Wednesday, May 14, 2008

Malas

”Wah udah masuk kerja lagi nih, gua malas banget kerja apalagi baru libur 4 hari!”. Begitulah bunyi sms yang saya terima pada hari senin pagi kemarin. Sms itu berasal dari salah seorang mantan teman kuliah saya yang sekarang bekerja di sebuah bank Negara. Pernahkah anda merasakan hal yang sama dengan rekan saya tadi? Suatu hal yang lumrah dialami ketika rasa malas menghampiri kita.

”Malas adalah penyakit mental. Siapa dihinggapi rasa malas, sukses pasti jauh dari gapaian”. Begitulah yang pernah dikatakan mantan atasan saya. Rasa malas dapat diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam ”keluarga besar” rasa malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, rasa sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban, dll. Jika ”keluarga besar” dari rasa malas ini mudah sekali muncul dalam aktivitas sehari-hari kita, maka dijamin kinerja kita akan jauh menurun. Bahkan bisa jadi kita tidak pernah bisa mencapai sesuatu yang lebih baik sebagaimana yang kita atau perusahaan tempat kita bekerja inginkan.


Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Mengapa disebut penyakit mental? Disebut demikian karena akibat buruk dari rasa malas memang sangat merugikan. Siapa pun yang dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah datang pada orang yang malas. Masyarakat yang dipenuhi oleh individu-individu yang malas jelas tidak akan pernah maju. Rasa malas adalah dalih yang paling berbahaya. Hal ini karena ia membunuh potensi kita. Ketika rasa malas muncul, kita akan tampil di bawah performance maksimal kita, sehingga kita menjadi kurang bernilai dan kurang bermanfaat di hadapan diri sendiri dan orang lain. Karena itu, rasa malas harus diperangi. Malas membuat potensi seseorang menjadi terpendam atau muncul tapi terlambat. Malas membuat seseorang bagaikan lumpuh. Tak bertenaga dan tak berdaya untuk menghindarinya. Pikirannya menjadi irasional, jiwanya kosong dan perbuatannya menjadi tak bertanggung jawab.

Bagaimana cara mengatasinya? Beberapa tip pernah saya baca seperti dengan meloncat-loncat ditempat sebanyak 20 kali agar peredaran darah kembali lancar dan semangat kembali muncul. Menuliskan hal-hal yang akan dikerjakan hari itu atau dengan mengingat atau melihat sesuatu yang bisa memancarkan semangat untuk kembali aktif. Ayah saya adalah salah seorang guru ”anti-malas” terbaik yang pernah saya tahu. Cara untuk mengatasi rasa malas cukup sederhana namun efektif: Just do it! (lakukan saja, tanpa menunda!)- seperti slogan sebuah iklan sepatu olah raga.
Jadi untuk mengatasi rasa malas, kerjakan saja apa yang menurut kita harus dilakukan. Jangan ditunda dan jangan mencari alasan untuk menunda! Apapun alasan untuk menunda pekerjaan itu, lupakanlah! Sebab sebagian besar alasan itu sejatinya adalah alasan yang dicari-cari dan mengada-ada. Karena itu, just do it! Lakukan sekarang juga! Karena jika kita menundanya maka kita bisa akan semakin malas dan takut untuk melakukannya. Sebaliknya semakin tidak ditunda, semakin bersemangat dan termotivasi kita untuk melakukannya.

Selain itu juga, perlu diketahui bahwa seringkali semangat melakukan suatu pekerjaan justru datang dan semakin besar bersamaan dengan saat kita melakukan pekerjaan tersebut. Semangat bekerja seringkali muncul bukan sebelum melakukan pekerjaan, tapi pada saat kita melakukan pekerjaan tersebut.

Inilah rahasia mengatasi rasa malas, Jika pikiran kita mulai mencoba melakukan rasionalisasi untuk menundanya, katakan dengan keras dan tegas pada diri kita sendiri: Just do it! Lakukan sekarang juga! Jangan banyak alasan! Niscaya kita akan mampu mengatasi rasa malas dan tidak menunda-nunda melakukan pekerjaan.

Seperti halnya pagi itu, sambil tersenyum saya langsung membalas sms teman saya: ”Kalau elu malas kerja, bagaimana jika perusahaan juga malas membayar gaji elu? Just do it!"

Gong Xi Fat Chai

Ada kemeriahan yang menyegarkan pandangan dalam minggu-minggu ini, nuansa merah dan lampion serta hiasan pohon angpao menjadi pandangan yang akan sering dijumpai. Pergantian tahun Imlek sudah di depan mata. Pada masa-masa seperti ini banyak sekali pembicaraan yang berkaitan dengan pengaruh tahun baru dengan shio. Aneka buku dan ramalan seputar tahun mendatang ikut menyemarakkan suasana. Saya sebagai orang yang awam segala hal mengenai hal ini berusaha mensikapi segala pandangan, pendapat dan analisa dengan pola pikir yang logis.
Pergantian tahun adalah sesuatu yang alami, yang pasti akan terjadi. Dampaknya tentu saja ada bagi kita, ada yang bagus dan tentu saja ada yang kurang. Coba saja amati, bukankah dalam setiap pergantian musim ada flora dan fauna yang diuntungkan dan dirugikan. Itulah hukum alam. Keberuntungan dan kegagalan manusia tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh apa shio kita tapi bagaimana kita mensikap tantangan kehidupan.


Banyak buku dan artikel yang mengulas mengenai pengaruh shio terhadap peruntungan. Semua hal yang ditulis di buku-buku itu hanyalah secara garis besar saja. Misalnya kalau dikatakan shio anda akan ada bahaya, belum tentu akan terjadi. Kalau mau lebih akurat, harus dihitung dan dianalisa sampai ke jam, hari bulan dan tahun. Nah, semua yang dikatakan di buku-buku hanyamenghitung dan analisa tahun saja. Namun itu kembali kepada masing-masing individu dalam mensikapi ”ramalan” shio masing-masing. Hal lain yang banyak diulas juga adalah urusan ”membuang sial”. Urusan "membuang sial" juga cukup ramai. Hal itu terkadang diekspose dalam skala yang berlebihan, sehingga hanya menjadi ritual yang membutuhkan biaya cukup besar.

Sebenarnya teknik untuk "membuang sial" yang paling jitu dan ampuh itu cukup mudah dan murah. Berbuatlah kebajikan setiap hari. Membantu orang, berderma kepada yang membutuhkan, atau hal-hal lain yang setiap hari bisa kita lakukan dan merupakan "jurus nomor wahid" untuk membantu melancarkan jalan hidup kita. Jadi tidak perlu menunggu saat tertentu dalam setahun untuk melakukan seremoni "buang sial" atau apapun istilah lainnya. Tahun Baru Imlek mengandung makna spiritual, makna sosial, dan makna budaya. Saat Tahun Baru Imlek juga menjadi suatu momentum untuk saling introspeksi dan bersosialisasi serta saling berbagi. Bagi umat yang merayakan akan berhenti bekerja sejenak untuk memeriksa apa yang telah dijalaninya sepanjang tahun berlalu. Memeriksa kembali dan merenungkan apa-apa yang telah dikerjakan dan yang belum dikerjakan, meneliti apakah perbuatannya selalu didalam kebajikan atau masih belum.

Tahun Baru juga merupakan momentum untuk membaharui diri. Setelah memeriksa diri dari kekurangan-kekurangan, membulatkan tekad dan mengobarkan semangat untuk memperbaiki dan memperbaharuinya di tahun mendatang, sebagai sujud dan prasetya kepada Sang Khalik.
Sambutlah pergantian tahun (apaun shio tahun anda) dengan pikiran dan perasaan yang positif. Kalau dibilang shio kita bagus atau jelek yah terima saja, amini saja. Perjalanan hidup kita tidak ditentukan oleh aneka "ramalan" yang ditulis dibuku-buku. Nasib anda, andalah yang menentukan sendiri. Bagaimana kita bersikap akan jauh lebih menentukan dan bermakna.

Mari kita jemput keberuntungan dan kejayaan kita di Tahun Tikus dengan bekerja lebih keras dan bahu membahu.


Kebahagiaan

Bagi seorang sopir taksi mencari penumpang di malam hari cenderung lebih beresiko daripada di siang hari terutama untuk daerah-daerah yang dikatakan rawan kejahatan. Karena alasan itulah mereka jadi lebih ekstra hati-hati dan “pemilih” dalam mendapatkan penumpang.

Begitu juga dengan Arif (kebetulan namanya sama dengan saya), teman lama saya seorang manager operasional di sebuah perusahaan taksi yang sedang turun lapangan menjadi pengemudi taksi selama beberapa hari. Malam itu saat melintas di jalan by pass (jl. Yos Sudarso, Jakarta) tepatnya didekat daerah Cempaka putih, dia melihat ada 3 orang melambaikan tangan untuk meminta taksinya berhenti. Ketiga orang tersebut berpakaian kotor, memakai sandal dan membawa pacul. Berdasarkan cerita dari para sopir taksi daerah tersebut merupakan daerah rawan, apalagi penampilan ketiga orang tersebut juga tidak meyakinkan. Namun dia tetap meminggirkan taksinya. Untuk mengurangi resiko, dia minta ketiga orang tersebut untuk meletakkan peralatan mereka di bagasi.

Ketiga orang tersebut bergegas masuk ke kursi belakang taksi dan salah seorang berkata dengan antusias,”Pak tolong antarkan lihat Monas ya”. Melihat penampilan penumpangnya yang seadanya dan tujuan mereka untuk melihat Monas membuat teman saya tergerak untuk mencari tahu. ”Mau lihat apa di Monas pak?” tanyanya. ”Begini pak, kami ini kuli bangunan proyek dan sudah 3 minggu ini ada di Jakarta cari pekerjaan. Alhamdulillah bisa langsung dapat dan tadi siang kami baru terima upah. Besok pagi kami mau pulang ke Brebes untuk kasih uang ini ke istri dan anak-anak. Nah, istri dan anak saya pesen supaya tolong ”diliatkan” Monas dan gedung bertingkat di Jakarta supaya saya bisa cerita ke mereka karena selama ini kami hanya bisa lihat Monas dan gedung bertingkat di Jakarta hanya lewat TV saja”. Dua orang penumpang lainnya mengangguk-angguk mengiyakan.

Dari percakapan selama perjalanan diketahui bahwa saat itulah kali pertama mereka datang ke Jakarta dan mereka mendapat informasi bahwa di Jakarta banyak gedung yang tingginya sampai ke langit dan Monas. Sesampainya di Monas mereka tidak turun dari taksi dan minta teman saya agar jalan pelan-pelan. ”Ooo, kayak gini toh yang namanya Monas..apik banget ya kang (bagus sekali ya mas),” ucap salah seorang dari mereka dengan nada kagum. ”Anak-bojoku nek melu mesti seneng banget ndeleng kiye (anak dan istriku kalau ikut pasti senang sekali melihat ini),” kata seorang bapak dengan wajah sumringah. ”Sudah cukup pak lihat Monasnya, sekarang tolong antar kami kembali ketempat tadi berangkat ya pak”, ujar seorang bapak setelah beberapa saat.

Terbersit rasa haru dalam hati teman saya dan kemudian dia menawarkan sesuatu,”Pak mumpung bapak di Jakarta, mau nggak saya antar lihat gedung-gedung tinggi karena kalau malam lebih bagus pak”. Tawaran ini disambut dengan antusias oleh 3 penumpang tersebut. Dan saat melewati Jalan Sudirman dan Thamrin, ketiga bapak itu tidak henti-hentinya berucap kagum akan kemeriahan dan keindahan lampu-lampu jalan dan gedung di sepanjang jalan protokol itu.

Sesampainya di tempat semula, mereka bertiga terlihat mengeluarkan uang untuk patungan membayar argo taksi dan kemudian menyerahkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. ”Pak uang ini bapak simpan saja ya buat anak dan istri bapak di rumah. Biar argo ini saya saja yang nalangin, yang penting bapak-bapak senang,” teman saya berkata sambil menyorongkan kembali uang itu. Sejenak ketiga bapak itu terdiam dan akhirnya mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan teman saya. Sambil mengambil perlengkapan kerja di bagasi mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas pengalaman yang menyenangkan malam itu. ”Nanti saya kasih tahu sama istri saya kalau saya ketemu orang baik seperti bapak di Jakarta,” kata seorang bapak dengan terharu.

Saat menceritakan pengalaman ini kepada saya, teman saya masih merasakan keharuan sekaligus kebahagiaan malam itu. ”Aku mendapat pelajaran malam itu. Tujuan utama kita kerja sebenarnya tidak lain adalah untuk keluarga. Segala kerja keras kita muaranya hanya untuk kebahagiaan orang-orang yang kita sayangi. Bapak-bapak itu bekerja keras meninggalkan kampungnya juga demi mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Dan saat anak dan istri mereka minta untuk sekedar ”dilihatkan” Monas, mereka juga lakukan walau harus mengorbankan sebagian penghasilan mereka. Itu mereka lakukan juga demi orang-orang yang dicintainya. Aku jadi malu kadang aku suka mengeluh pada diriku sendiri dan pada pekerjaanku. Padahal seharusnya aku bersyukur karena aku mendapat pekerjaan yang baik dan bisa selalu dekat dengan orang-orang yang aku cintai”. Saya yang mendengar pengalaman itu menjadi ikut terharu.

Malam itu, setelah mengantar ketiga bapak tadi ke tempat semula, aku langsung pulang karena tiba-tiba ada rasa rindu yang luar biasa besar pada anak dan istriku”.

Resiko

Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi risiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih. Segala usaha untuk meraih tujuan, selalu melibatkan sebuah risiko. Kita mungkin berkata, "Saya tidak mau bergantung di dahan pohon yang kecil itu!". Kita tidak menyadari bahwa ada buah yang matang dan manis di ujung dahan itu. Buah itu selalu berada di sana, di ujung dahan, menunggu ada orang yang berani memetiknya.

Kebanyakan dari kita memulai hidup ini dengan sikap positif dalam menghadapi risiko. Ketika masih anak-anak, kita tidak sabar untuk melakukan berbagai petualangan baru. Mereka belajar memanjat kursi, menaiki tangga dan berlari-lari. Seorang anak yang sehat, gembira, seperti halnya seorang dewasa yang sehat dan gembira, senang menguji dan mengukur kemampuan mereka. Pada saat kita pertama kali mencoba berjalan dengan tertatih-tatih, pada saat kita mulai menguasai seni berjalan, kita sebenarnya sudah mengambil risiko. Bahkan saat bayi lahir ke duniapun dia sudah memutuskan untuk mau mengambil resiko hidup di dunia baru yang tidak diketahuinya. Dan kita ternyata menyukainya!

Bumbu kehidupan adalah saat kita melakukan hal-hal baru, menciptakan sesuatu dari kemampuan kita sendiri. Kala kita mencintai dan peduli pada seseorang, kita menanggung risiko. Mengatakan 'aku cinta padamu', bisa menjadi urusan yang penuh risiko, tetapi imbalannya sungguh fantastis dan itu yang menggerakkan hati manusia untuk melakukannya. Menjadi sosok manusia yang berbeda juga melibatkan risiko. Anda ingin berubah menjadi seseorang yang lebih bisa tepat waktu akan berisiko dicap sebagai orang yang sok disiplin dsb. Dalam kenyataannya, alam semesta ini senantiasa mendorong kita agar berusaha, berkembang dan menjadi luar biasa.

Kita punya pilihan, yaitu antara menjalani hidup dengan benar-benar hidup atau semata-mata hidup. Kalau kita memilih hanya semata-mata hidup, hidup anda akan tidak banyak gejolak, selalu berada dan bermain di “zona aman” dan sebisa mungkin menghindarkan risiko. Hasil yang akan diterima pun juga akan “semata-mata hasil” saja. Sayuran, bumbu kacang dan tahu kalau dicampur akan tetap jadi gado-gado dan kita tidak mungkin mengharapkannya jadi makanan lain. Namun kalau saja kita mau mengambil resiko dengan melakukan eksperimen dan mencampurkan dan mengolah bahan makanan tadi dengan cara lain kita mungkin bisa mendapatkan jenis makanan lain.

Untuk mencapai sesuatu, kita harus menanggung risiko. Untuk belajar berjalan kita menanggung risiko jatuh dan terluka. Untuk memperoleh uang, kita harus menanggung risiko kehilangan dan orang yang memperoleh uang terbanyak memiliki risiko terbesar. Untuk memenangkan sebuah pertandingan kita menghadapi kemungkinan kalah. Mencari pekerjaan adalah risiko. Menyeberang jalan adalah risiko. Bahkan untuk sekedar makan di restoranpun mengandung risiko.

Singkatnya, Hidup adalah risiko. Dan semua resiko itu harus kita ambil dan alami agar kita bisa lebih menghargai apa arti keberhasilan dan kemenangan. Kita harus berani melewati dahan pohon agar dapat memetik dan merasakan manisnya buah.

Suatu hukum yang berlaku dalam kehidupan ini menjamin bahwa imbalan akan datang sesudah risiko. Dan bukan sebaliknya.

Kreatif

Mungkin anda ingat dengan sebuah cerita mengenai seekor gajah yang diikat kakinya sejak kecil dengan seutas rantai sepanjang 4 meter. Ketika dewasa dia tidak akan (berani) melangkah keluar dari area lingkaran 4 meter walaupun rantainya sudah diganti dengan seutas benang. Gajah berperilaku seperti itu karena dalam pikirannya sudah tertanam kuat bahwa area dia bergerak hanyalah sejauh 4 meter saja karena apabila lebih dari 4 meter akan ada sesuatu yang menahannya. Karena berlaku selama bertahun-tahun akhirnya gerakannya menjadi sudah terpola dalam lingkaran 4 meter itu.

Apakah penggambaran itu bisa juga terjadi pada manusia? Tentu saja. Istri teman saya sudah bisa mengendarai mobil. Hampir tiap hari dia menggunakan mobil untuk antar jemputnya ke dan dari sekolah, tapi dia hanya berani menggunakannya di dalam kompleks perumahannya di Kelapa Gading Jakarta. Selama lebih dari 5 tahun tidak pernah sekalipun dia berani mengendarai mobil keluar dari komplek, sampai akhirnya dia memberanikan diri keluar dari komplek karena harus mengantarkan anaknya yang sakit ke rumah sakit.

Dari pengalaman diatas bisa kita kaji bahwa sebenarnya kita mampu melakukan sesuatu yang awalnya kita pikir tidak bisa. Yang diperlukan terutama sekali adalah mempengaruhi pikiran kita dengan mengatakan bahwa kita pasti bisa. Salah seorang adik kelas saya sewaktu kuliah dulu sekarang menjadi salah satu pengusaha yang cukup sukses di Yogya. Saat memulai usahanya dia (nyaris) tidak memiliki apa-apa kecuali surat ijin pendirian perusahaan. Namun dia yakin bahwa dia bisa dan mencari akal agar usahanya cepat dikenal.

Caranya bagaimana? Dia keluar masuk hotel besar di Yogya dan selalu minta bagian Car Call untuk menyuarakan lewat pengeras suara: “Kepada pengemudi dari Konsultan PT.ABC untuk segera ke lobby hotel”. Padahal dia sama sekali tidak punya sopir karena kemana-mana dia hanya naik motor. Begitu dia lakukan selama beberapa hari dan di dua waktu berbeda yaitu saat makan siang dan saat makan malam dimana tamu yang datang ke hotel lebih banyak. Cara unik ini ternyata berhasil. Beberapa hari kemudian hasil dari iklan di koran dan Car Call di hotel mulai nampak. Banyak telepon yang masuk awalnya penasaran dengan nama perusahaan yang sering mereka dengar di hotel dan beberapa akhirnya berlanjut menjadi sebuah project sampai akhirnya perusahaannya menjadi besar seperti sekarang.

Cerita menarik lain saya dengar mengenai salah seorang mantan pemimpin cabang di bank kita. Salah satu cara unik yang digunakan agar nama UOB Buana dapat cepat dikenal adalah dengan mendatangi orang terkenal (tokoh, pengusaha dll) di kota itu yang meninggal dunia. Saat menyatakan berduka cita kepada pihak keluarga yang meninggal, dia juga menyebutkan sebagai perwakilan dari UOB Buana. Moment itu juga dia manfaatkan untuk memperkenalkan diri dan nama UOB Buana kepada pengusaha dan tokoh masyarakat yang datang melayat. Akhirnya secara perlahan nama UOB Buana mulai banyak dikenal di kalangan pengusaha kota itu.


Kedua pengalaman nyata diatas adalah sebuah bukti bahwa bekerja keras saja belumlah cukup, akan lebih baik bila kita juga selalu terpacu untuk mencari ”cara-cara baru” untuk meningkatkan hasil. Mungkin cara baru itu bukan sesuatu yang canggih atau hebat, namun bisa hal sederhana. Seperti kenalan saya seorang kepala cabang sebuah bank negara di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. ”Daripada saya susah-susah cari nasabah diluar dan ”rebutan” dengan bank lain, saya lebih suka memanfaatkan kedekatan dengan nasabah-nasabah lama saya dan meminta mereka merekomendasikan bank kami kepada keluarga, teman dan partner bisnis mereka. Hasilnya malah lebih cepat dan saya juga bisa lebih yakin bahwa nasabah baru yang saya dapat ini kualitasnya bagus karena hasil ”seleksi” dari nasabah-nasabah saya”, jelasnya suatu hari. Sebuah cara yang sederhana bukan?

Sekarang mari kita coba lihat diri kita sendiri, adakah seutas benang yang menghambat diri kita saat ini? Putuskan benang itu, bergeraklah maju lebih dari lingkaran yang selama ini mengurung. Kita pasti bisa kalau kita berpikir kita bisa, kita akan gagal kalau kita selalu berpikir akan gagal. Dan sesuatu kan sulit dilakukan kalau di awal kita mengatakan itu sulit. Peluang demi peluang muncul setiap hari, dan kalau selama ini kita menutup mata, telinga, pikiran, diri, bahkan hidup kita, maka peluang itu menjadi terbuang, dan akan lewat begitu saja.

Mulailah melangkah sedikit demi sedikit kalau sekiranya masih gamang, lalu berlari cepat setelah lebih yakin lagi. Jangan sia-siakan setiap peluang untuk maju, demi perusahaan, demi diri kita sendiri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.

Catatan Akhir 2007

Sebuah sms masuk ke handphone saya minggu lalu, sms itu mengabarkan sebuah berita duka atas meninggalnya salah seorang mantan dosen saya di saat kuliah di Yogya. Berita duka ini patut disampaikan karena beliau adalah salah seorang dosen yang kami sayangi sekaligus dihormati karena keilmuwannya. Seminggu sebelumnya saya juga mendapat kabar mengenai meninggalnya salah seorang kerabat jauh keluarga istri saya yang tinggal di luar kota. Kedua kabar duka cita ini kembali menyadarkan saya akan sebuah kenyataan hidup yakni kehilangan.

Kematian adalah salah satu bentuk kehilangan yang mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat menyadarkan kita akan arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita akan betapa singkatnya hidup. Padahal selama hidup kita seringkali mempermasalahkan hal-hal sepele, terpaku pada hal-hal duniawi dan menimbun materi yang tidak berkesudahan.

Hidup seringkali kita anggap sebagai sebuah rutinitas yang harus dijalani. Hidup juga seringkali menipu dan meninabobokan orang. Agar tidak terjebak dalam keterlenaan kita harus sadar mengenai siapa diri kita sebenarnya, darimana kita berasal dan hendak kemana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu memberi waktu untuk diri sendiri dan keluar dari rutinitas kesibukan duniawi dengan melakukan perjalanan kedalam diri kita.

Seorang filsuf Perancis Teilhard de Chardin mengatakan bahwa ”kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, sebaliknya kita adalah mahluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi”. Karena itu kita disebut juga sebagai ”mahluk langit”. Kita adalah mahluk spiritual yang sedang menempati kehidupan ragawi di dunia. Tubuh yang kita miliki saat ini adalah rumah sementara bagi sang jiwa karena tubuh merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tubuh lambat laun menua, rusak dan akhirnya tak dapat digunakan lagi. Moment itulah yang disebut sebagai ”meninggal dunia” dan jiwa kita akan pergi menuju ”kehidupan” yang lain.

”Urip kuwi mung mampir ngombe” kata orang jawa, hidup itu hanya mampir untuk minum saja. Kalimat ini bermakna bahwa hidup hanya sebentar sebelum memasuki kehidupan selanjutnya. Tapi sayangnya kalimat penuh makna ini sering kita abaikan dan kita kembali senantiasa menyakiti hati orang lain, mengambil yang bukan hak kita, bermalas-malasan, berkeluh kesah dan menutup mata terhadap indahnya kebenaran.

Saya ingin mengajak Anda untuk membayangkan suatu hari yang pasti kelak akan Anda alami. Pada hari itu Anda melihat diri Anda sendiri sedang terbaring tenang di tengah ruangan dengan dikelilingi oleh sanak saudara, kerabat, rekan kerja dan tetangga rumah Anda. Hari itu adalah hari pemakaman Anda. Hari itu, mereka yang mengelilingi Anda datang dengan berbagai kenangan tersendiri tentang diri Anda. Sebelum jenasah Anda dibawa untuk dimakamkan, beberapa orang diminta untuk mengungkapkan perasaan dan kenangannya tentang diri Anda. Menurut Anda, apa yang ingin Anda dengar pendapat mereka tentang Anda selama masih hidup? Orang tua macam apakah Anda? Suami/ Istri macam apakah Anda? Rekan kerja macam apa? Ipar macam apa? Tetangga macam apakah Anda?

Apapun yang mereka katakan saat itu sangat tergantung dari perilaku dan perkataan yang anda gunakan dan tunjukkan selama Anda hidup dan berinteraksi dengan mereka. Anda tidak punya kuasa lagi untuk memperbaiki pendapat itu sekiranya kenangan mereka tidak seperti yang Anda harapkan. Kalau anda dipersepsikan sebagai orang yang angkuh karena mungkin selama Anda hidup anda menunjukkan sikap senantiasa angkuh terhadap mereka, dan sebaliknya.

Tahun 2007 segera berakhir dan tahun yang baru akan dijelang. Sudah saatnya bagi kita untuk kembali melihat perjalanan hidup yang sudah kita lalui, melihat kembali hal-hal yang sudah kita lakukan dan mengkaji kembali prioritas-prioritas hidup kita. Meningkatkan kualitas hubungan horisontal terhadap sesama manusia dan hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Menjalin kembali tali silaturahmi dengan orang-orang yang anda kenal, meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga yang anda kasihi dan memberi banyak kebaikan kepada siapapun yang anda temui.

Mari kita jelang Tahun Baru 2008 dengan penuh keyakinan bahwa di tahun yang menjelang kualitas pribadi dan kerja kita akan senantiasa lebih baik dari tahun yang lalu.

SELAMAT TAHUN BARU 2008 !

Apa yang kita beri akan kembali

Entah kenapa saya tertarik sekali setiap kali saya mendengar ada bencana, baik itu bencana alam maupun hal-hal lain yang membutuhkan bantuan sesama. Dalam hati saya selalu ada dorongan untuk berusaha menyisihkan walau sedikit saja uang yang saya miliki untuk membantu mereka yang terkena musibah. Bagi saya materi masih bisa dicari, dan dengan kita memberikan sekedar seribu, dua ribu ataupun 10 ribu tidak akan membuat kita jatuh miskin.

Suatu kali saya pernah mengirim sedikit uang untuk korban bencana alam disuatu daerah lewat kantor saya. Saat saya menyetorkannya sendiri lewat Teller, Teller tersebut berkata,” Kok sumbangan sedikit amat, kalau mau memberi bantuan yang besar dong”. Memang bantuan yang saya berikan saat itu tidaklah besar dari segi jumlahnya, tetapi kalau saya boleh katakan janganlah bantuan itu dilihat dari nilai nominal yang kita berikan, tetapi lebih melihat dari sisi ketulusan kita untuk membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang kesusahan.

Pernah juga suatu hari sekitar 4 tahun yang lalu saya berjalan disekitar Kantor UOB Buana di kota saya, saat itu saya menemukan sebuah dompet yang tergeletak di jalan. Setelah saya pungut dan saya periksa ternyata dompet itu berisi uang yang cukup banyak. Hampir saja saya tergoda, tetapi hati kecil saya seperti mengingatkan 'KEMBALIKAN SAJA APA YANG BUKAN MILIKMU". Saya kemudian berusaha mencari informasi dan nomor telepon yang terdapat dalam dompet tersebut untuk bisa saya hubungi.

Pada saat itu yang ada di benak saya adalah bagaimana sedih dan bingungnya orang yang kehilangan dompet ini, karena di dompet tersebut terdapat bermacam-macam kartu dan mungkin beberapa surat penting. Setelah 2 hari mencari barulah saya berhasil menemukan pemilik dompet tersebut. Kebetulan pemilik dompet tersebut adalah seorang ibu dan ibu tersebut begitu berterima kasih saat tahu bahwa dompetnya yang hilang akhirnya ditemukan oleh seseorang dan kembali dalam keadaan utuh. Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, ibu tersebut hendak memberikan saya sejumlah uang. Saya berusaha menolak karena saya ikhlas melakukannya namun dia tetap berkeras memberikan. Bagi saya sebenarnya, ibu tersebut cukup memberikan uang hadiah tersebut kepada panti asuhan atau pihak lain yang lebih membutuhkan.

"Tangan Tangan Tuhan akan bekerja", inilah yang saya rasakan dan saya alami saat saya melangsungkan pernikahan saya minggu yang lalu, "angpau" yang saya terima jumlahnya cukup banyak dan bahkan lebih dari cukup. Saya juga kaget karena banyak yang datang dan memberikan angpau tersebut merupakan orang yang sebelumnya tidak termasuk dalam daftar undangan. Saat itu saya menyadari bahwa Tuhan memang Maha Pemurah dan Maha Adil kepada umat-Nya dan saya semakin meyakini bahwa apapun yang kita berikan akan selalu kembali ke kita dalam jumlah yang berlipat.

Saya adalah seorang Katolik tetapi saya suka sekali mendengar dan membaca buku-buku agama yang lain. Bagi saya semua agama selalu mengajarkan hal kebaikan bagi kita walaupun terdapat perbedaan dalam tata cara ritualnya. Kalau kita bisa mengambil "Benang Merah" dari semua ajaran tersebut, niscaya dan saya percaya sekali kita akan menjadi manusia yang selalu bertingkah laku dan selalu berbuat kebaikan kepada sesama.

Di salah satu LPB yang pernah saya baca, ada suntingan sebuah bait dari Lagu "Jagalah Hati” dan dalam kesempatan ini saya ingin katakan bahwa hal itu benar sekali, karena hati lah merupakan Lentera Kehidupan kita dan dari Hatilah segala tingkah laku kita akan terlihat.

Bila hati kita bersih, tingkah laku dan perbuatan kita pun akan bersih.


Tulisan kiriman dari seorang rekan di UOB Buana Jambi.

Dekat Dengan Kesederhanaan

Dalam seminggu ke depan kita akan jelang (bagi yang merayakan) 2 hari raya besar yaitu Idul Adha (20/12) dan Natal (25/12). Idul Adha dirayakan umat Islam untuk memperingati kejadian penting dimana Ibrahim menerima wahyu dari Allah untuk mengorbankan anak semata wayangnya, Ismail. Peristiwa itu merupakan batu ujian terberat bagi Ibrahim untuk menunjukkan bukti kecintaannya pada Allah. Walaupun terasa sangat berat, perintah ini tetap dijalankan oleh Ibrahim yang pada detik terakhir Ismail diganti dengan seekor domba oleh Allah.

Kata “kurban” itu berasal dari bahasa Arab qaraba-yuqaribu-qurbanan-qaribun, yang artinya dekat atau mendekatkan maksudnya adalah mendekatkan diri pada Tuhan. Ibadah kurban menurut Jalaludin Rakhmat (1996) juga mencerminkan pesan moral: kita mendekatkan diri dengan saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang tidak lebih beruntung dari kita. Bila kita memiliki kenikmatan, kita diminta berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila berpuasa, kita akan merasakan lapar seperti halnya orang miskin. Hewan kurban yang dipotong merupakan simbol dari penyembelihan dari nafsu kebinatangan yang seringkali kita tunjukkan semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, dan setiap sesuatu yang membutakan mata dan telinga kita terhadap kebenaran.


Hari Natal dirayakan setiap tahun untuk memperingati kelahiran Yesus. Dalam perspektif umat Kristiani, Yesus dihormati sebagai sang penebus dosa-dosa; yang memungkinkan kembalinya kita diterima dengan baik oleh Allah. Dengan demikian, Tuhan sendiri mendekat, mau menerima manusia, mau bertegur sapa dengan-Nya sehingga manusia bisa berharap, bisa membuka hati. Di dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa Dia lahir di palungan dalam sebuah kandang yang kotor, karena tidak ada tempat di dalam penginapan. Berselimutkan kain lampin yang sederhana dan ditemani oleh para gembala. Kenyataan ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk mengambil sikap bersahaja. Semacam semangat untuk mau berbuat baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil dan lemah, serta tidak memberi ruang pada kebencian dan rasa balas dendam kepada siapapun.

Bila diresapi lebih dalam, semangat yang dimiliki oleh 2 hari besar tersebut sebenarnya semakna sejalan. Memaknai sebuah peristiwa untuk bisa lebih dekat dengan kesederhanaan, meningkatkan kepedulian terhadap sesama dan selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Pada perayaan Idul Adha, daging hewan kurban yang disembelih akan dibagikan kepada kaum fakir (tidak mampu), membagikan rejeki dan kenikmatan kepada mereka dan secara tidak langsung kita juga diajak untuk bisa memahami ketidak beruntungan mereka. Natal, merefleksikan kehadiran Tuhan dalam kesederhanaan bersama-sama dengan orang-orang kecil.

Mendekati hari raya Idul Adha ini, kenangan saya selalu kembali pada masa sekitar 13 tahun lalu saat saya melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah desa kecil di daerah Banyumas (Jawa Tengah). Kebetulan selama 3 bulan saya dan teman-teman tinggal disana dan berkesempatan menikmati perayaan hari besar ini. Dua minggu sebelum hari raya suasana di desa tersebut mulai berubah. Warga dari segala usia semua kelihatan antusias mempersiapkan segala sesuatunya dan raut kebahagiaan terpancar dari orang-orang yang saya temui.

Dalam sebuah percakapan dengan seorang sesepuh desa, saya memahami perubahan perilaku warga desa tersebut. Setiap hari raya besar akan banyak sanak kerabat mereka yang bekerja di kota besar pulang ke desa itu, kembali berkumpul dengan keluarga merajut kembali silaturahmi yang terpisah jarak. Alasan kedua adalah hari raya itu adalah hari raya kurban yang juga berarti mereka akan bisa menikmati gurihnya daging kambing atau sapi, karena bagi warga desa tersebut makan berlaukkan daging adalah sebuah “kemewahan” tersendiri.

Saat makan siang bersama di pelataran masjid saya banyak melihat raut wajah penuh syukur dan bahagia di sekitar saya. Warga desa yang tidak merayakan juga diundang dalam acara tersebut. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan saya merasakan arti kasih antar sesama yang sesungguhnya. Walaupun secara materi mereka serba kekurangan namun sesungguhnya mereka memiliki kekayaan bathin yang lebih dibandingkan saudara-saudara mereka yang tinggal di kota, termasuk saya.

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA DAN HARI NATAL 2007