“Kamu sih kalau dibilangin suka susah, makanya sekali-kali dengerin dong kalau orang ngomong. Aku nggak mau beurusan lagi denganmu, capek!”. Suara perempuan muda itu jelas sekali saya tangkap karena posisi berdiri dia di dalam gerbong KRL AC Bekasi itu berdekatan dengan saya. Entah sadar atau tidak segala kata yang keluar saat bercakap melalui ponsel itu terdengar oleh kami, penumpang lain disekitarnya. Beberapa penumpang menoleh heran sekaligus geli kearah perempuan muda itu. Dari intonasi dan ekspresi wajahnya selama bertelepon kelihatan sekali perempuan muda itu sedang mendung hatinya. Dan saya yakin orang-orang yang mendengar percakapan itu memiliki ‘skenario’ sendiri mengenai apa kira-kira masalah yang dihadapi perempuan muda itu. Begitu juga saya, dari percakapan yang terdengar kelihatannya si lawan bicara perempuan muda itu jarang mau mendengarkan.
Mendengarkan, kelihatannya sepele untuk dilakukan namun percaya atau tidak hanya karena masalah (yang kita anggap) sepele itu banyak permasalahan kecil menjadi besar, kesepahaman menjadi perselisihan dan persaudaraan menjadi permusuhan. Kenapa? Karena lebih banyak orang cenderung lebih senang berbicara daripada mendengarkan. Buktinya, banyak sekali kursus-kursus yang mengasah manusia bagaimana menjadi seorang ‘pembicara’ yang baik, namun jarang sekali kita menjumpai kursus yang mengajarkan bagaimana menjadi ‘pendengar’ yang baik. “Lha wong dari bayi kita juga udah bisa dengar kok mas, ngapain diajarain lagi?” begitu teman saya pernah bilang. Mendengarkan kita anggap sebagai kebisaan yang otomatis kita miliki bahkan saat kita belum lahir kedunia.
Sebenarnya Allah sudah memberikan isyarat kepada kita melalui apa yang kita miliki. Allah menciptakan manusia dengan 2 telinga dan satu mulut karena kita diminta untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Telinga juga berbentuk terbuka sedangkan mulut tertutup, hal ini menunjukkan bahwa kita senantiasa membuka telinga untuk mendengar dan menahan diri menutup mulut untuk tidak banyak berbicara.
Tapi kenapa kita rasanya masih juga sulit untuk mendengarkan ya? Mungkin yang sering saya alami dan lakukan ini merupakan salah satu penyebabnya. Saat istri saya menyampaikan sesuatu dan kebetulan saya tahu penyebab dan cara mengatasinya, saya cenderung tidak sabar untuk segera memberikan jawaban. Bahkan pernah suatu kali saya menyela saat istri saya belum selesai berbicara. Alhasil, bukannya istri saya berterima kasih karena jawaban dan jalan keluar yang saya berikan, dia malah cemberut. Hal ini mungkin juga sering anda temui atau malah anda lakukan. Coba lihat perilaku kita pada saat rapat, peserta rapat yang sudah tahu permasalahan atau jalan keluar dari suatu masalah akan cenderung menimpali dengan cepat bahkan memotong pembicaraan pihak lain yang belum selesai.
Saya pernah bawa anak saya ke dokter spesialis anak di dekat rumah. Baru saja saya duduk dan mengatakan bahwa demam anak saya tinggi dan tidak turun-turun, sang dokter langsung menukas..”Oohh, ini pasti virus pak, memang lagi musim nih!”. Bagaimana dia bisa yakin kalau itu virus sedangkan saya hanya baru mengatakan satu gejala saja dari sakit anak saya, bagaimana kalau ternyata disebabkan oleh hal lain?. Dokter itu merespon cepat dengan menyatakan bahwa itu disebabkan virus karena banyak kejadian yang mirip dengan anak saya penyebabnya adalah virus. Pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki kadang membuat kita menjadi enggan mendengarkan sesuatu yang dinyatakan dan ditanyakan berulang.
Mendengarkan yang sebenar ”mendengarkan” menjadi sulit karena kita sering menganggap bahwa mendengarkan bisa dilakukan sambil lalu. Bawahan anda berbicara kepada anda mengenai permasalahan yang dialami dalam pekerjaan. Anda mendengarkan, tapi seringkali mata anda menatap tangan anda yang sedang asyik mengetik sms di ponsel untuk janjian makan siang dan supaya terkesan mendengarkan anda akan bersuara..”hmm.., ya..,..terus?...ya udah”. Bagaimana bawahan anda yakin kalau anda mendengarkan kalau mata anda lebih sering melihat ke sms daripada melihat mata mereka?
Mendengarkan dengan baik dapat meningkatkan hubungan antar manusia. Bahkan sebuah pepatah kuno mengatakan ”Bila seorang pria mendengarkan dengan seksama apapun yang dikatakan seorang wanita, wanita itu sudah setengah jatuh cinta kepada pria itu”. Mendengarkan dengan sepenuh hati merupakan ujud penghormatan dan menganggap penting lawan bicara.
Setiap orang tentu ingin suaranya didengar dan agar orang lain mau mendengarkan omongan kita, pertama kali yang harus kita lakukan adalah: belajar untuk mendengarkan.
Friday, August 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment