Suatu siang pada hari Sabtu saya melihat beberapa anak kecil sedang berkumpul dan bermain sesuatu di teras rumah tetangga saya. Kelihatannya mereka asyik sekali dengan permainan itu. Ternyata mereka sedang bermain Ular Tangga, sebuahpermainan yang sudah lama tidak lagi saya lihat dimainkan oleh anak-anak jaman sekarang.
Ular tangga adalah permainan yang sederhana. Ada banyak kotak-kotak yang harus dilewati dan beberapa terdapat gambar Tangga dimana kita bisa naik ke tingkat diatasnya dan gambar Ular yang mengakibatkan kita bisa turun dari tempat semula. Perjalanan si pemain akan berakhir di sebuah kotak Finish yang terletak di tempat paling atas dari permainan itu. Untuk menjalani kotak-kotak sampai ke tujuan akhir itu kita harus mengocok sebuah dadu. Angka yang ditunjukan oleh dadu itulah yang akan menentukan berapa kotak yang akan kita lalui dan apakah Tangga atau Ular yang akan kita temui.
Kalau dicermati lagi, permainan Ular Tangga sesungguhnya merupakan penggambaran yang baik mengenai kehidupan kita. Kotak-kotak yang harus kita lalui menggambarkan tahapan kehidupan yang harus kita lewati. Kehidupan harus selalu bergerak maju begitu juga kehidupan. Kotak-kotak yang kita jalani dalam permainan Ular-Tangga adalah gambaran dari tahapan kehidupan yang kita lalui: masa kanak-kanak, sekolah, bekerja, kehidupan dengan sanak saudara, perkembangan spiritual dll.
Terkadang dalam perjalanan kehidupan itu kita mengalami cobaan dan musibah yang menyebabkan kita harus “turun” dari posisi yang sudah kita miliki. Musibah atau cobaan dalam permainan Ular-Tangga ditunjukkan dengan gambar Ular. Penurunan ini bisa berasal dari dalam diri sendiri ataupun berasal dari sesuatu yang berada di luar kendali kita. Misal, kondisi ekonomi memburuk atau sebuah kondisi perusahaan sedang kesulitan finansial menyebabkan perusahaan terpaksa memberikan pesangon kepada karyawannya. Sedangkan rasa putus asa, pesimis, ingkar terhadap perubahan, depresi adalah penurunan yang lebih berasal dari dalam diri sendiri.
Tangga dapat diibaratkan dengan prestasi, reward dan hal-hal lain yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan seseorang. Misal, seseorang mendapatkan promosi kenaikan jabatan dan pendapatan yang bertambah karena prestasi pekerjaannya yang meningkat secara signifikan. Seseorang yang mendapatkan reward yang besar karena membantu mendatangkan keuntungan kepada perusahaan atau seseorang yang berhasil menunaikan ibadah haji setelah menabung sekian lama. Peningkatan kualitas ini bisa saja yang terlihat oleh kasat mata (materi, jabatan) atau lebih bersifat pada kualitas bathin seseorang.
Kita hidup dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Kalau dalam permainan Ular Tangga anak-anak kita tahu dimana ujung perjalanan kita dan dimana saja letak Ular dan Tangga itu. Dalam Ular-Tangga kehidupan kita tidak tahu berapa banyak kotak yang harus kita lewati dan dimana saja kita akan menemui Ular ataupun Tangga. Suka atau tidak dengan permainan Ular Tangga Kehidupan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melempar dadu untuk bisa melangkah maju. Atau ia putuskan untuk terus saja ada di petak yang sekarang ditempati.
Untuk melangkah maju, seorang pemain Ular Tangga harus melempar dadu. Melempar dadu ini menggambarkan usaha kita untuk maju. Namun jumlah angka yang keluar sebagai dasar kita bergerak adalah mutlak milik Yang Maha Tahu. Suka tak suka, setiap orang harus mengocok dan melempar dadunya. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-lah yang mengatur. Kuasa kita hanyalah sebatas berusaha dengan ibarat lemparan dadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadunya kembali dan menyangka bahwa di kotak itulah nasib terakhirnya. Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah mau melempar dadu lagi dan kembali kedalam permainan Ular Tangga Kehidupan. Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.
Karena itu, setiap kali menemui ”Ular”, segeralah lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara sekian banyak lemparan (baca:usaha), kita pasti akan menemukan ”Tangga” yang akan mengangkat kita pada kehidupan yang lebih baik!
Thursday, June 21, 2007
Monday, June 18, 2007
Berikan Maaf Dengan Segera!
Suatu malam saya mendapat telepon dari saudara saya dari luar kota. Diawali dengan basa-basi menanyakan kabar dan keluarga kemudian sampai pada tujuan utama: curhat. Dia merasa kesal dengan perlakuan adik iparnya yang seolah-olah bertindak tidak adil terhadap bapak mertuanya (bapaknya saudara saya) yang tinggal satu rumah dengan si adik ipar itu. Dia kesal dengan perlakuan yang menurutnya tidak adil, lebih kesal lagi karena adiknya yang menjadi suami dari adik ipar tersebut ternyata tidak berbuat banyak untuk merubah sikap sang adik ipar.
“Sakit hati rasanya mas kalau dengar cerita dari saudara yang lain mengenai perlakuan adik iparku itu”, ujarnya dengan ketus. “Aku sepertinya susah untuk memaafkan perlakuan dia terhadap bapak selama ini”. Saya yang mendengar limpahan curhatnya hanya bisa merespon sewajarnya karena saya sendiri tidak tahu bagaimana permasalahan sebenarnya.
Memang banyak kejadian yang dengan mudah memancing emosi amarah kita. Kita bisa marah karena orang lain tidak berlaku seperti apa yang kita hendaki. Kita bisa marah karena dunia seolah berjalan tidak mengikuti apa mau kita. Kita marah pada tukang ojek yang dengan seenaknya mengambil jalan kita dll. Kadang kita juga marah karena orang lain yang berlaku apa adanya dan seolah (atau memang sebenarnya) tidak tahu bahwa kita benci kepadanya. Akibat kemarahan itu kita dengan sadar menimbun amarah dalam otak kita berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.
Otak ibarat tubuh itu sendiri, yang perlu dengan kontinu diberi asupan gizi yang sehat dan seimbang agar otak selalu bertumbuh dan bekerja dengan baik. Makanan bagi otak kita adalah apapun yang kita pikirkan: kebencian, amarah, syukur, positif, optimis dll. Benci, iri dan marah ibarat makanan “beracun” bagi pikiran kita karena dia sanggup mematikan rasa optimis, cinta kasih dan toleransi terhadap orang lain. Apabila “makanan beracun” ini selalu dikonsumsi dalam dosis yang tetap bahkan meningkat akan merusak dan mempengaruhi tubuh yang lain. Ia akan mempengaruhi peredaran darah, sistem immun, meningkatnya tekanan jantung dll.
Kemarahan yang terpendam disinyalir merupakan penyebab dari pelbagai penyakit seperti pusing, migrain, sakit leher, pinggang, insomnia, ketakutan dan yang lebih ekstrem lagi adalah timbulnya depresi. Kemarahan ini akan menetap karena kita sebagai manusia punya kecenderungan untuk senantiasa melakukan satu hal: ‘Enggan untuk meMAAFkan orang lain!’
Untuk mencapai kebahagiaan kehidupan kita perlu mengubah cara pandang kita karena sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan diluar. Jangan sampai sikap orang lain dapat mempengaruhi kebahagiaan kita. Untuk bisa melakukan ini kuncinya hanya satu yaitu berusaha untuk memaafkan. Memaafkan orang lain sebenarnya bukanlah untuk kebaikan orang tersebut, tetapi untuk kebaikan kita sendiri.
Mempraktekkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Perbuatan memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja yang rela memaafkan. Ia bagai melepaskan beban berat dari pundak kita. Memaafkan bukan hanya pada sikap orang lain tapi juga memaafkan pada masa lalu kita yang selama ini kita rasakan menghalangi perkembangan jiwa anda.
Percayalah selalu akan hukum keseimbangan alam, dimana berlaku: siapa yang menabur benih, suatu saat dia akan juga menuai. Kalau ada seseorang yang memperlakukan saya dengan tidak baik (menzalimi), saya malah merasa kasihan karena sebenarnya orang tersebut sebenarnya sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika dia akan juga dizalimi oleh orang lain, itulah hukum keseimbangan alam. Segeralah maafkan, Tuhan saja Maha Memaafkan dan Pengampun terhadap ciptaan-Nya.
Mahatma Gandhi pernah berujar: “Memaafkan bukan menunjukkan bahwa kita lemah, namun sebaliknya Memaafkan merupakan bukti bahwa kita adalah orang yang kuat”. Karena ternyata memaafkan orang lain dengan ikhlas dan tulus adalah suatu sikap yang sulit untuk dilakukan.
“Sakit hati rasanya mas kalau dengar cerita dari saudara yang lain mengenai perlakuan adik iparku itu”, ujarnya dengan ketus. “Aku sepertinya susah untuk memaafkan perlakuan dia terhadap bapak selama ini”. Saya yang mendengar limpahan curhatnya hanya bisa merespon sewajarnya karena saya sendiri tidak tahu bagaimana permasalahan sebenarnya.
Memang banyak kejadian yang dengan mudah memancing emosi amarah kita. Kita bisa marah karena orang lain tidak berlaku seperti apa yang kita hendaki. Kita bisa marah karena dunia seolah berjalan tidak mengikuti apa mau kita. Kita marah pada tukang ojek yang dengan seenaknya mengambil jalan kita dll. Kadang kita juga marah karena orang lain yang berlaku apa adanya dan seolah (atau memang sebenarnya) tidak tahu bahwa kita benci kepadanya. Akibat kemarahan itu kita dengan sadar menimbun amarah dalam otak kita berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.
Otak ibarat tubuh itu sendiri, yang perlu dengan kontinu diberi asupan gizi yang sehat dan seimbang agar otak selalu bertumbuh dan bekerja dengan baik. Makanan bagi otak kita adalah apapun yang kita pikirkan: kebencian, amarah, syukur, positif, optimis dll. Benci, iri dan marah ibarat makanan “beracun” bagi pikiran kita karena dia sanggup mematikan rasa optimis, cinta kasih dan toleransi terhadap orang lain. Apabila “makanan beracun” ini selalu dikonsumsi dalam dosis yang tetap bahkan meningkat akan merusak dan mempengaruhi tubuh yang lain. Ia akan mempengaruhi peredaran darah, sistem immun, meningkatnya tekanan jantung dll.
Kemarahan yang terpendam disinyalir merupakan penyebab dari pelbagai penyakit seperti pusing, migrain, sakit leher, pinggang, insomnia, ketakutan dan yang lebih ekstrem lagi adalah timbulnya depresi. Kemarahan ini akan menetap karena kita sebagai manusia punya kecenderungan untuk senantiasa melakukan satu hal: ‘Enggan untuk meMAAFkan orang lain!’
Untuk mencapai kebahagiaan kehidupan kita perlu mengubah cara pandang kita karena sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan diluar. Jangan sampai sikap orang lain dapat mempengaruhi kebahagiaan kita. Untuk bisa melakukan ini kuncinya hanya satu yaitu berusaha untuk memaafkan. Memaafkan orang lain sebenarnya bukanlah untuk kebaikan orang tersebut, tetapi untuk kebaikan kita sendiri.
Mempraktekkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Perbuatan memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja yang rela memaafkan. Ia bagai melepaskan beban berat dari pundak kita. Memaafkan bukan hanya pada sikap orang lain tapi juga memaafkan pada masa lalu kita yang selama ini kita rasakan menghalangi perkembangan jiwa anda.
Percayalah selalu akan hukum keseimbangan alam, dimana berlaku: siapa yang menabur benih, suatu saat dia akan juga menuai. Kalau ada seseorang yang memperlakukan saya dengan tidak baik (menzalimi), saya malah merasa kasihan karena sebenarnya orang tersebut sebenarnya sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika dia akan juga dizalimi oleh orang lain, itulah hukum keseimbangan alam. Segeralah maafkan, Tuhan saja Maha Memaafkan dan Pengampun terhadap ciptaan-Nya.
Mahatma Gandhi pernah berujar: “Memaafkan bukan menunjukkan bahwa kita lemah, namun sebaliknya Memaafkan merupakan bukti bahwa kita adalah orang yang kuat”. Karena ternyata memaafkan orang lain dengan ikhlas dan tulus adalah suatu sikap yang sulit untuk dilakukan.
Tuesday, June 5, 2007
Tujuan Bekerja
Suatu hari saya menerima telepon dari sobat lama saya sewaktu bekerja di sebuah kantor konsultan. Dia mengabarkan bahwa dia sudah mengundurkan diri dari posisi barunya yang cukup baik di sebuah Bank Swasta besar. Saya kaget mendengar kabar itu karena setahu saya dia bahkan belum melewati 1 tahun bekerja di tempat barunya.
Sewaktu saya tanya apakah keputusan mengundurkan diri itu terkait dengan besaran gaji dan tunjangan yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan atau posisi yang kurang tinggi, dia menjawab bukan. Keputusan ini diambil karena dia ingin bekerja sesuai dengan apa yang dia senangi dan cita-citakan sejak dulu: mengajar. Materi dan posisi yang tinggi tidaklah menarik lagi buat dia. Bagi dia kepuasan bekerja adalah dengan melakukan hobi sebagai sebuah pekerjaan, dan itu adalah mengajar.
Berbeda sekali dengan teman saya yang lain. Teman saya yang satu ini lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Otak cerdas, keinginan untuk selalu belajar akan hal baru dan semangat yang tinggi membuatnya dengan mudah mencapai posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Namun setiap kali dia bekerja tidaklah lebih dari 2 tahun. Beberapa kali saya dengar dia pindah tempat kerja yang berlainan industri dan terakhir saat kami bertemu dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta besar. “Gua belum tahu apa yang cocok buat gua, dan seringnya gua pindah kerja adalah untuk mencari yang cocok dan juga buat nyari duit lebih banyak,” ungkapnya suatu saat. Entah mana yang lebih utama: cari kecocokan dalam bekerja atau cari uang lebih banyak.
Banyak orang mengamini bahwa bekerja adalah sebagian wujud dari ibadah kepada Tuhan. Dan sadari atau tidak saat kita memutuskan untuk bekerja (apapun pekerjaan itu), sejatinya kita juga sudah membuat “perjanjian” dengan Tuhan bahwa kita melakukan pekerjaan ini semata karena juga sebagai ibadah kepada-Nya. Jadi saat kita menandatangani perjanjian dengan kantor baru kita sebagai seorang pegawai baru, secara paralel imajiner kita juga sebenarnya sudah menandatangani “perjanjian” yang sama dengan Sang Pencipta. Kalau dengan kantor perjanjian itu lebih bermakna pada hal-hal fisik (kehadiran, prestasi, hasil dll), sedangkan perjanjian dengan Tuhan lebih bermakna spiritual-ibadah.
Dalam setiap beribadah kita selalu dituntut untuk bisa khusyuk, sepenuh hati dan menampilkan yang terbaik dari diri kita. Karena Bekerja itu juga adalah Ibadah, maka tuntutannya pun akan sama. Bekerja dengan lebih khusyuk (konsentrasi), sepenuh hati dan berusaha selalu memberikan yang terbaik dalam pekerjaan kita. Kalau kita berlaku sebaliknya; bekerja asal-asalan, menganggap bekerja sebagai beban, tidak sepenuh hati, berlaku curang berarti sama juga dengan tidak melakukan ibadah dengan baik. Berarti juga kita seperti tidak menghargai Tuhan sebagai Sang Pencipta kehidupan.
Kalau kita bekerja dengan sungguh-sungguh, orientasi selalu pada hal-hal terbaik yang bisa kita berikan pada pekerjaan kita, akan memberikan manfaat pada banyak hal. Prestasi kita bagus di kantor, kita akan diganjar dengan penghargaan materi yang baik, kita akan menjadi lebih percaya diri dalam bekerja dan selain itu Yang Maha Adil juga akan melimpahi kita dengan pahala sebagai tabungan kebaikan untuk kehidupan kita nanti. Rekan saya dari Compliance pernah menulis sesuatu yang menarik: ‘bekerja dengan sepenuh hati tidak saja akan membuat hidup kita menjadi lebih “hidup” tapi juga memberi kesempatan bagi jiwa untuk selalu tumbuh’.
Saya kembali melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya dulu berkeinginan untuk menjadi seniman lukis. Namun karena kurang direstui oleh orang tua akhirnya saya menjadi arsitek. Dan sekarang saya malah bekerja di perbankan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia arsitektur. Selama rentang 10 tahun masa bekerja saya banyak belajar mengenai hakekat bekerja. Saya tidak pernah tahu apa pekerjaan yang cocok dengan pribadi saya. Sesuatu yang saya tahu pasti adalah saya akan selalu berusaha menyukai dan melakukan apapun pekerjaan saya dengan sepenuh hati serta berusaha selalu memberikan yang terbaik. Karena apapun yang saya lakukan untuk hidup selama saya bekerja sejatinya saya juga sedang beribadah.
Sewaktu saya tanya apakah keputusan mengundurkan diri itu terkait dengan besaran gaji dan tunjangan yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan atau posisi yang kurang tinggi, dia menjawab bukan. Keputusan ini diambil karena dia ingin bekerja sesuai dengan apa yang dia senangi dan cita-citakan sejak dulu: mengajar. Materi dan posisi yang tinggi tidaklah menarik lagi buat dia. Bagi dia kepuasan bekerja adalah dengan melakukan hobi sebagai sebuah pekerjaan, dan itu adalah mengajar.
Berbeda sekali dengan teman saya yang lain. Teman saya yang satu ini lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Otak cerdas, keinginan untuk selalu belajar akan hal baru dan semangat yang tinggi membuatnya dengan mudah mencapai posisi yang tinggi di sebuah perusahaan. Namun setiap kali dia bekerja tidaklah lebih dari 2 tahun. Beberapa kali saya dengar dia pindah tempat kerja yang berlainan industri dan terakhir saat kami bertemu dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta besar. “Gua belum tahu apa yang cocok buat gua, dan seringnya gua pindah kerja adalah untuk mencari yang cocok dan juga buat nyari duit lebih banyak,” ungkapnya suatu saat. Entah mana yang lebih utama: cari kecocokan dalam bekerja atau cari uang lebih banyak.
Banyak orang mengamini bahwa bekerja adalah sebagian wujud dari ibadah kepada Tuhan. Dan sadari atau tidak saat kita memutuskan untuk bekerja (apapun pekerjaan itu), sejatinya kita juga sudah membuat “perjanjian” dengan Tuhan bahwa kita melakukan pekerjaan ini semata karena juga sebagai ibadah kepada-Nya. Jadi saat kita menandatangani perjanjian dengan kantor baru kita sebagai seorang pegawai baru, secara paralel imajiner kita juga sebenarnya sudah menandatangani “perjanjian” yang sama dengan Sang Pencipta. Kalau dengan kantor perjanjian itu lebih bermakna pada hal-hal fisik (kehadiran, prestasi, hasil dll), sedangkan perjanjian dengan Tuhan lebih bermakna spiritual-ibadah.
Dalam setiap beribadah kita selalu dituntut untuk bisa khusyuk, sepenuh hati dan menampilkan yang terbaik dari diri kita. Karena Bekerja itu juga adalah Ibadah, maka tuntutannya pun akan sama. Bekerja dengan lebih khusyuk (konsentrasi), sepenuh hati dan berusaha selalu memberikan yang terbaik dalam pekerjaan kita. Kalau kita berlaku sebaliknya; bekerja asal-asalan, menganggap bekerja sebagai beban, tidak sepenuh hati, berlaku curang berarti sama juga dengan tidak melakukan ibadah dengan baik. Berarti juga kita seperti tidak menghargai Tuhan sebagai Sang Pencipta kehidupan.
Kalau kita bekerja dengan sungguh-sungguh, orientasi selalu pada hal-hal terbaik yang bisa kita berikan pada pekerjaan kita, akan memberikan manfaat pada banyak hal. Prestasi kita bagus di kantor, kita akan diganjar dengan penghargaan materi yang baik, kita akan menjadi lebih percaya diri dalam bekerja dan selain itu Yang Maha Adil juga akan melimpahi kita dengan pahala sebagai tabungan kebaikan untuk kehidupan kita nanti. Rekan saya dari Compliance pernah menulis sesuatu yang menarik: ‘bekerja dengan sepenuh hati tidak saja akan membuat hidup kita menjadi lebih “hidup” tapi juga memberi kesempatan bagi jiwa untuk selalu tumbuh’.
Saya kembali melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya dulu berkeinginan untuk menjadi seniman lukis. Namun karena kurang direstui oleh orang tua akhirnya saya menjadi arsitek. Dan sekarang saya malah bekerja di perbankan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia arsitektur. Selama rentang 10 tahun masa bekerja saya banyak belajar mengenai hakekat bekerja. Saya tidak pernah tahu apa pekerjaan yang cocok dengan pribadi saya. Sesuatu yang saya tahu pasti adalah saya akan selalu berusaha menyukai dan melakukan apapun pekerjaan saya dengan sepenuh hati serta berusaha selalu memberikan yang terbaik. Karena apapun yang saya lakukan untuk hidup selama saya bekerja sejatinya saya juga sedang beribadah.
Asah Kapak Anda!
Sebuah artikel menarik masuk dalam email saya minggu lalu dari sobat saya di Kantor Pusat. Tulisannya bercerita mengenai seorang penebang kayu.
Seorang anak penebang kayu yang beranjak besar mengutarakan niatnya untuk membantu ayahnya dalam menebang kayu di hutan. Si Ayah menyambut gembira keinginan itu dan memberikan kapak kesayangannya kepada sang anak. Maka mulailah sang anak bangun pagi, pergi bekerja selama 10 jam dan berhasil menebang 10 pohon setiap hari.
Waktu berlalu dan musim berganti, sang anak tetap konsisten dengan pekerjaan dan kebiasaannya. Selalu bangun pagi kemudian pergi ke hutan selama 10 jam setiap hari. Namun anehnya seiring berjalannya waktu, pohon yang ditebangnya semakin berkurang dan berkurang dari waktu ke waktu. Awalnya dia dapat menebang 10 pohon dalam waktu 10 jam, tetapi jumlah tersebut semakin berkurang menjadi 9, 8, 7 dan saat ini dia hanya bisa menebang 5 pohon dalam waktu 10 jam. Ayahnya pun menjadi heran dengan keadaan ini dan menanyakan kepada anaknya.
Anaknya mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari dirinya, dia tetap bangun pagi seperti biasa, bekerja selama 10 jam seperti hari-hari lainnya dan tetap bersemangat dalam bekerja. Saat ditanyakan apakah pernah sesekali mengasah kapak yang digunakan agar selalu tajam, barulah si anak mengerti. Selama ini dia bekerja dengan giat dan bersemangat namun dia lupa untuk mengasah kapak yang digunakan.
Cerita diatas mengingatkan saya akan buku Stephen Covey yang terkenal ”7 Habits of Effective People” terutama Habit ke 7 ”Sharpen the Saw” (asahlah gergaji anda). Dalam kalimat itu tersirat makna bahwa ada saatnya manusia perlu berhenti sejenak untuk instropeksi, belajar, berlatih, evaluasi, penyegaran, mengambil jarak dari lingkungan untuk ”mengisi baterai”-nya kembali.
Masih jelas dalam ingatan saya waktu ayah saya ikut kursus bahasa Inggris sewaktu beliau masih bekerja. Yang membuat saya kagum sekaligus geli adalah karena beliau mengambil kursus dari taraf basic yang rata-rata pesertanya adalah anak SD dan SMP sedangkan ayah saya waktu itu sudah berumur 50 tahun. Waktu saya tanyakan apa tidak merasa malu bergabung dengan anak-anak dalam satu kelas, beliau malah menasehati. ”Bagi Bapak belajar itu bisa kapan saja dan tidak perlu malu. Kita harus malu kalau kita melakukan kesalahan dan kecurangan. Lagipula bapak sekarang malah senang punya banyak teman walau mereka anak-anak”, jawab beliau saat itu. Akhirnya setelah 2 tahun beliau dapat menyelesaikan kursus itu sampai tingkat advance dengan baik.
Semangat belajar beliau yang tinggi itu saya praktekkan pada diri saya. Pada bulan Ramadhan sebelas tahun yang lalu, saya ingin sekali ikut pesantren Ramadhan yang diadakan oleh sebuah Pondok Pesantren di Yogya. Namun karena terlambat mendaftar ternyata kelas dewasa sudah penuh dan hanya tinggal kelas anak-anak yang masih bisa diikuti (SD dan SMP). Karena keinginan belajar sudah begitu kuat akhirnya saya setuju untuk ikut kelas anak-anak. Petugas yang saat itu melayani agaknya ragu dengan keinginan saya, sampai akhirnya saya yakinkan bahwa saya siap.
Pesantren Ramadhan itu dilaksanakan selama 3 minggu dan semua peserta menginap di pesantren tersebut. Hampir semua peserta adalah anak-anak SD dan SMP dan hanya saya yang kuliah S-2. Saat pertama kali masuk banyak yang menganggap bahwa saya adalah guru mereka dan mereka tidak percaya waktu saya katakan bahwa sayapun murid seperti mereka. Saya merasa tidak terganggu dengan usia teman-teman baru saya saat itu karena fokus saya adalah saya mau belajar dan mengasah pemahaman saya mengenai agama.
Dalam kehidupan, kita seringkali terlalu bersemangat dan larut dalam rutinitas kita sehari-hari dan lupa bahwa ada hal-hal penting yang harus terus kita asah agar kita tidak menjadi tumpul.
Kita perlu memberi kesempatan kepada diri untuk dapat mengasah ”kapak” kita agar selalu tajam. Kita perlu mengasah diri dengan hal-hal baru agar kita dapat selalu siap akan tantangan yang akan kita jelang di depan. Asahlah diri anda dengan kemahiran dan pengetahuan baru agar anda dapat bekerja lebih baik, asahlah mata bathin dan jiwa anda agar anda bisa menjadi manusia yang lebih bijaksana.
Seorang anak penebang kayu yang beranjak besar mengutarakan niatnya untuk membantu ayahnya dalam menebang kayu di hutan. Si Ayah menyambut gembira keinginan itu dan memberikan kapak kesayangannya kepada sang anak. Maka mulailah sang anak bangun pagi, pergi bekerja selama 10 jam dan berhasil menebang 10 pohon setiap hari.
Waktu berlalu dan musim berganti, sang anak tetap konsisten dengan pekerjaan dan kebiasaannya. Selalu bangun pagi kemudian pergi ke hutan selama 10 jam setiap hari. Namun anehnya seiring berjalannya waktu, pohon yang ditebangnya semakin berkurang dan berkurang dari waktu ke waktu. Awalnya dia dapat menebang 10 pohon dalam waktu 10 jam, tetapi jumlah tersebut semakin berkurang menjadi 9, 8, 7 dan saat ini dia hanya bisa menebang 5 pohon dalam waktu 10 jam. Ayahnya pun menjadi heran dengan keadaan ini dan menanyakan kepada anaknya.
Anaknya mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari dirinya, dia tetap bangun pagi seperti biasa, bekerja selama 10 jam seperti hari-hari lainnya dan tetap bersemangat dalam bekerja. Saat ditanyakan apakah pernah sesekali mengasah kapak yang digunakan agar selalu tajam, barulah si anak mengerti. Selama ini dia bekerja dengan giat dan bersemangat namun dia lupa untuk mengasah kapak yang digunakan.
Cerita diatas mengingatkan saya akan buku Stephen Covey yang terkenal ”7 Habits of Effective People” terutama Habit ke 7 ”Sharpen the Saw” (asahlah gergaji anda). Dalam kalimat itu tersirat makna bahwa ada saatnya manusia perlu berhenti sejenak untuk instropeksi, belajar, berlatih, evaluasi, penyegaran, mengambil jarak dari lingkungan untuk ”mengisi baterai”-nya kembali.
Masih jelas dalam ingatan saya waktu ayah saya ikut kursus bahasa Inggris sewaktu beliau masih bekerja. Yang membuat saya kagum sekaligus geli adalah karena beliau mengambil kursus dari taraf basic yang rata-rata pesertanya adalah anak SD dan SMP sedangkan ayah saya waktu itu sudah berumur 50 tahun. Waktu saya tanyakan apa tidak merasa malu bergabung dengan anak-anak dalam satu kelas, beliau malah menasehati. ”Bagi Bapak belajar itu bisa kapan saja dan tidak perlu malu. Kita harus malu kalau kita melakukan kesalahan dan kecurangan. Lagipula bapak sekarang malah senang punya banyak teman walau mereka anak-anak”, jawab beliau saat itu. Akhirnya setelah 2 tahun beliau dapat menyelesaikan kursus itu sampai tingkat advance dengan baik.
Semangat belajar beliau yang tinggi itu saya praktekkan pada diri saya. Pada bulan Ramadhan sebelas tahun yang lalu, saya ingin sekali ikut pesantren Ramadhan yang diadakan oleh sebuah Pondok Pesantren di Yogya. Namun karena terlambat mendaftar ternyata kelas dewasa sudah penuh dan hanya tinggal kelas anak-anak yang masih bisa diikuti (SD dan SMP). Karena keinginan belajar sudah begitu kuat akhirnya saya setuju untuk ikut kelas anak-anak. Petugas yang saat itu melayani agaknya ragu dengan keinginan saya, sampai akhirnya saya yakinkan bahwa saya siap.
Pesantren Ramadhan itu dilaksanakan selama 3 minggu dan semua peserta menginap di pesantren tersebut. Hampir semua peserta adalah anak-anak SD dan SMP dan hanya saya yang kuliah S-2. Saat pertama kali masuk banyak yang menganggap bahwa saya adalah guru mereka dan mereka tidak percaya waktu saya katakan bahwa sayapun murid seperti mereka. Saya merasa tidak terganggu dengan usia teman-teman baru saya saat itu karena fokus saya adalah saya mau belajar dan mengasah pemahaman saya mengenai agama.
Dalam kehidupan, kita seringkali terlalu bersemangat dan larut dalam rutinitas kita sehari-hari dan lupa bahwa ada hal-hal penting yang harus terus kita asah agar kita tidak menjadi tumpul.
Kita perlu memberi kesempatan kepada diri untuk dapat mengasah ”kapak” kita agar selalu tajam. Kita perlu mengasah diri dengan hal-hal baru agar kita dapat selalu siap akan tantangan yang akan kita jelang di depan. Asahlah diri anda dengan kemahiran dan pengetahuan baru agar anda dapat bekerja lebih baik, asahlah mata bathin dan jiwa anda agar anda bisa menjadi manusia yang lebih bijaksana.
Subscribe to:
Posts (Atom)