yang sudah lama tidak bertukar kabar. Dia mengabarkan bahwa salah satu teman SMA kami di Pontianak terkena penyakit aneh yang menyebabkan dia menjadi buta. Banyak yang bilang bahwa teman kami tersebut terkena guna-guna yang menurut cerita sebenarnya diarahkan kepada ayahnya.

Saya kebetulan punya teman kuliah yang memang bisa menyembuhkan jenis penyakit “buatan” ini dan entah kenapa saat itu saya menawarkan diri untuk mencoba membantu. Singkat cerita, setelah semua diatur akhirnya saya siap untuk pergi. Sayangnya, sehari menjelang hari H rekan saya yang akan ikut ternyata ada urusan keluarga yang harus dia ikuti. Alhasil, semua persiapan yang sudah saya lakukan menjadi berantakan. Tiket travel Yogya – Semarang dan tiket kapal laut Semarang – Pontianak, semuanya menjadi kelebihan 1 tiket karena saya berkeras untuk tetap berangkat dan saya minta teman saya untuk menyusul setelahnya.

Saat saya menunggu di pool travel, seorang bapak duduk disamping saya bersama anaknya yang masih kecil. Dari pembicaraan dengan anaknya tersebut saya ketahui bahwa bapak tersebut hendak pergi juga ke Semarang tapi sudah kehabisan tiket padahal dia harus pergi hari itu juga. Mengetahui hal itu, segera saya tawarkan kelebihan tiket saya kepada bapak itu agar bisa segera berangkat. Ucapan syukur terucap dari mulutnya saat mengetahui bahwa akhirnya dia dan anaknya bisa berangkat juga ke Semarang.

Sesampainya di pelabuhan semarang, penumpang sudah banyak sekali dan kapal masih 2 jam lagi baru berangkat. Saya menunggu di sebuah bangku panjang menunggu perintah untuk naik ke kapal. Duduk di sebelah saya adalah seorang bapak tua yang kelihatan gelisah. Saat saya tanyakan, beliau menjawab bahwa dia ingin mengunjungi anaknya yang ada di Singkawang tapi dia kehabisan tiket. Dia tetap pergi ke pelabuhan dengan harapan bisa membeli tiket di loket tapi ternyata semua sudah habis sedangkan kalau beli dari tangan calo mesti bayar 2 kali lipat. Mendengar penuturan bapak tersebut segera saja saya tawarkan kelebihan tiket saya yang kemudian disambutnya dengan sangat suka cita.

Usaha untuk masuk ke kapal merupakan perjuangan juga karena begitu banyak orang yang masuk ke lambung kapal melalui pintu yang hanya beberapa. Saat itu tiket saya adalah tiket ekonomi dimana untuk mendapatkan tempat dan matras untuk tidur harus berebut dengan penumpang lain. Saat itu kondisi sangat riuh dan saya mendapati bahwa matras dan tempat untuk tidur semua sudah terisi. Beberapa calo menawarkan tempatnya dengan imbalan uang. Mengingat uang yang saya bawa terbatas saya menolak tawaran-tawaran mereka.

Saat saya berdiri untuk istirahat sambil berpikir dimana untuk bisa sekedar membaringkan badan untuk beristirahat, seorang bapak di sebelah saya menegur dengan ramah dan menanyakan apakah sudah dapat tempat dan matras. Saya katakan bahwa semua tempat sudah terisi dan kemungkinan terburuk saya harus tidur di lorong dengan alas Koran. Tanpa dinyana, bapak tersebut menawarkan tempat disebelahnya (lengkap dengan matrasnya) untuk saya tempati karena ternyata teman yang seharusnya dia temui di kapal sudah mendapat tempat dengan teman-temannya yang lain.

Saat saya mengalami kejadian tersebut, saya menyebutnya sebagai pengalaman yang serba “kebetulan”. Saat saya punya 2 tiket yang sisa secara “kebetulan” ada 2 orang yang “kebetulan” duduk di sebelah saya dan “kebetulan’ sangat membutuhkan tiket tersebut. Di atas kapal saat saya mulai putus asa untuk mendapatkan tempat, secara “kebetulan” ada orang yang “kebetulan” juga ada di sebelah saya dan “kebetulan” punya tempat dan matras lebih untuk bisa saya gunakan.

Apakah kejadian beruntun tersebut memang merupakan sebuah rangkaian “kebetulan”? atau Sang Khalik sebenarnya sedang menunjukkan ke-Agungan-Nya? Saya lebih senang menyebutnya sebagai “keajaiban kecil” karena saat momen “kebetulan” itu terjadi sejatinya Tuhan sedang berbicara dengan kita. Bila kita memandang sebuah momen “kebetulan” hanya sebagai sebuah kejadian acak diantara ribuan kemungkinan dan memaknainya sebagai “keberuntungan” belaka maka sebuah “kebetulan” akan kehilangan makna spiritualnya.

Kini saya meyakini bahwa tidak ada sesuatu kejadianpun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan, tetapi segala sesuatunya telah ditakdirkan. Bahwa kejadian-kejadian dalam kehidupan mempunyai tujuan dan begitu juga “kebetulan-kebetulan” yang kita alami. Yang kita perlukan sebenarnya cukup sederhana yaitu dengan membuka pintu kesadaran lebih lebar lagi terhadap apapun kejadian yang kita alami. Dengan sepenuhnya sadar terhadap hidup dan kehidupan kelak kita dapat melihat dan mendapati lebih jelas bahwa banyak keajaiban-keajaiban kecil yang pernah dan akan kita alami.

Memupuk kesadaran mengenai “kebetulan-kebetulan” yang datang dalam hidup kita, membuat kehidupan akan dipenuhi oleh kegembiraan dan rasa syukur. Saya masih suka merinding apabila mengingat kembali rangkaian “kebetulan” yang saya alami saat itu.