Peristiwa ini terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu saat saya masih kuliah. Bermula dari telepon dari seorang rekan semasa SMA yang sudah lama tidak bertukar kabar. Dia mengabarkan bahwa salah satu teman SMA kami di Pontianak terkena penyakit aneh yang menyebabkan dia menjadi buta. Banyak yang bilang bahwa teman kami tersebut terkena guna-guna yang menurut cerita sebenarnya diarahkan kepada ayahnya.
Saya kebetulan punya teman kuliah yang memang bisa menyembuhkan jenis penyakit “buatan” ini dan entah kenapa saat itu saya menawarkan diri untuk mencoba membantu. Singkat cerita, setelah semua diatur akhirnya saya siap untuk pergi. Sayangnya, sehari menjelang hari H rekan saya yang akan ikut ternyata ada urusan keluarga yang harus dia ikuti. Alhasil, semua persiapan yang sudah saya lakukan menjadi berantakan. Tiket travel Yogya – Semarang dan tiket kapal laut Semarang – Pontianak, semuanya menjadi kelebihan 1 tiket karena saya berkeras untuk tetap berangkat dan saya minta teman saya untuk menyusul setelahnya.
Saat saya menunggu di pool travel, seorang bapak duduk disamping saya bersama anaknya yang masih kecil. Dari pembicaraan dengan anaknya tersebut saya ketahui bahwa bapak tersebut hendak pergi juga ke Semarang tapi sudah kehabisan tiket padahal dia harus pergi hari itu juga. Mengetahui hal itu, segera saya tawarkan kelebihan tiket saya kepada bapak itu agar bisa segera berangkat. Ucapan syukur terucap dari mulutnya saat mengetahui bahwa akhirnya dia dan anaknya bisa berangkat juga ke Semarang.
Sesampainya di pelabuhan semarang, penumpang sudah banyak sekali dan kapal masih 2 jam lagi baru berangkat. Saya menunggu di sebuah bangku panjang menunggu perintah untuk naik ke kapal. Duduk di sebelah saya adalah seorang bapak tua yang kelihatan gelisah. Saat saya tanyakan, beliau menjawab bahwa dia ingin mengunjungi anaknya yang ada di Singkawang tapi dia kehabisan tiket. Dia tetap pergi ke pelabuhan dengan harapan bisa membeli tiket di loket tapi ternyata semua sudah habis sedangkan kalau beli dari tangan calo mesti bayar 2 kali lipat. Mendengar penuturan bapak tersebut segera saja saya tawarkan kelebihan tiket saya yang kemudian disambutnya dengan sangat suka cita.
Usaha untuk masuk ke kapal merupakan perjuangan juga karena begitu banyak orang yang masuk ke lambung kapal melalui pintu yang hanya beberapa. Saat itu tiket saya adalah tiket ekonomi dimana untuk mendapatkan tempat dan matras untuk tidur harus berebut dengan penumpang lain. Saat itu kondisi sangat riuh dan saya mendapati bahwa matras dan tempat untuk tidur semua sudah terisi. Beberapa calo menawarkan tempatnya dengan imbalan uang. Mengingat uang yang saya bawa terbatas saya menolak tawaran-tawaran mereka.
Saat saya berdiri untuk istirahat sambil berpikir dimana untuk bisa sekedar membaringkan badan untuk beristirahat, seorang bapak di sebelah saya menegur dengan ramah dan menanyakan apakah sudah dapat tempat dan matras. Saya katakan bahwa semua tempat sudah terisi dan kemungkinan terburuk saya harus tidur di lorong dengan alas Koran. Tanpa dinyana, bapak tersebut menawarkan tempat disebelahnya (lengkap dengan matrasnya) untuk saya tempati karena ternyata teman yang seharusnya dia temui di kapal sudah mendapat tempat dengan teman-temannya yang lain.
Saat saya mengalami kejadian tersebut, saya menyebutnya sebagai pengalaman yang serba “kebetulan”. Saat saya punya 2 tiket yang sisa secara “kebetulan” ada 2 orang yang “kebetulan” duduk di sebelah saya dan “kebetulan’ sangat membutuhkan tiket tersebut. Di atas kapal saat saya mulai putus asa untuk mendapatkan tempat, secara “kebetulan” ada orang yang “kebetulan” juga ada di sebelah saya dan “kebetulan” punya tempat dan matras lebih untuk bisa saya gunakan.
Apakah kejadian beruntun tersebut memang merupakan sebuah rangkaian “kebetulan”? atau Sang Khalik sebenarnya sedang menunjukkan ke-Agungan-Nya? Saya lebih senang menyebutnya sebagai “keajaiban kecil” karena saat momen “kebetulan” itu terjadi sejatinya Tuhan sedang berbicara dengan kita. Bila kita memandang sebuah momen “kebetulan” hanya sebagai sebuah kejadian acak diantara ribuan kemungkinan dan memaknainya sebagai “keberuntungan” belaka maka sebuah “kebetulan” akan kehilangan makna spiritualnya.
Kini saya meyakini bahwa tidak ada sesuatu kejadianpun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan, tetapi segala sesuatunya telah ditakdirkan. Bahwa kejadian-kejadian dalam kehidupan mempunyai tujuan dan begitu juga “kebetulan-kebetulan” yang kita alami. Yang kita perlukan sebenarnya cukup sederhana yaitu dengan membuka pintu kesadaran lebih lebar lagi terhadap apapun kejadian yang kita alami. Dengan sepenuhnya sadar terhadap hidup dan kehidupan kelak kita dapat melihat dan mendapati lebih jelas bahwa banyak keajaiban-keajaiban kecil yang pernah dan akan kita alami.
Memupuk kesadaran mengenai “kebetulan-kebetulan” yang datang dalam hidup kita, membuat kehidupan akan dipenuhi oleh kegembiraan dan rasa syukur. Saya masih suka merinding apabila mengingat kembali rangkaian “kebetulan” yang saya alami saat itu.
Thursday, April 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment