Kegiatan mudik Lebaran kemarin ke Yogya saya manfaatkan untuk bertemu dengan teman lama saya Petro, seorang pelukis muda lulusan Institut Seni Indonesia (ISI). Selain sebagai teman, kebetulan saya juga sebagai pelanggannya dengan mengkoleksi beberapa dari hasil karyanya.
Satu hal yang saya sukai dari teman saya ini adalah sifat ulet dan pantang menyerah terhadap keadaan, selain tentu saja ide-ide kreatif ke-seniman-nya. Dari informasi yang saya dapat, ternyata hampir separuh bisnis kriya-nya di desa Kasongan hancur karena bencana gempa bumi kemarin. Ratusan hasil kerajinan yang sedianya akan dikirim ke Spanyol hancur berkeping-keping dan ini berarti kerugian yang tidak sedikit.
Tapi kesedihan tidak terlihat pada dirinya selama kami berbincang-bincang. Dia lebih banyak berbicara mengenai hal-hal yang telah dan akan dilakukan untuk mendapatkan kembali kepercayaan pelanggannya dengan bekerja ekstra keras. Beruntung dia memiliki tim yang solid dan sepemikiran sehingga dengan cepat mereka bangkit dan kembali berbisnis.
Sebuah buku “Dare To Fail” yang ditulis oleh Billi P.S. Lim yang coba melihat sisi lain dari sesuatu yang selalu kita hindari yaitu KEGAGALAN. Sudah jadi kebiasaan dalam keseharian kita yang selalu mengutamakan kesuksesan dan kita dididik untuk menghindari kegagalan. Gagal dianggap sebagai pantangan, mengukur orang menurut prestasi dan memandang sebelah mata pada orang yang gagal. Pentingnya “sukses” terlalu dibesar-besarkan sehingga kita lupa bahwa sebenarnya dengan pernah “gagal” kita akhirnya menjadi pemenang yang lebih unggul.
Saya teringat dengan seorang keponakan saya yang berusia 5 tahun. Saat dulu mulai belajar naik sepeda dia berulangkali jatuh dan menabrak pagar. Walaupun badannya jadi sering lebam dan lecet tapi dia tetap saja tidak mau menyerah dan terus berlatih dengan belajar dari kegagalan-kegagalan yang dialami. Mulai dari 5 meter, 10 meter sampai akhirnya dia bisa mengayuh lebih jauh tanpa harus dipegangi. Saya ingat betul ekspresinya saat dia menyadari bahwa dia bisa mengayuh sepedanya beberapa puluh meter tanpa jatuh dan tanpa dipegangi oleh ayahnya. Ekspresi yang menunjukkan kepuasan, seolah lebam dan lecet selama proses belajar tidak ada artinya bila dibandingkan dengan keberhasilan yang dia rasakan saat itu.
Kegagalan diperlukan agar kita bisa tahu apa arti dan manisnya kesuksesan. Seperti halnya dalam alam kosmis kita, kita membutuhkan kegelapan malam untuk bisa melihat betapa berkilaunya pancaran bintang. Kita membutuhkan hujan untuk bisa melihat dan menikmati indahnya sebuah pelangi. Kegagalan bagi sebagian besar orang masih dipandang sebagai musibah dan bukti ketidak berdayaan. Padahal kalau kita pandang dari sudut agama, kegagalan, musibah, cobaan atau apapun namanya, sejatinya adalah sebuah proses untuk membentuk kita menjadi manusia yang lebih kuat dan lagi dengan mendapatkan “musibah” sebenarnya Tuhan sedang menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya pada kita. Seorang bijak pernah berkata “Berbahagialah manusia yang sedang mengalami cobaan karena pada saat itulah perhatian Sang Pencipta sedang tertuju kepadanya”.
“Nasi sudah jadi bubur!,” kata Petro diujung obrolan sore itu.”Dan tugas saya selanjutnya adalah bagaimana membuat nasi yang sudah jadi bubur itu menjadi bubur yang paling lezat yang pernah saya buat!.”
Bravo Petro!
Thursday, April 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment