Thursday, April 5, 2007

Marah

Suatu sore di Stasiun Kota Jakarta saat menunggu kereta yang akan membawa saya kembali ke Bekasi, saya melihat kejadian yang mengusik rasa nyaman saya. Terlihat 2 orang sedang bertengkar dengan saling berteriak satu sama lain. Keributan ini mengundang banyak orang untuk melihat dan berkerumun. Saya amati banyak orang yang melihat kejadian itu saling berbisik dan lamat-lamat saya dengar gumaman mereka yang menyayangkan perilaku kedua orang tersebut karena mengumbar kemarahan mereka di tempat umum.

Marah. Kata ini sering kita dengar dan saya yakin kita juga sering mengalaminya dikarenakan oleh banyak alasan. Dan kalau diamati seringkali kita melihat seseorang yang begitu marah akan bersuara keras bahkan berteriak, seolah dengan berteriak segala emosi yang mengganjal dalam hati turut tersalur keluar. Padahal orang yang sebagai objek marahnya berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Tidak bisakah berbicara dengan halus?


Seorang bijak berkata, “Pada saat 2 orang dilingkupi kemarahan dalam hatinya, meskipun secara fisik mereka berdekatan namun sejatinya hati mereka masing-masing perlahan menjauh dan akan semakin jauh seiring dengan kemarahan yang makin memuncak. Hati yang menjauh dipicu oleh kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut kedua orang yang bertengkar. Dan untuk mencapai hati masing-masing dengan jarak yang demikian jauh, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang bijak masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus. Sehalus apapun kata yang terucap, keduanya tetap bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian? Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak terhalang jarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami perasaan apa yang ingin mereka sampaikan."

Hal yang lebih mengesalkan sekaligus membuat hati saya terenyuh adalah apabila ada orangtua yang memarahi anaknya yang masih kecil. Sadar atau tidak, orangtua tersebut sejatinya secara perlahan membuat jarak hati dengan anak mereka perlahan menjauh. Dan semakin sering mereka melakukan itu akan semakin jauh jarak hati antara orangtua dan anak-anak mereka. Saat sang anak beranjak besar, jarak yang terbentuk demikian lama akan menunjukkan perannya dalam mengganggu keharmonisan hubungan cinta kasih keluarga.

Ketika kita sedang dilanda kemarahan, ingatkan diri bahwa hati kita mulai menciptakan jarak. Janganlah hati kita menjauh. Lebih lagi hendaknya kita tidak mengucapkan kata-kata pedas dan menyakitkan yang mendatangkan jarak. Kemarahan adalah suatu kondisi dimana lidah bekerja lebih cepat daripada pikiran. Kadang kita tidak sadar dengan berbagai kata-kata yang kita ucapkan saat marah menghampiri hati. Kata-kata kasar tidak kan mematahkan tulang tetapi akan meremukkan hati. Untuk setiap menit kita marah pada seseorang, sesungguhnya kita telah kehilangan 60 detik kebahagiaan yang tak akan bisa kita peroleh kembali.

Mungkin di saat marah menghampiri diri seperti itu, dengan berdiam dan tak mengucapkan kata-kata merupakan cara yang bijaksana. Perikata berkata, lidah lebih tajam dari sebilah pedang. Luka pedang bisa tersembuhkan, luka rasa karena ucapan akan menetap dan membekas dalam hati.

Marah tidak perlu diekspresikan. Cinta Kasih-lah yang seharusnya sering kita perlihatkan.




No comments: