Sekali waktu saya menerima email dari salah seorang rekan pembaca setia LPB dari Solo, yang menanyakan pendapat saya mengenai Karma. Mungkin anda sering mendengar kata-kata Hukum Kharma tapi bagaimana memaknainya bisa jadi kita mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Prinsip Memberi-Menerima (dalam artikel lain disebut sebagai Prinsip Sebab-Akibat). Dari beberapa artikel yang saya baca, Prinsip Memberi - Menerima ini sejatinya adalah inti dari kehidupan itu sendiri. Banyak contoh-contoh dalam kehidupan saya maupun orang lain yang merupakan contoh baik dari prinsip ini. Seperti yang saya dengar dari pengalaman seorang sopir taksi yang saya temui suatu siang.
Sopir taksi Blue Bird yang saya temui ini berasal dari Pool Penggilingan dan sehari sebelumnya dia mengalami sebuah kejadian yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Dia membantu seorang ibu melahirkan di dalam taksinya. “Siang itu saya lihat seorang ibu yang sedang hamil tua menyetop taksi yang ada di depan saya, tapi ternyata taksi itu tidak mau berhenti. Karena saya ada dibelakang taksi tersebut saya berhenti,” ujarnya memulai cerita. “Ternyata belum sempat turun dari taksi, di depan Rumah Sakit Persahabatan ibu tersebut melahirkan dan saya ikut bantu semampu saya”.
“Waktu saya pulang ke Pool dan cerita kepada rekan sesama sopir mereka banyak yang bilang bahwa rejeki saya akan menjadi lebih baik nantinya. Mungkin ada hubungannya atau tidak, omongan teman-teman saya di Pool ternyata benar-benar saya alami hari ini. Nggak seperti biasanya, sejak dari saya keluar pool jam 9 pagi tadi rejeki saya tidak pernah terputus. Tadi sebelum bapak naik, saya baru menurunkan penumpang di depan Stasiun Kota. Sebelumnya di depan Pool saya sudah dapat penumpang ke arah Kelapa Gading. Apa ini ya bukti bahwa Tuhan itu pasti akan membalas amal kebaikan yang dilakukan umatnya dengan kebaikan yang berlipat?”
Saya takjub dengan pengalaman yang diceritakan oleh sopir taksi ini. Saya semakin mendapat pembuktian akan kebenaran Prinsip Memberi – Menerima dalam kehidupan. Apapun yang kita Berikan kepada kehidupan, sekali waktu kita pasti akan Menerima-nya kembali. Kalau kita banyak berikan kebaikan kepada orang lain, sekali waktu kita pasti akan menerima banyak kebaikan dari orang lain juga. Sebaliknya, apabila kita menyemai hal-hal negatif pada kehidupan maka bersiaplah sekali waktu kita akan menerima buah (akibat) dari tindakan tersebut.
Bukti Prinsip Memberi – Menerima ini terpampang secara jelas dalam kehidupan sekitar kita. Petani akan menyemai benih padi dan memberi pupuk yang baik karena mereka yakin alam kelak akan memberi-kan butir-butir beras untuk dimakan. Hutan yang dengan rajin ditebangi hingga gundul, sekali waktu akan memberikan bencana banjir dan longsor kepada masyarakat disekitarnya. Bila kita mendidik anak dengan berlimpahan kasih dan cinta, maka tidak heran apabila saat si anak beranjak besar dia akan melimpahi orang tua dan orang-orang sekitarnya dengan penuh rasa cinta dan sayang juga.
Dalam dunia layanan pun tidak lepas dari prinsip ini. Sebuah perusahaan yang dapat memberikan Layanan yang baik kepada pelanggannya akan mendapatkan lebih banyak lagi pelanggan dan pelanggan akan dengan senang hati melakukan bisnis dengan kita. Bagaimana dengan pribadi kita? Sederhana saja, kalau kita ingin menerima perlakuan baik dari orang lain, kita harus juga memperlakukan orang lain dengan baik. Jadi jangan buru-buru menyalahkan orang lain apabila mereka bersikap tidak menyenangkan terhadap anda karena siapa tahu anda sendiri yang menunjukkan sikap tidak menyenangkan pada mereka.
Prinsip ini bekerja atas dasar kesadaran atau niat yang mendasari sebuah tindakan dan tidak bekerja atas dasar “ketidaksengajaan”, misal: tidur, jalan, tidak sengaja menginjak kaki orang,dll. Tidak ada seseorang pun yang menentukan ‘penghargaan maupun hukuman’ untuk apa yang kita lakukan. Kita menciptakan sebab-sebab dari tindakan kita, dan kita jualah yang akan mengalami akibatnya. Kitalah yang bertanggung jawab atas kehendak dan tindakan kita sendiri.
Dalam sebuah tulisan disebutkan bahwa Buddha mengajarkan: “Sesuai dengan yang ditanam. itulah yang akan dipetik, Begitu juga dengan buah yang terima. Pembuat kebajikan akan mendapatkan hasil yang menyenangkan, Pembuat kejahatan akan memetik hasil yang menyedihkan. Jika kau tanam benih-benih kebajikan dengan baik, Maka kau akan menikmati buah-buah kebahagiaan”.
Wednesday, May 23, 2007
Mengendalikan Tindakan
Setiap pulang kantor saya selalu melewati jalan depan Stasiun Bekasi yang sangat padat terutama pada sore hari. Kepadatan itu semakin bertambah parah karena banyak pengendara sepeda motor yang tidak mau mengalah dan cenderung mengambil badan jalan yang berlawanan. Malam itu kembali saya temui keadaan yang sama. Di depan mobil saya banyak motor yang berjalan berlawanan arah. Tanpa peduli mereka tetap melaju perlahan mengambil jalur yang salah.
Ketika mobil saya jalankan perlahan tiba-tiba dari arah depan mendadak muncul sebuah sepeda motor yang berjalan kencang dengan mengambil jalur yang salah. Karena kaget, mobil saya rem mendadak sehingga motor tersebut dapat lewat disamping mobil saya dan serempetan tidak terjadi. Mobil lain dibelakang saya yang kebetulan melihat kejadian tersebut membunyikan klakson. Terus terang saat itu saya emosional sekali dan ingin rasanya turun dan memaki-maki pengendara motor tersebut.
Saat perjalanan saya lanjutkan kembali saya mencoba meredakan emosi yang tadinya muncul. Saya kemudian membayangkan kejadiannya apabila saat itu saya turun dan mendatangi pengendara motor tersebut untuk memberi pelajaran. Saya mungkin saja bisa puas dengan melakukan itu. Tapi apa manfaatnya buat saya? Apakah hidup saya bakal lebih bahagia? Istri saya bakal lebih cinta pada saya? Atau hanya kepuasan yang sifatnya hanya sementara saja?.
Saya teringat oleh sebuah artikel menarik yang dikirimkan oleh rekan saya di kantor mengenai prinsip 90/10. Stephen Covey sebagai penggagas prinsip ini mengatakan bahwa 10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi pada diri kita dan 90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi dan memberi respon. Kita tidak memiliki kontrol terhadap apa yang terjadi terhadap diri kita. Kita tidak dapat mencegah kemacetan di jalan, mobil yang tiba-tiba mogok, pesawat yang delay dan dalam kasus saya adalah motor yang mengambil arah yang berlawanan. Tapi yang 90% sungguh berbeda. Kita memiliki kemampuan untuk mengontrol yang 90%. Kita tidak dapat mengontrol motor yang berjalan berlawanan dan membahayakan, tapi kita dapat mengontrol bagaimana reaksi kita terhadap peristiwa tersebut.
Kalau dalam kasus saya diatas saya berkeras untuk turun dan memberi pelajaran kepada pengendara motor diatas akan sangat berbeda akhir ceritanya. Berikut kemungkinan-kemungkinannya : saya tiba di rumah akan jauh lebih lama, saya akan jadi tontonan banyak orang, lalu lintas bakal tambah macet karena saya berhenti, banyak orang yang jadi marah ke saya karena berhenti sembarangan, darah tinggi saya bisa kumat dll. Dan semua itu sebabnya hanya sederhana: karena reaksi saya terhadap sebuah kejadian.
Kita sungguh tidak memiliki kuasa terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita tapi kita punya kekuasaan besar untuk menentukan reaksi kita terhadapnya. Reaksi dipicu dari pikiran kita dan sekali keputusan diambil dan dilaksanakan tidak dapat kita tarik kembali. Dan apabila ternyata hasilnya tidak menyenangkan, hanya penyesalan yang akan terucap.
Stephen Covey menyebutkan beberapa cara bagaimana menerapkan prinsip 90/10 ini. Bila ada komentar negatif tentang anda, janganlah mudah terpengaruh dan langsung bereaksi. Biarkan komentar itu berhenti karena benar tidaknya komentar itu anda yang menentukan. Bila ada kejadian tidak enak menimpa anda, janganlah mengumbar emosi dengan langsung bereaksi. Pikirkan dampaknya apabila anda hendak melakukan sesuatu. Keputusan reaksi yang salah dapat menyebabkan banyak hal: anda tambah stress, kehilangan teman, anda dipersepsikan negatif oleh orang lain, sampai kehilangan pekerjaan dll.
Konsep 90/10 ini sangatlah sederhana namun kita sering alpa untuk menerapkannya dalam kehidupan kita. Bila anda ingin hidup anda lebih baik dan menyenangkan, tidak ada salahnya mulai hari ini mari kita sama-sama menerapkan prinsip 90/10 ini dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan kita!
Ketika mobil saya jalankan perlahan tiba-tiba dari arah depan mendadak muncul sebuah sepeda motor yang berjalan kencang dengan mengambil jalur yang salah. Karena kaget, mobil saya rem mendadak sehingga motor tersebut dapat lewat disamping mobil saya dan serempetan tidak terjadi. Mobil lain dibelakang saya yang kebetulan melihat kejadian tersebut membunyikan klakson. Terus terang saat itu saya emosional sekali dan ingin rasanya turun dan memaki-maki pengendara motor tersebut.
Saat perjalanan saya lanjutkan kembali saya mencoba meredakan emosi yang tadinya muncul. Saya kemudian membayangkan kejadiannya apabila saat itu saya turun dan mendatangi pengendara motor tersebut untuk memberi pelajaran. Saya mungkin saja bisa puas dengan melakukan itu. Tapi apa manfaatnya buat saya? Apakah hidup saya bakal lebih bahagia? Istri saya bakal lebih cinta pada saya? Atau hanya kepuasan yang sifatnya hanya sementara saja?.
Saya teringat oleh sebuah artikel menarik yang dikirimkan oleh rekan saya di kantor mengenai prinsip 90/10. Stephen Covey sebagai penggagas prinsip ini mengatakan bahwa 10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi pada diri kita dan 90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi dan memberi respon. Kita tidak memiliki kontrol terhadap apa yang terjadi terhadap diri kita. Kita tidak dapat mencegah kemacetan di jalan, mobil yang tiba-tiba mogok, pesawat yang delay dan dalam kasus saya adalah motor yang mengambil arah yang berlawanan. Tapi yang 90% sungguh berbeda. Kita memiliki kemampuan untuk mengontrol yang 90%. Kita tidak dapat mengontrol motor yang berjalan berlawanan dan membahayakan, tapi kita dapat mengontrol bagaimana reaksi kita terhadap peristiwa tersebut.
Kalau dalam kasus saya diatas saya berkeras untuk turun dan memberi pelajaran kepada pengendara motor diatas akan sangat berbeda akhir ceritanya. Berikut kemungkinan-kemungkinannya : saya tiba di rumah akan jauh lebih lama, saya akan jadi tontonan banyak orang, lalu lintas bakal tambah macet karena saya berhenti, banyak orang yang jadi marah ke saya karena berhenti sembarangan, darah tinggi saya bisa kumat dll. Dan semua itu sebabnya hanya sederhana: karena reaksi saya terhadap sebuah kejadian.
Kita sungguh tidak memiliki kuasa terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita tapi kita punya kekuasaan besar untuk menentukan reaksi kita terhadapnya. Reaksi dipicu dari pikiran kita dan sekali keputusan diambil dan dilaksanakan tidak dapat kita tarik kembali. Dan apabila ternyata hasilnya tidak menyenangkan, hanya penyesalan yang akan terucap.
Stephen Covey menyebutkan beberapa cara bagaimana menerapkan prinsip 90/10 ini. Bila ada komentar negatif tentang anda, janganlah mudah terpengaruh dan langsung bereaksi. Biarkan komentar itu berhenti karena benar tidaknya komentar itu anda yang menentukan. Bila ada kejadian tidak enak menimpa anda, janganlah mengumbar emosi dengan langsung bereaksi. Pikirkan dampaknya apabila anda hendak melakukan sesuatu. Keputusan reaksi yang salah dapat menyebabkan banyak hal: anda tambah stress, kehilangan teman, anda dipersepsikan negatif oleh orang lain, sampai kehilangan pekerjaan dll.
Konsep 90/10 ini sangatlah sederhana namun kita sering alpa untuk menerapkannya dalam kehidupan kita. Bila anda ingin hidup anda lebih baik dan menyenangkan, tidak ada salahnya mulai hari ini mari kita sama-sama menerapkan prinsip 90/10 ini dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan kita!
Monday, May 14, 2007
Pak Turyadi
Suatu malam beberapa bulan yang lalu, istri saya yang saat itu tengah hamil tua pulang menggunakan taksi Blue Bird dari kantornya di Pluit. Selama perjalanan Pak Turyadi sopir Blue Bird tersebut sangat sopan dalam berbicara dan sangat mengerti bahwa penumpangnya kali ini adalah seorang ibu hamil sehingga dia berhati-hati dalam mengemudi. Sesampainya di rumah, istri saya memberikan ongkos ditambah dengan tip sebesar Rp.90,000. Saya kebetulan yang menjemputnya di pintu pagar melihat Pak Turyadi membantu membukakan pintu agar istri saya tidak repot untuk keluar. Saya surprise dengan tindakan bapak tersebut dan saya mengucapkan banyak terima kasih karena telah mengantarkan istri saya. Pak Turyadi tersenyum kemudian kembali masuk ke mobil dan pergi.
20 menit kemudian saya dengar ada seseorang memencet bel pintu rumah dan saya lihat kembali Pak Turyadi tapi kali ini disertai dengan pembantu rumah sebelah. Karena bingung saya bertanya ada apa dan saya kira istri saya kurang dalam memberikan ongkos. Ternyata sebaliknya, Pak Turyadi berkata,” Maaf Pak saya mengganggu, saya mau mengembalikan uang ibu karena tadi ibu memberikan uang ongkos taksi kelebihan”. Kemudian saya tanyakan berapa istri saya membayar kepada sopir tersebut dan berapa kelebihannya.”Tadi ibu memberi ke saya Rp.450,000 sedangkan ongkosnya sekitar Rp.86,300, jadi pembayaran ibu kelebihan Rp.363,700 dan saya mau mengembalikan kelebihan uang tersebut”.
Saya seakan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Seseorang datang hendak mengembalikan uang yang kita sendiri tidak tahu bahwa uang yang kita berikan ternyata kelebihan. Ternyata istri saya keliru memberikan uang, pecahan Rp.10,000 dan Rp.100,000an akan kelihatan serupa dalam kegelapan dan saat itu istri saya memberikan 1 lembar Rp.50,000 dan 4 lembar Rp.100,000. Kemudian saya ajak pak Turyadi masuk untuk sekedar mengobrol. Dia bercerita sehabis mengantarkan istri saya dia berniat untuk langsung pulang ke pool di Kramat djati karena hari sudah cukup malam dan diperkirakan sudah cukup uang yang didapat malam itu. Kemudian dia menceritakan apa yang terjadi..
“Sambil beristirahat saya menghitung uang yang sudah saya dapat pada satu hari ini. Pada saat saya mengambil uang yang ada di saku baju (ongkos penumpang terakhir-istri saya) saya kaget kenapa bisa ada uang segini banyak dikantong (Rp.450,000). Kemudian saya ingat uang disaku baju itu adalah ongkos pemberian dari ibu. Saat itu juga langsung saya berniat untuk mengembalikan mumpung hari belum larut malam. Tapi masalahnya saya lupa arah rumah ibu, saya hanya ingat dibelokan saya lihat ada sekolah TK. Saat saya mondar-mandir itulah saya ditanya oleh pembantu rumah sebelah yang mungkin melihat saya mondar-mandir terus. Saat saya bilang saya mau cari rumah penumpang saya ibu hamil yang rumahnya sekitar sini dia langsung tahu dan membantu saya untuk sampai disini. Dan ternyata benar..”
Saya terus terang terharu dengan kejujuran dan ketulusan Pak Turyadi ini. Kemudian saya tanya kenapa bapak tidak ambil saja uang itu, karena toh kami juga tidak tahu kalau kami kebanyakan dalam membayar. Jawabnya,” Pak, saya yakin bahwa itu bukanlah rejeki saya. Hari ini rejeki saya sudah dicukupkan oleh Tuhan dan saya tidak mau mengambil yang bukan hak saya karena kalau saya ambil akan membebani saya dan pasti tidak membawa kebaikan”. Istri saya yang sedari tadi termangu mendengarkan mulai menitikkan airmata, sayapun terharu mendengar penjelasan itu.
Kami terharu sekaligus berterima kasih karena kami sedang ditunjukkan oleh yang Maha Tinggi bukti nyata bahwa kejujuran masihlah menjadi hal yang terbaik dan terindah yang dapat menjadikan hidup kita lebih bermakna. Pembelajaran yang langsung menghujam kedalam benak kami. Dalam kehidupan kota besar yang serba cepat, sibuk dan individualistis akan dapat membuat rohani kita menjadi kering dan kejadian seperti ini selaksa siraman rohani yang menyejukkan hati.
Pak Turyadi, lelaki kurus dengan sebagian besar rambut yang mulai memutih seolah dikirimkan oleh Yang Maha Agung untuk memberikan dan menunjukkan pelajaran yang sangat berharga tentang kejujuran. Kejujuran yang selayaknya menjadi prioritas utama untuk diterapkan dalam hidup dan pekerjaan kita.
20 menit kemudian saya dengar ada seseorang memencet bel pintu rumah dan saya lihat kembali Pak Turyadi tapi kali ini disertai dengan pembantu rumah sebelah. Karena bingung saya bertanya ada apa dan saya kira istri saya kurang dalam memberikan ongkos. Ternyata sebaliknya, Pak Turyadi berkata,” Maaf Pak saya mengganggu, saya mau mengembalikan uang ibu karena tadi ibu memberikan uang ongkos taksi kelebihan”. Kemudian saya tanyakan berapa istri saya membayar kepada sopir tersebut dan berapa kelebihannya.”Tadi ibu memberi ke saya Rp.450,000 sedangkan ongkosnya sekitar Rp.86,300, jadi pembayaran ibu kelebihan Rp.363,700 dan saya mau mengembalikan kelebihan uang tersebut”.
Saya seakan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Seseorang datang hendak mengembalikan uang yang kita sendiri tidak tahu bahwa uang yang kita berikan ternyata kelebihan. Ternyata istri saya keliru memberikan uang, pecahan Rp.10,000 dan Rp.100,000an akan kelihatan serupa dalam kegelapan dan saat itu istri saya memberikan 1 lembar Rp.50,000 dan 4 lembar Rp.100,000. Kemudian saya ajak pak Turyadi masuk untuk sekedar mengobrol. Dia bercerita sehabis mengantarkan istri saya dia berniat untuk langsung pulang ke pool di Kramat djati karena hari sudah cukup malam dan diperkirakan sudah cukup uang yang didapat malam itu. Kemudian dia menceritakan apa yang terjadi..
“Sambil beristirahat saya menghitung uang yang sudah saya dapat pada satu hari ini. Pada saat saya mengambil uang yang ada di saku baju (ongkos penumpang terakhir-istri saya) saya kaget kenapa bisa ada uang segini banyak dikantong (Rp.450,000). Kemudian saya ingat uang disaku baju itu adalah ongkos pemberian dari ibu. Saat itu juga langsung saya berniat untuk mengembalikan mumpung hari belum larut malam. Tapi masalahnya saya lupa arah rumah ibu, saya hanya ingat dibelokan saya lihat ada sekolah TK. Saat saya mondar-mandir itulah saya ditanya oleh pembantu rumah sebelah yang mungkin melihat saya mondar-mandir terus. Saat saya bilang saya mau cari rumah penumpang saya ibu hamil yang rumahnya sekitar sini dia langsung tahu dan membantu saya untuk sampai disini. Dan ternyata benar..”
Saya terus terang terharu dengan kejujuran dan ketulusan Pak Turyadi ini. Kemudian saya tanya kenapa bapak tidak ambil saja uang itu, karena toh kami juga tidak tahu kalau kami kebanyakan dalam membayar. Jawabnya,” Pak, saya yakin bahwa itu bukanlah rejeki saya. Hari ini rejeki saya sudah dicukupkan oleh Tuhan dan saya tidak mau mengambil yang bukan hak saya karena kalau saya ambil akan membebani saya dan pasti tidak membawa kebaikan”. Istri saya yang sedari tadi termangu mendengarkan mulai menitikkan airmata, sayapun terharu mendengar penjelasan itu.
Kami terharu sekaligus berterima kasih karena kami sedang ditunjukkan oleh yang Maha Tinggi bukti nyata bahwa kejujuran masihlah menjadi hal yang terbaik dan terindah yang dapat menjadikan hidup kita lebih bermakna. Pembelajaran yang langsung menghujam kedalam benak kami. Dalam kehidupan kota besar yang serba cepat, sibuk dan individualistis akan dapat membuat rohani kita menjadi kering dan kejadian seperti ini selaksa siraman rohani yang menyejukkan hati.
Pak Turyadi, lelaki kurus dengan sebagian besar rambut yang mulai memutih seolah dikirimkan oleh Yang Maha Agung untuk memberikan dan menunjukkan pelajaran yang sangat berharga tentang kejujuran. Kejujuran yang selayaknya menjadi prioritas utama untuk diterapkan dalam hidup dan pekerjaan kita.
Banyak Senyum Banyak Rejeki!
Senyum mempunyai segudang manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Diantara manfaat senyum adalah sebagai berikut :
Bukankah dunia akan menjadi indah dengan senyuman dan apa jadinya bila semua orang bermuka masam, dan selalu cemberut...?!
Maka tersenyumlah... niscaya dunia akan tersenyum bersama kita...!
Pembelajaran
Apabila anda ingin:
caranya mudah: SENYUMLAH!
1. Dari segi penampilan, Senyum dapat memperbaiki penampilan dan menambah daya tarik. Dengan senyuman, kita akan lebih dihargai dan disegani.
2. Dari segi kesehatan, orang yang murah senyum biasanya terjaga dari penyakit yang bernama stress. Jantungnya akan berdetak secara normal, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit ketegangan. Menurut pendapat para dokter, untuk menghasilkan sebuah senyuman hanya dibutuhkan 17 otot wajah. Berbeda dengan orang yang suka marah, hobinya cemberut, atau suka mengomel, biasanya kelihatan lebih tua. Memang tiga aktivitas terakhir membutuhkan 32 otot wajah inilah yang menjadi penyebabnya.
3. Dari segi sosial, senyuman merupakan suatu bentuk keakraban dalam pergaulan masyarakat. Karena memang ketika melihat seseorang yang murah senyum, akan terasa menyenangkan.
Senyuman memang sesuatu yang hebat dan dahsyat. Senyuman yang penuh dengan ketenangan akan mampu meluluhkan kemarahan seseorang. Banyak orang bilang bahwa senyum dapat memunculkan inner beauty seseorang , tentu apabila senyum itu dilakukan dengan tulus dari hati.
Bukankah dunia akan menjadi indah dengan senyuman dan apa jadinya bila semua orang bermuka masam, dan selalu cemberut...?!
Maka tersenyumlah... niscaya dunia akan tersenyum bersama kita...!
Pembelajaran
Apabila anda ingin:
1) Tampil lebih menarik dan cantik,
2) Dihargai dan disegani oleh orang lain,
3) menjadi lebih sehat setiap hari,
4) menjadi orang yang menyenangkan bagi lingkungannya;
caranya mudah: SENYUMLAH!
Wednesday, May 9, 2007
Perubahan
Sejak beberapa hari ini saya melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya, mengendarai motor ke Stasiun Bekasi untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api PATAS AC Bekasi-Kota yang sangat saya andalkan. Terakhir kali saya naik motor adalah waktu kuliah dulu dan ini berarti sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.
Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Hari pertama saat hendak menggunakan motor saya canggung, rasanya tidak nyaman dan sedikit tidak stabil. Bahkan kecanggungan semakin memuncak saat saya sudah berada di jalan. Berkali-kali suara klakson saya dengar dari mobil atau motor di belakang saya. Setelah saya sadari, ternyata saya memang berkendara agak ke tengah jalan sehingga menghalangi kendaraan lain yang akan melewati saya! Mungkin karena terbiasa mengendarai mobil sehingga saya cenderung berkendara agak ke tengah jalan.
Memang disadari atau tidak, kita selalu butuh waktu untuk bisa menyesuaikan dengan perubahan. Meskipun itu perubahan yang sifatnya tidak radikal tetap kita butuh waktu untuk bisa mencerna perubahan tersebut dan akhirnya larut dalam bentuk dan laku yang baru. Saya sering mendengar bahwa orang cenderung alergi atau takut terhadap perubahan. Namun berdasar pengalaman dan pengamatan saya, orang sebenarnya tidak takut akan perubahan bahkan manusia suka akan perubahan. Kita melakukan perubahan setiap hari misalnya, kita berganti baju, mengganti menu makanan dll. Saat berdiskusi dengan sobat saya dari Cabang Denpasar, kami menyepakati bahwa bukan perubahan itu yang ditakuti namun akibat dari perubahan itu yang kadang kita belum siap untuk menerimanya.
Kita akan takut akan perubahan karena kita merasa tidak pasti dengan akibat dari perubahan tersebut. Salah seorang sepupu perempuan saya yang hendak masuk dunia kerja merasa takut setiap kali harus ke kantor. Bukan karena dia tidak kompeten dengan tugasnya melainkan karena dia harus berdandan ala pegawai perempuan yang lain. Bukan masalah dandannya yang membuat dia gerah tapi kekhawatiran kalau-kalau dandanan yang dia buat malah membuat wajahnya yang tidak putih menjadi tambah nggak karuan. Walaupun saudara-saudaranya yang lain mengatakan bahwa riasan wajahnya cukup baik dan menarik, tetap saja dia merasa tidak nyaman.
Dari cerita yang saya dengar saat implementasi ICBS dulu banyak juga yang menganggap bahwa system yang baru tersebut malah merepotkan dan ketakutan akan salah melakukan input atau salah pencet. Bahkan ICBS diplesetkan sebagai “Ini Cara Bikin Susah”. Namun setelah diperlihatkan bahwa kedepannya akan banyak pekerjaan yang menjadi lebih mudah dan cepat, perlahan ketakutan mulai hilang dan berganti dengan semangat. Akhirnya ICBSpun berubah menjadi “Ini Cara Bikin Senang”.
Perubahan harus dilalui, itu pasti. Kita sebenarnya tidak perlu takut akan perubahan apabila kita mengerti benar apa tujuan perubahan itu dan lebih penting lagi kita mau ikut dalam perubahan itu. Dalam dunia kerja, ketakutan biasanya dikaitkan dengan beberapa hal seperti: berkurangnya pengaruh, hilangnya jabatan, dan kompetensi yang dimiliki dirasakan tidak mencukupi dll. Atasan saya suatu pagi berkata; ada 3 tipe orang menyikapi perubahan. Pertama, dia sadar kan adanya perubahan dan langsung ikut berubah. Kedua, dia tahu adanya perubahan namun dia tidak mau berubah dan, Ketiga, dia bahkan tidak tahu bahwa perubahan sedang terjadi!
Kita hanya perlu membuka mata kita lebih lebar, mengamati segala hal di sekitar kita dan menyadari akan perubahan yang telah, sedang dan akan terjadi dalam kehidupan kita. Kesadaran ini yang saya lupakan saat pulang kantor di hari pertama saya menggunakan sepeda motor. Begitu turun dari kereta api saya langsung menuju parkir mobil tempat biasa saya memarkirkan mobil saya setiap hari. Beberapa saat saya mulai cemas karena saya tetap tidak dapat menemukan mobil saya. Sampai akhirnya, petugas parkir yang sudah saya kenal dan sedari tadi memperhatikan saya bertanya,” Nyariin apa sih Pak?’. Waktu saya bilang sedang cari mobil saya dia sambil tersenyum geli menjawab,”Hari ini saya lihat bapak datang naik motor, walau dicariin terus sampai Lebaran juga mobilnya nggak bakal ketemu Pak!”.
Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Hari pertama saat hendak menggunakan motor saya canggung, rasanya tidak nyaman dan sedikit tidak stabil. Bahkan kecanggungan semakin memuncak saat saya sudah berada di jalan. Berkali-kali suara klakson saya dengar dari mobil atau motor di belakang saya. Setelah saya sadari, ternyata saya memang berkendara agak ke tengah jalan sehingga menghalangi kendaraan lain yang akan melewati saya! Mungkin karena terbiasa mengendarai mobil sehingga saya cenderung berkendara agak ke tengah jalan.
Memang disadari atau tidak, kita selalu butuh waktu untuk bisa menyesuaikan dengan perubahan. Meskipun itu perubahan yang sifatnya tidak radikal tetap kita butuh waktu untuk bisa mencerna perubahan tersebut dan akhirnya larut dalam bentuk dan laku yang baru. Saya sering mendengar bahwa orang cenderung alergi atau takut terhadap perubahan. Namun berdasar pengalaman dan pengamatan saya, orang sebenarnya tidak takut akan perubahan bahkan manusia suka akan perubahan. Kita melakukan perubahan setiap hari misalnya, kita berganti baju, mengganti menu makanan dll. Saat berdiskusi dengan sobat saya dari Cabang Denpasar, kami menyepakati bahwa bukan perubahan itu yang ditakuti namun akibat dari perubahan itu yang kadang kita belum siap untuk menerimanya.
Kita akan takut akan perubahan karena kita merasa tidak pasti dengan akibat dari perubahan tersebut. Salah seorang sepupu perempuan saya yang hendak masuk dunia kerja merasa takut setiap kali harus ke kantor. Bukan karena dia tidak kompeten dengan tugasnya melainkan karena dia harus berdandan ala pegawai perempuan yang lain. Bukan masalah dandannya yang membuat dia gerah tapi kekhawatiran kalau-kalau dandanan yang dia buat malah membuat wajahnya yang tidak putih menjadi tambah nggak karuan. Walaupun saudara-saudaranya yang lain mengatakan bahwa riasan wajahnya cukup baik dan menarik, tetap saja dia merasa tidak nyaman.
Dari cerita yang saya dengar saat implementasi ICBS dulu banyak juga yang menganggap bahwa system yang baru tersebut malah merepotkan dan ketakutan akan salah melakukan input atau salah pencet. Bahkan ICBS diplesetkan sebagai “Ini Cara Bikin Susah”. Namun setelah diperlihatkan bahwa kedepannya akan banyak pekerjaan yang menjadi lebih mudah dan cepat, perlahan ketakutan mulai hilang dan berganti dengan semangat. Akhirnya ICBSpun berubah menjadi “Ini Cara Bikin Senang”.
Perubahan harus dilalui, itu pasti. Kita sebenarnya tidak perlu takut akan perubahan apabila kita mengerti benar apa tujuan perubahan itu dan lebih penting lagi kita mau ikut dalam perubahan itu. Dalam dunia kerja, ketakutan biasanya dikaitkan dengan beberapa hal seperti: berkurangnya pengaruh, hilangnya jabatan, dan kompetensi yang dimiliki dirasakan tidak mencukupi dll. Atasan saya suatu pagi berkata; ada 3 tipe orang menyikapi perubahan. Pertama, dia sadar kan adanya perubahan dan langsung ikut berubah. Kedua, dia tahu adanya perubahan namun dia tidak mau berubah dan, Ketiga, dia bahkan tidak tahu bahwa perubahan sedang terjadi!
Kita hanya perlu membuka mata kita lebih lebar, mengamati segala hal di sekitar kita dan menyadari akan perubahan yang telah, sedang dan akan terjadi dalam kehidupan kita. Kesadaran ini yang saya lupakan saat pulang kantor di hari pertama saya menggunakan sepeda motor. Begitu turun dari kereta api saya langsung menuju parkir mobil tempat biasa saya memarkirkan mobil saya setiap hari. Beberapa saat saya mulai cemas karena saya tetap tidak dapat menemukan mobil saya. Sampai akhirnya, petugas parkir yang sudah saya kenal dan sedari tadi memperhatikan saya bertanya,” Nyariin apa sih Pak?’. Waktu saya bilang sedang cari mobil saya dia sambil tersenyum geli menjawab,”Hari ini saya lihat bapak datang naik motor, walau dicariin terus sampai Lebaran juga mobilnya nggak bakal ketemu Pak!”.
Subscribe to:
Posts (Atom)