Suatu hari saat menonton sebuah acara talkshow di sebuah televisi swasta, hati saya sangat terharu mendengar tuturan dari tamu pada acara tersebut.
Tamu tersebut adalah 2 orang dari Desa Guguak kabupaten 50 Kota yang memiliki prinsip hidup sangat kuat yaitu pantang meminta belas kasihan dan pantang mengemis. Mereka adalah Amai Nila seorang ibu yang renta dan Buyung anak satu-satunya. Buyung menderita kebutaan sejak terkena campak. Suami Amai Nila sudah lama meninggal. Melihat kenyataan hidup yang pahit sang Ibu tetap pada prinsip hidupnya….pantang mengemis!
Untuk mendapatkan uang, Buyung membuat sapu lidi untuk dijual. Setiap hari selama 30 tahun mereka berdua menyusuri jalan-jalan sejauh 40 km untuk berjualan sapu lidi dan dalam 1 hari biasanya hanya 3 sapu lidi yang laku. Buyung bertugas menarik gerobak sedangkan sang ibu yang sudah tidak kuat untuk berjalan bertugas memberi tahu arah jalan dan bertransaksi dengan pembeli. Apabila Buyung sakit dan tidak bisa menarik gerobak, mereka berdua harus siap makan apa saja yang ada di rumah. Demikian juga sebaliknya, karena Buyung tidak mungkin berjualan sendiri tanpa tuntunan jalan dari sang Ibu.
Sepanjang acara penonton dibuat terkesima dan haru dengan perjuangan pantang menyerah dari ibu dan anak tersebut. Emosi penonton (termasuk saya) memuncak saat Buyung ditanya apakah Buyung sudah siap apabila sang Ibu dipanggil lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa. Buyung tidak bisa menjawab, dia hanya menangis…begitu juga sebagian besar penonton di studio saat itu.
Prinsip pantang menyerah juga ditunjukkan oleh seorang pemuda bernama Peter di kota Nairobi Afrika. Dia adalah seorang penyemir sepatu jalanan yang paling banyak pelanggannya di kota itu. Para pelanggannya rela antri untuk mendapatkan layanannya. Yang membuat Peter berbeda dengan penyemir sepatu lainnya adalah selain hasil kerjanya yang memuaskan, Peter juga seorang....tuna netra!
Kebutaan matanya didapat karena sebuah ledakan disebuah kedutaan AS di kota tersebut. Kebetulan saat itu dia sedang berjalan didepan gedung yang meledak itu dan matanya terkena pecahan bangunan sehingga menyebabkan kehilangan penglihatan. Peter awalnya depresi dengan ketidak beruntungan hidupnya. Namun semangatnya bangkit untuk tidak menyerah dan pantang meminta belas kasihan orang lain.
Dalam melakukan pekerjaannya, Peter mengatur semua peralatannya dalam susunan yang rapi dan memudahkan dia untuk memilih dan mengambil warna yang cocok dengan sepatu pelanggannya. Ketekunan dan keuletannya dalam bekerja membuat banyak pelanggan senang dengannya bukan karena dia buta tapi karena kualitas pekerjaannya melebihi penyemir sepatu yang lain dan tidak buta.
Saat saya menonton kedua acara tersebut saya malu hati terhadap diri sendiri. Malu karena dengan segala kebaikan, kelengkapan indera dan kemudahan rejeki yang saya dapatkan saya kadang masih juga mengeluh terhadap masalah yang saya hadapi.
Bagaimana dengan anda? Sudahkah anda punya semangat pantang menyerah seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang diatas? Atau anda termasuk orang yang “gemar” mengeluh dan dengan mudah menyerah terhadap persoalan hidup? Ada pepatah Cina yang baik untuk mengingatkan kita agar selalu berusaha pantang menyerah dan selalu memberikan yang terbaik.
Wednesday, April 4, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment