Tuesday, February 5, 2008

Miskin Mental

Suatu siang saya sedang berada dalam 1 mobil dengan atasan saya menuju ke Harmoni. Di sebuah jalan saya melihat beberapa anak muda tanggung berdiri di tengah median jalan dengan ember ditangan. Mereka meminta sumbangan dari mobil-mobil yang lewat. Dengan menggerak-gerakkan ember mereka menyorongkan ember itu ke jendela mobil-mobil berjalan pelan karena kondisi macet. Sayang saya tidak sempat membaca tulisan yang ada pada ember itu. Tidak banyak mobil yang membuka kaca dan memberikan sekedar lembaran ribuan atau recehan.

Kamu ingat apa yang kamu tulis dalam artikel kemarin mengenai sedekah Rif? Kalau yang minta-minta orangnya begitu kira-kira kamu akan kasih juga nggak?,” tanya atasan saya. ”Kalau dari prinsip bahwa kita lebih mampu dari mereka tentu kita akan berikan. Namun pemberian itu juga harus dilihat dari manfaat jangka panjangnya. Jangan sampai pemberian kita itu ternyata malah ”disalahgunakan” dan malah menciptakan orang-orang yang bukan hanya miskin secara materi tapi lebih bahaya lagi adalah kemiskinan mental”.

Mendengar penjelasan tersebut saya teringat dengan pengalaman teman saya yang menceritakan bagaimana saudara-saudaranya yang lain melihat dan mem-persepsikan dirinya. Teman saya ini adalah anak bungsu dari sebuah keluarga besar dan kebetulan juga dari segi materi masih lebih baik dari kakak-kakaknya yang lain. Setiap kali kakak-kakaknya ada masalah (seringnya berkaitan dengan materi) mereka biasanya menghubungi teman saya ini dan minta dibantu. Awalnya dengan senang hati mereka dia bantu. Namun lama-kelamaan menjadi keseringan dan bukannya kebaikan atau ucapan terima kasih yang diterimanya, malah cibiran dan sindiran apabila sekali waktu dia tidak dapat membantu.

Dari pengalaman teman saya tersebut, dia secara tidak sengaja telah menciptakan manusia-manusia yang seperti atasan saya sebut sebagai miskin secara mental karena saudara-saudaranya menjadi terbiasa hidup dari pemberian orang lain dan tidak tergerak untuk berusaha merubah nasibnya sendiri. Orang-orang seperti ini dengan tidak malu-malu akan selalu menengadahkan tangannya kepada orang lain mengharapkan pemberian.

Dalam sebuah buku agama yang pernah saya baca, dikisahkan oleh Anas bin Malik bahwa salah seorang laki-laki kaum Anshar mendatangi Rasulullah dan meminta sesuatu. Rasulullah bertanya padanya, "Apakah kamu tidak memiliki apa pun di rumahmu?". Ia menjawab, "Tentu kami punya, kain yang kami pakai sebagian dan sebagian lainnya kami jadikan alas, dan juga gelas besar tempat kami minum." Rasulullah berkata, "Bawalah keduanya padaku." Lalu kedua barang itu diberikan kepada Rasulullah dan beliau pun lalu melelangnya, "Siapakah yang ingin membeli kedua barang ini?" Seseorang berkata, "Aku akan membelinya dengan dua dirham”. Lalu Rasulullah menjualnya dan memberikan uangnya dan berkata, "Belilah dengan dirham pertama ini makanan untuk kau berikan kepada keluargamu dan dirham lain belilah kapak dan bawa kepadaku."

Setelah kapak dibeli, lalu Rasulullah memerintahkan, "Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu lagi hingga lima belas hari ke depan”. Laki-laki itu lalu mencari kayu bakar dan menjualnya. Tiba saatnya, ia pun mendatangi Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham di tangannya, yang sebagian ia belikan makanan. Melihatnya, Rasulullah pun berkata, "Ini lebih baik bagimu daripada sedekah yang memberikan noda hitam di wajahmu pada hari kiamat!" .

Pembelajaran yang tersirat adalah hendaknya kita sama-sama menyadari bahwa sikap peduli dan kasih sayang kepada sesama tidak cukup hanya diungkapkan secara emosional. Justru harus dilakukan proporsional dan rasional sebagaimana ditunjukkan Rasulullah dalam cerita tersebut. Dengan demikian, kita akan menciptakan suasana yang mendorong seseorang untuk produktif dan tidak semakin menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan mental yang dalam.

Pemberian memang selalu bermakna baik namun akan lebih mulia lagi apabila pemberian tersebut memang tepat untuk diberikan dan dapat mengangkat derajat si penerima dari kemiskinan mental. Perjalanan singkat siang itu ternyata memberi pelajaran baru yang berharga bagi saya dalam menumbuhkan kesadaran baru agar saya tidak menjadi manusia yang miskin secara mental.

No comments: