Dalam perjalanan ke Solo minggu lalu, saya menyempatkan diri pulang ke Yogya untuk sowan kedua orangtua saya sekaligus juga untuk menyambangi sobat saya Petro untuk melihat karya-karya lukisnya yang baru. Yogya merupakan kota yang selalu saya kangeni dan ada nuansa magis tersendiri semenjak mulai memasuki perbatasan kota. Tidak heran kalau Katon Bagaskara lantas menuangkan rasa magis kota ini dalam sebuah lagu yang sangat populer.
Saya menghabiskan waktu 8 tahun untuk belajar di kota ini dan saat-saat itu saya gemar bertandang ke Pasar Beringhardjo pada siang hari dan selasar Malioboro pada malam hari, hanya sekedar untuk nongkrong, makan lesehan dan berbincang dengan para penjaja kaki lima. Saat itulah saya mengenal seorang mbok bakul (ibu-ibu penjual) gerabah ini di Pasar Beringhardjo.
Namanya Mbok Wariyah, ibu paruh baya ini berjualan gerabah (barang pecah belah dari tanah liat) berupa celengan, kendi dll. Saat saya pertama kali bertemu dirinya sedang bersenda gurau dengan sesama pedagang lain di pasar itu. Dia berasal dari sebuah desa kecil dekat perbatasan Imogiri dan Yogya yang jaraknya sekitar belasan km dari pasar tersebut. Untuk menuju ke pasar setiap pagi dia menggunakan sepeda onthel dengan keranjang besar di kiri dan kanan sepeda untuk menaruh barang-barang dagangannya. Namun dia tidak sendirian, dia dan beberapa rekan sesama mbok bakul selalu pergi bersama-sama di pagi buta menuju Pasar beringhardjo.
“Berapa untungnya satu barang ini mbok?” tanya saya siang itu. “Tergantung yang ngenyang (menawar) mas, kalo orangnya nggak nawar banget ya saya bisa dapet untung Rp.3000 – Rp.4000 sebuah. Tapi kalau orangnya nawarnya ulet ya saya lepas juga walau untungnya cuman Rp.1000, kan yang penting dagangan saya laku dan saya nggak bawa beban berat kalo pulang,” jelasnya.
“Apa cukup mbok untung segitu buat hidup sehari-hari?”. Sesaat mbok itu terdiam kemudian sambil memandang saya dia bertanya,” Mas, yang dimaksud dengan cukup itu apa tho?”. Saya bingung harus menjawab apa karena sayapun tidak tahu apa sesungguhnya “Cukup” itu. Sambil tersenyum dia kemudian melanjutkan,” Saya dengan penghasilan saya yang memang nggak banyak ternyata masih bisa hidup, anak-anak nggak keleleran (tidak terurus), masih bisa ngobrol dengan Mas dan saya pikir saya sudah tercukupi dengan semua itu”. Saya semakin tidak mengerti dengan maksud kalimat itu. “Cukup dan tidak cukup yang menentukan itu pikiran kita. Kalo Mas misalnya punya gaji Rp.5 juta sebulan dan pikiran mas bilang bahwa itu nggak cukup ya bakal nggak akan cukup. Tapi sebaliknya, kalaupun gaji mas Cuma Rp.500 ribu tapi pikiran mas bilang ‘Alhamdulillah diparingi (diberi) rejeki’ dan merasa cukup pasti juga akan cukup. Uang itu kan cuma alat tho? dan Mas nggak usah khawatir karena Gusti Allah pasti mencukupkan rejeki kita kalau kita mau berusaha”.
Saya tertegun mendapat penjelasan itu. Sungguh dalam makna yang terkandung dalam setiap kalimat yang terucap. Kita sering mengeluh bahwa penghasilan kita kecil dan tidak mencukupi buat hidup. Hidup yang seperti apa? Rekan saya seorang eksekutif muda sering mengeluh dengan penghasilannya yang dia bilang “pas-pasan”. Padahal dia sudah bisa kontrak rumah yang cukup lega, bisa punya motor dan pekerjaan tetap. Apabila ada ketidak puasan akan rejeki bisa dipastikan bahwa hal itu berkait dengan materi. Belum punya ini, belum punya itu, mau kesini, pengen makan itu dll. Dan semakin kita terjebak dalam cengkeraman nafsu materi sudah dapat dipastikan bahwa berapapun penghasilan kita tidak akan pernah dirasa cukup.
Pasrah dan berserah, mungkin itulah kekuatan para perempuan seperti Mbok Wariyah ini. Namun, keliru besar apabila mengartikannya sebagai sikap apatis. Dalam kata “Pasrah” dan “Berserah” terkandung kekuatan luar biasa untuk bukan hanya bertahan tapi juga mengendalikan nafsu dari hal-hal yang bersifat materi.
Contoh lebih ekstrem dapat kita lihat dari para abdi dalem Keraton Yogya. KRT Jojoseputro yang sering dipanggil dengan Mbah Kanjeng, adalah seorang abdi dalem yang bertugas mengurus Kereta Kencana Keraton. Usianya sudah mencapai lebih dari 100 tahun tapi tetap bisa bekerja. Penghasilannya? Rp.20,000 (dua puluh ribu) sebulan dan jumlah itu selalu dibilang,”Cukup untuk hidup..”. Bagi orang seperti Mbah Kanjeng, kata “Cukup” maknanya lebih dari kaya secara materi karena dia percaya rejeki sudah ada yang mengatur dan kita manusia hanya diminta untuk berusaha.
Sunday, April 8, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment