Thursday, April 5, 2007

Memaknai Kehilangan

Saya adalah penggemar berat PT.KAI (Kereta Api) karena setiap pagi saya menggunakan KRL (Kereta Rel Listrik) Patas AC jurusan Bekasi – Kota PP. Saya pikir inilah moda angkutan paling praktis dan nyaman (kecuali jadwalnya yang suka ngaret) saat ini mengingat lokasi rumah saya jauh dari kantor. Praktis, karena Stasiun pemberhentian terakhir kereta ini letaknya di seberang kantor saya di Asemka. Sedangkan jarak rumah dengan stasiun Bekasi hanya 2 km dan di pagi hari dengan mobil cukup saya tempuh dengan waktu 12 menit saja. Nyaman, karena gerbongnya full AC dan penumpangnyapun cenderung “lebih bermartabat dan wangi” dibandingkan KRL lain karena mayoritas adalah pekerja kantor.

Kemarin lusa merupakan hari yang berbeda dari biasanya. Saya katakan kepada rekan saya bahwa kemarin lusa adalah tiket kereta termahal yang pernah saya bayar untuk jurusan Bekasi – Kota yaitu Rp.209,000. Jelas saja rekan saya kaget, kemudian saya jelaskan bahwa saya bayar Rp.9,000 untuk bayar tiket kereta dan Rp.200,000 nya adalah karena sepatu jogging saya yang baru tertinggal di kereta. Saat saya sadar dan hendak saya ambil ternyata sudah hilang. Sewaktu istri saya menanyakan hal itu, saya jawab dengan enteng bahwa ada orang lain yang lebih membutuhkan sepatu itu daripada saya dan mungkin itu sudah harus menjadi rejeki orang lain yang menemukannya.

Kesal? Tentu saja kesal. Tapi saya kesal bukan karena sepatu baru saya yang hilang melainkan kesal lebih kepada kecerobohan saya. Memang ada beragam cara untuk menyikapi sebuah kehilangan. Anda bisa saja menggerutu berkepanjangan, menangis atau bahkan memaki-maki (walau kita tidak tahu makian itu sebenarnya ditujukan kepada siapa). Salah satu rekan saya malah bisa 2 hari uring-uringan di kantor karena dia kehilangan salah satu Pulpennya!

Suatu hari salah seorang kenalan saya di sebuah perusahaan manufaktur mencak-mencak karena dengan adanya perubahan struktur organisasi membuat dia tidak mendapatkan “kursi” lagi. Kini dia ditempatkan dalam satu bagian yang lebih besar yang merupakan penggabungan dari beberapa bagian dan yang semakin membuat dia kesal adalah junior-nya ternyata dipilih menjadi kepala dalam bagian yang baru tersebut. Dia mengatakan bahwa rejekinya sudah direbut oleh orang tersebut. Kehilangan kadang juga dimaknakan sebagai rejeki yang diambil atau tertukar dengan orang lain. Kita sering merasa bahwa rejeki itu seharusnya milik kita, dan begitu kita tidak mendapatkannya kita merasa bahwa rejeki tersebut telah dirampas.


Seandainya kita bersikap lebih bijak, mungkin perasaan itu bisa dihindari atau paling tidak diperkecil pengaruh negatifnya. Semua mahluk dicipta oleh Yang Maha Adil disertai dengan rejekinya masing-masing (atasan saya menyebutnya Hoki). Bayi yang masih lemah, diberi rejeki melalui perantaraan ibunya. Semakin besar, setelah punya gigi, air susu ibu dihentikan. Sebagai penggantinya disiapkan bubur, buah-buahan dan lainnya. Semakin dewasa makanan semakin bermacam-macam.

Karena kita semakin kuat, Yang Maha Adil memberikan rejeki dengan cara yang berbeda.Kalau dulu waktu bayi dan anak-anak, kita tergantung kepada orang tua, maka setelah dewasa kita harus "menjemput" sendiri rejeki itu. Istilah "menjemput" saya pilih karena sebenarnya Tuhan telah menyiapkan semuanya untuk kita. Rejeki tidak pernah tertukar. Siapa yang berusaha keras dengan cara yang tepat dan niatan yang bersih maka akan sampai rejeki tersebut kepadanya. Dan siapa yang malas maka tidak akan rejeki datang menghampirinya. Pernahkah anda bayangkan bagaimana mungkin seekor cecak yang gerakannya terbatas di tembok, tapi makanan utamanya adalah lalat dan serangga? Secara nalar sulit dimengerti tapi Tuhan memang telah menggariskan bahwa rejeki sang cecak memang berasal dari serangga-serangga tersebut.

Bila kita perhatikan, kita datang kedunia dengan tidak membawa apa-apa dan kelak kita berpulang pun juga begitu. Harta, pangkat, bahkan orang-orang yang kita cintaipun adalah bersifat sementara. Semoga kita termasuk orang yang bijak dalam menghadapi kehilangan dan sadar bahwa sukses hanyalah TITIPAN Sang Maha Hidup.

Benar kata orang bijak, manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup. Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kesedihan yang berlebihan saat kita kehilangan sesuatu?

No comments: