Friday, August 29, 2008

Pujian

Di dalam gerbong KRL AC Bekasi saat perjalanan pulang kantor, saya duduk dekat dengan sekumpulan ibu-ibu yang kalau dilihat dari barang bawaannya menunjukkan mereka pulang dari berbelanja. “Mbakyu jadi kelihatan tambah muda dan segar lho kalau pakai kerudung warna biru itu,” ujar salah seorang ibu. Dari cara dan tekanan suara ibu tersebut saya yakin kalau hal itu diucapkan dengan sungguh-sungguh. Si ibu yang berkerudung warna biru muda tadi tersipu-sipu sambil menyahut,” Ah, jeng ini ada-ada saja, masak sih? Salah lihat kaliii..”. “Mmm tumben muji, mesti ada apa-apanya tuuhh,” timpal seorang ibu gemuk dengan tas belanjaan paling banyak. Kemudian mereka serempak tertawa, entah siapa dan apa yang ditertawakan.

Saya yang sedari tadi (terpaksa) mendengarkan obrolan mereka menjadi berpikir dengan isi percakapan terakhir itu. Saya rasa anda semua juga sering mendengar obrolan seperti itu dan bahkan mungkin kita sering melakukannya juga. Tapi kalau dicermati percakapan itu ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seseorang yang dipuji semestinya akan merasa senang karena sesuatu yang baik tentang dirinya diketahui orang lain dan dinyatakan secara terbuka. Apalagi kalau pujian tersebut memang dilakukan dengan keikhlasan. Tapi yang terjadi kok malah bisa sebaliknya, si ibu tadi berbalik mempertanyakan pujian kepada dirinya itu dan terkesan seolah memberikan ”penyangkalan” dan malah ”menyalahkan” si pemberi pujian.

Voltaire, seorang pujangga besar, pernah mengatakan hal yang menarik tentang pujian. menurutnya "pujian adalah hal yang indah, pujian membuat yang terbaik pada diri orang lain menjadi bagian dari diri kita pula". Sayangnya, pujian adalah seperti barang langka dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita perhatikan, ketika dipuji, kebanyakan wajah orang kita bersemu merah dan merespon seperti salah seorang ibu di dalam kereta tadi atau malahan ada yang kalau dipuji dengan tulus malah membalas pujian dengan ketus "Mau menjilat saya dengan kata-kata pujian yaaa?", bayangkan betapa lemahnya penghargaan kita terhadap pujian, bahkan sebagai pihak penerima pujian pun kita masih sulit menerima.


Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati. Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pemimpin yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi oleh uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja. Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Saya ingat ketika masih kelas 3 SMA di Pontianak saya mendapat ranking 2 di kelas. Saya bangga sekali dengan prestasi tersebut karena saya adalah murid baru di sekolah itu. Tetapi ketika raport saya berikan kepada ayah saya, diluar harapan, Beliau tidak mengomentari prestasi, malah berkomentar mengenai ”kekurangan” saya, "Wah nilai pelajaran bahasanya cuma 7 ya Rif?". Prestasi menjadi juara 2 dikelas tidak diperhatikan.

Mungkin tujuan Ayah saya baik. Dan saya yakin bahwa Beliau sebenarnya ingin memberikan dorongan agar tak mudah puas dan mau terus maju, hanya saja, setiap orang juga membutuhkan pujian atas apa yang telah diraihnya. Sayangnya, kebiasaan bahwa kita tidak pernah dipuji lantas membuat kita seringkali menjadi sulit untuk memuji orang lain.

Untuk bisa memberikan pujian yang tulus tidaklah mudah, dibutuhkan kedewasaan secara emosi, karena pada saat memberikan pujian, sepintas lalu tampak bahwa gengsi kita harus diturunkan untuk mengakui kelebihan dan kehebatan orang lain. Seakan-akan kita harus merelakan sesuatu untuk bisa memberikan pujian yang membuat orang lain senang dan bahagia. Sayangnya, hal-hal tersebut di atas itulah yang sering kali menjadi alasan mengapa kita sulit memberikan pujian. Kita sering kali menunda pemberian pujian dan penghargaan kita dengan alasan-alasan konyol seperti “Nanti orangnya tambah GR dong!” atau “Nanti dia malah akan semakin sombong” atau juga “Entar dikira menjilat lagi!”. Dan karena itulah kita menunda pujian kita.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, akan membuat orang merasa di’manusia’kan.

No comments: