Suatu hari saya berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman lama semasa kuliah di Yogya. Masing-masing sudah memiliki pekerjaan yang baik dan 3 diantaranya sudah berkeluarga. Hanya satu orang teman saya Andre, yang ternyata sampai saat ini masih melajang. Kami temannya yang lain sempat tidak percaya dengan status melajangnya tersebut karena setahu kami Andre sangatlah “gaul” dan memiliki banyak teman wanita.
“Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.
“Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.
“Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.
Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.
Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.
Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.
Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.
Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:
“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai, setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”
Thursday, September 13, 2007
Wednesday, September 12, 2007
Sabar
Salah satu hal yang paling mengganggu setiap kali saya pulang kantor dengan menggunakan KRL Patas Bekasi adalah kedatangannya yang selalu tidak pasti. Kalau suatu hari KRL tersebut datang dan berangkat tepat waktu, akan banyak penggemar setia KRL tersebut menggumamkan satu kalimat: “hmm..tumben tepat”.
Sore itu kembali (seperti biasa) kereta favorite saya tersebut terlambat datang. Istri saya yang sejak hamil selalu pulang bareng saya naik kereta mulai gelisah. Berkali-kali terdengar keluhnya: “sampai dimana sih kereta-nya, kok lama banget?”. Saya yang berulangkali mendapat keluhan seperti itu menjadi terpengaruh apalagi saya juga sebenarnya ada janji untuk bertemu dengan teman saya di rumah. Untuk memastikan waktu kedatangan, beberapa kali saya tanyakan posisi KRL ke bagian informasi perjalanan kereta. Semakin lama menunggu dalam ketidak pastian, saya menjadi semakin gelisah.
Kejadian yang saya alami diatas menunjukkan sebuah ketidaksabaran yang berwujud. Kesabaran merupakan sebuah keadaan dimana badan dan pikiran kita berada di satu tempat. Sewaktu saya tidak sabar dalam menunggu kereta, badan saya ada di stasiun namun pikiran saya sudah ada di rumah. Karena tidak menyatu-nya 2 hal ini dapat menyebabkan kegelisahan dan kehilangan kesabaran. Mungkin akan beda hasilnya apabila saat itu saya lebih tenang dengan menikmati semua yang saya lihat dan alami di stasiun itu dan sambil menunggu kereta datang saya bisa beritahu teman saya untuk mengatur jadwal pertemuan kembali.
Selama ini Sabar sering diidentikkan bersedia dalam posisi menderita, mengalah dan seterusnya. Kalau budhe saya selalu bilang “yo wis sing sabar wae” sambil mengurut dada. Sewaktu rekan kerja saya putus hubungan dengan tunangannya, rekan kerja yang lain datang sambil berkata,”Ya sudah Jeng, sabar aja dengan cobaan ini. Toh laki-laki bukan dia ajaaa..”. Atau sewaktu saudara saya diperlakukan tidak menyenangkan oleh iparnya, saudara yang lain berkata,” Sabar aja, nanti biar Tuhan yang akan membalas perbuatannya”.
Kalimat-kalimat diatas seringkali kita dengar dan mungkin juga sering kita ucapkan. Semua kalimat itu bukan kalimat yang salah, namun memaknai-nya seringkali tidak benar. Seakan-akan sabar adalah sikap yang harus ditunjukkan ketika penderitaan datang. Karena itu tidak heran kalau budhe saya selalu mengurut dada sebagai pelengkap kata sabar yang diucapkan. Ekspresi dan pemahaman seperti inilah yang kian lama kian mengaburkan makna Sabar yang sebenarnya. Padahal ke-Sabar-an adalah salah satu rahasia terpenting untuk menikmati hidup. Kalau kita sabar kita akan benar-benar bisa menikmati setiap detik hidup kita baik dalam kesukaan maupun kedukaan.
Menyatukan badan dan pikiran adalah makna sejati sebuah ke-Sabar-an. Faktor penentu lain adalah Kesadaran. Sadarilah sepenuhnya apa yang sedang kita alami. Rasakanlah saat anda sedang menunggu kereta atau bis yang terlambat. Rasakanlah ketika anda sedang menghadapi nasabah, saat anda berbicara dengan mereka dan membantu mereka memproses transaksi. Nikmatilah dengan sepenuh hati musik yang anda sukai dan nikmatilah wajah anak anda ketika mereka tidur. Nikmatilah setiap apapun yang anda lakukan. Dengan Kesadaran dan menyatunya badan serta pikiran akan menumbuhkan kesabaran dalam pikiran kita dan selain itu kita juga akan merasa lebih rileks.
Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua perlu melalui proses.
Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalanan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua tujuan perlu melalui berbagai proses.
Karena itu, marilah kita lapangkan dada untuk dapat lebih bersabar. Janganlah mengurut dada karena kesabaran adalah sebuah kenikmatan dan bukannya penderitaan. Apapun profesi dan pekerjaan anda, keberhasilan merupakan juga buah dari kesabaran. Saya selalu ingat guru agama saya dulu selalu bilang bahwa:
“Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang Sabar”.
Sore itu kembali (seperti biasa) kereta favorite saya tersebut terlambat datang. Istri saya yang sejak hamil selalu pulang bareng saya naik kereta mulai gelisah. Berkali-kali terdengar keluhnya: “sampai dimana sih kereta-nya, kok lama banget?”. Saya yang berulangkali mendapat keluhan seperti itu menjadi terpengaruh apalagi saya juga sebenarnya ada janji untuk bertemu dengan teman saya di rumah. Untuk memastikan waktu kedatangan, beberapa kali saya tanyakan posisi KRL ke bagian informasi perjalanan kereta. Semakin lama menunggu dalam ketidak pastian, saya menjadi semakin gelisah.
Kejadian yang saya alami diatas menunjukkan sebuah ketidaksabaran yang berwujud. Kesabaran merupakan sebuah keadaan dimana badan dan pikiran kita berada di satu tempat. Sewaktu saya tidak sabar dalam menunggu kereta, badan saya ada di stasiun namun pikiran saya sudah ada di rumah. Karena tidak menyatu-nya 2 hal ini dapat menyebabkan kegelisahan dan kehilangan kesabaran. Mungkin akan beda hasilnya apabila saat itu saya lebih tenang dengan menikmati semua yang saya lihat dan alami di stasiun itu dan sambil menunggu kereta datang saya bisa beritahu teman saya untuk mengatur jadwal pertemuan kembali.
Selama ini Sabar sering diidentikkan bersedia dalam posisi menderita, mengalah dan seterusnya. Kalau budhe saya selalu bilang “yo wis sing sabar wae” sambil mengurut dada. Sewaktu rekan kerja saya putus hubungan dengan tunangannya, rekan kerja yang lain datang sambil berkata,”Ya sudah Jeng, sabar aja dengan cobaan ini. Toh laki-laki bukan dia ajaaa..”. Atau sewaktu saudara saya diperlakukan tidak menyenangkan oleh iparnya, saudara yang lain berkata,” Sabar aja, nanti biar Tuhan yang akan membalas perbuatannya”.
Kalimat-kalimat diatas seringkali kita dengar dan mungkin juga sering kita ucapkan. Semua kalimat itu bukan kalimat yang salah, namun memaknai-nya seringkali tidak benar. Seakan-akan sabar adalah sikap yang harus ditunjukkan ketika penderitaan datang. Karena itu tidak heran kalau budhe saya selalu mengurut dada sebagai pelengkap kata sabar yang diucapkan. Ekspresi dan pemahaman seperti inilah yang kian lama kian mengaburkan makna Sabar yang sebenarnya. Padahal ke-Sabar-an adalah salah satu rahasia terpenting untuk menikmati hidup. Kalau kita sabar kita akan benar-benar bisa menikmati setiap detik hidup kita baik dalam kesukaan maupun kedukaan.
Menyatukan badan dan pikiran adalah makna sejati sebuah ke-Sabar-an. Faktor penentu lain adalah Kesadaran. Sadarilah sepenuhnya apa yang sedang kita alami. Rasakanlah saat anda sedang menunggu kereta atau bis yang terlambat. Rasakanlah ketika anda sedang menghadapi nasabah, saat anda berbicara dengan mereka dan membantu mereka memproses transaksi. Nikmatilah dengan sepenuh hati musik yang anda sukai dan nikmatilah wajah anak anda ketika mereka tidur. Nikmatilah setiap apapun yang anda lakukan. Dengan Kesadaran dan menyatunya badan serta pikiran akan menumbuhkan kesabaran dalam pikiran kita dan selain itu kita juga akan merasa lebih rileks.
Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua perlu melalui proses.
Kesabaran juga berarti pemahaman kita bahwa sesuatu itu terjadi melalui sebuah proses dan kita bersedia untuk menjalani proses-nya satu persatu. Sewaktu di stasiun pikiran saya merasa ingin bahwa badan ini langsung berada di rumah untuk bertemu anak saya dan kemudian bertemu dengan teman sesuai waktu semula, tanpa melalui proses menunggu kereta datang, kereta jalan, sampai stasiun Bekasi ambil motor, perjalanan Stasiun ke rumah dan akhirnya sampai dirumah. Ketidak sabaran membuat pikiran tidak menerima kenyataan bahwa semua tujuan perlu melalui berbagai proses.
Karena itu, marilah kita lapangkan dada untuk dapat lebih bersabar. Janganlah mengurut dada karena kesabaran adalah sebuah kenikmatan dan bukannya penderitaan. Apapun profesi dan pekerjaan anda, keberhasilan merupakan juga buah dari kesabaran. Saya selalu ingat guru agama saya dulu selalu bilang bahwa:
“Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang Sabar”.
Wednesday, September 5, 2007
Syukur
Suatu hari saya berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman lama semasa kuliah di Yogya. Masing-masing sudah memiliki pekerjaan yang baik dan 3 diantaranya sudah berkeluarga. Hanya satu orang teman saya Andre, yang ternyata sampai saat ini masih melajang. Kami temannya yang lain sempat tidak percaya dengan status melajangnya tersebut karena setahu kami Andre sangatlah “gaul” dan memiliki banyak teman wanita.
“Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.
“Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.
“Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.
Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.
Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.
Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.
Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.
Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:
“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai,
setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”
“Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.
“Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.
“Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.
Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.
Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.
Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.
Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.
Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:
“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai,
setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”
Value added
Kehidupan saya banyak sekali terinspirasi oleh cerita, baik cerita yang saya baca di buku, saya lihat dalam film maupun saya dengar dari orang lain. Ada sebuah cerita yang pernah saya dengar belasan tahun lalu yang banyak menginspirasi perilaku saya.
Sebuah iring-iringan perahu kerjaan melintas di sungai dalam sebuah kota antah berantah. Dalam perahu itu terdapat beberapa orang: pengayuh perahu, hulubalang Raja, penasehat Raja (kaum cendikia) dan Raja sendiri.
Terjadi percakapan antar pengayuh perahu yang isinya adalah ketidak puasan akan pekerjaan yang mereka jalani saat itu. “Sungguh keterlaluan Raja kita ini. Sudah lama saya bekerja di kerajaan ini tapi apa yang saya dapat? Saya tetap saja menjadi seorang pendayung perahu. Sedangkan kalian lihat sendiri seseorang yang menjadi penasehat raja mungkin usianya jauh dibawah saya. Tapi kenapa dia yang dipilih menjadi penasehat raja dan bukannya saya?” Gerutu salah seorang pendayung.
Ternyata sang Raja mendengar keluh kesah itu. Dan sejenak dia meminta agar perahu berhenti. Kemudian sang Raja memanggil pendayung yang berkeluh kesah itu kehadapannya. “Kamu mendengar suara binatang yang ada di pinggir sungai ini?” Tanya Raja. Pendayung mengangguk. “Tolong cari tahu suara apa itu dan segera beritahu saya”. Si pendayung bergegas pergi ke tepian sungai dan segera kembali ke perahu. “Raja, ternyata suara itu datang dari bebek liar yang sedang bermain dengan anak-anaknya”, Lapor si pendayung. Kemudian Raja menanyakan lagi berapa banyak anak bebek yang ada disana. Serta merta si pendayung kembali lagi ke tepian sungai untuk melihat bebek liar itu. “Anak bebek-nya berjumlah 8 ekor Raja,” ujar si pendayung setelah kembali. Kembali raja menanyakan jumlah bebek dewasa yang ada di tepian sungai itu. Dengan tetap semangat si pendayung kembali ke tepian sungai dan setelah kembali, dia menjawab dengan tersenyum puas,”Bebek dewasa disana ada 4 ekor Raja”.
Raja mengucapkan terima kasih. Kemudian Raja meminta prajurit untuk memanggil salah seorang penasehatnya sedang bekerja dalam kabin kapal. Raja meminta si penasehat untuk mencari tahu suara binatang di tepian sungai. Si penasehat kemudian pergi dan setelah kembali dia menjelaskan kepada Raja. “Rajaku, suara itu ternyata adalah suara sekawanan bebek liar. Ada 4 bebek dewasa yang saya rasa adalah induk dari 8 anak bebek yang terdapat disana. Dari kesemua bebek yang ada disana mereka memiliki warna bulu yang cenderung sama yaitu coklat dan hitam”. Raja tersenyum, mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan si penasehat untuk kembali bekerja dalam kabin kapal.
Kemudian Raja melihat kepada si pendayung yang sedari tadi duduk termangu melihat kejadian itu. “Sekarang kamu tahu kenapa saya lebih memilih dia sebagai penasehat saya?” Tanya Raja dengan lembut. Si pendayung dengan takzim mengakui bahwa dia hanya melakukan apa yang diminta raja dan tidak membuka mata dan pikiran untuk bisa memberikan info lain selain tugas yang diterimanya.
Apa yang dilakukan oleh si penasehat merupakan pengejawantahan dari prinsip Value-added (nilai tambah). Dalam melaksanakan perintah raja, dia tidak hanya menjawab pertanyaan raja saja namun juga memberikan informasi lain yang dapat memberi bobot lebih dari info yang diminta. Dalam bekerja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing dan memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Dan hasil pekerjaan kita akan menjadi lebih berbobot kalau kita dapat memberikan nilai tambah. Nilai tambah bisa juga ditunjukkan hanya dengan kerapian pekerjaan, memberikan alternatif analisa lain selain yang diminta atau bekerja dengan penuh kegembiraan karena orang lain akan merasa senang dan nyaman selama bekerja dan berinteraksi dengan kita.
Cerita diatas juga mengingatkan saya untuk bisa selalu “sadar” sepenuhnya akan kehidupan dan mencermati setiap keadaan sekitar. Dengan selalu “sadar” akan kehidupan kita akan bisa lebih melihat bahwa sebuah kejadian tidaklah berdiri sendiri namun selalu berkaitan dengan yang sudah dan yang akan terjadi. Dengan mencermati keadaan, akan membawa kita untuk bisa selalu bersyukur bukan hanya pada limpahan kebaikan yang kita terima namun juga atas segala hal-hal kecil dan remeh yang kita dapatkan setiap hari.
Sebuah iring-iringan perahu kerjaan melintas di sungai dalam sebuah kota antah berantah. Dalam perahu itu terdapat beberapa orang: pengayuh perahu, hulubalang Raja, penasehat Raja (kaum cendikia) dan Raja sendiri.
Terjadi percakapan antar pengayuh perahu yang isinya adalah ketidak puasan akan pekerjaan yang mereka jalani saat itu. “Sungguh keterlaluan Raja kita ini. Sudah lama saya bekerja di kerajaan ini tapi apa yang saya dapat? Saya tetap saja menjadi seorang pendayung perahu. Sedangkan kalian lihat sendiri seseorang yang menjadi penasehat raja mungkin usianya jauh dibawah saya. Tapi kenapa dia yang dipilih menjadi penasehat raja dan bukannya saya?” Gerutu salah seorang pendayung.
Ternyata sang Raja mendengar keluh kesah itu. Dan sejenak dia meminta agar perahu berhenti. Kemudian sang Raja memanggil pendayung yang berkeluh kesah itu kehadapannya. “Kamu mendengar suara binatang yang ada di pinggir sungai ini?” Tanya Raja. Pendayung mengangguk. “Tolong cari tahu suara apa itu dan segera beritahu saya”. Si pendayung bergegas pergi ke tepian sungai dan segera kembali ke perahu. “Raja, ternyata suara itu datang dari bebek liar yang sedang bermain dengan anak-anaknya”, Lapor si pendayung. Kemudian Raja menanyakan lagi berapa banyak anak bebek yang ada disana. Serta merta si pendayung kembali lagi ke tepian sungai untuk melihat bebek liar itu. “Anak bebek-nya berjumlah 8 ekor Raja,” ujar si pendayung setelah kembali. Kembali raja menanyakan jumlah bebek dewasa yang ada di tepian sungai itu. Dengan tetap semangat si pendayung kembali ke tepian sungai dan setelah kembali, dia menjawab dengan tersenyum puas,”Bebek dewasa disana ada 4 ekor Raja”.
Raja mengucapkan terima kasih. Kemudian Raja meminta prajurit untuk memanggil salah seorang penasehatnya sedang bekerja dalam kabin kapal. Raja meminta si penasehat untuk mencari tahu suara binatang di tepian sungai. Si penasehat kemudian pergi dan setelah kembali dia menjelaskan kepada Raja. “Rajaku, suara itu ternyata adalah suara sekawanan bebek liar. Ada 4 bebek dewasa yang saya rasa adalah induk dari 8 anak bebek yang terdapat disana. Dari kesemua bebek yang ada disana mereka memiliki warna bulu yang cenderung sama yaitu coklat dan hitam”. Raja tersenyum, mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan si penasehat untuk kembali bekerja dalam kabin kapal.
Kemudian Raja melihat kepada si pendayung yang sedari tadi duduk termangu melihat kejadian itu. “Sekarang kamu tahu kenapa saya lebih memilih dia sebagai penasehat saya?” Tanya Raja dengan lembut. Si pendayung dengan takzim mengakui bahwa dia hanya melakukan apa yang diminta raja dan tidak membuka mata dan pikiran untuk bisa memberikan info lain selain tugas yang diterimanya.
Apa yang dilakukan oleh si penasehat merupakan pengejawantahan dari prinsip Value-added (nilai tambah). Dalam melaksanakan perintah raja, dia tidak hanya menjawab pertanyaan raja saja namun juga memberikan informasi lain yang dapat memberi bobot lebih dari info yang diminta. Dalam bekerja setiap orang memiliki tugasnya masing-masing dan memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Dan hasil pekerjaan kita akan menjadi lebih berbobot kalau kita dapat memberikan nilai tambah. Nilai tambah bisa juga ditunjukkan hanya dengan kerapian pekerjaan, memberikan alternatif analisa lain selain yang diminta atau bekerja dengan penuh kegembiraan karena orang lain akan merasa senang dan nyaman selama bekerja dan berinteraksi dengan kita.
Cerita diatas juga mengingatkan saya untuk bisa selalu “sadar” sepenuhnya akan kehidupan dan mencermati setiap keadaan sekitar. Dengan selalu “sadar” akan kehidupan kita akan bisa lebih melihat bahwa sebuah kejadian tidaklah berdiri sendiri namun selalu berkaitan dengan yang sudah dan yang akan terjadi. Dengan mencermati keadaan, akan membawa kita untuk bisa selalu bersyukur bukan hanya pada limpahan kebaikan yang kita terima namun juga atas segala hal-hal kecil dan remeh yang kita dapatkan setiap hari.
Houdini
Kemarin malam saya menyaksikan sebuah acara yang menarik di sebuah televisi swasta. Acara tersebut mengungkapkan beberapa rahasia sulap kelas tinggi yang selama ini mungkin kita tidak pernah tahu. Bila berbicara tentang dunia sulap selalu tidak lepas dari seorang master dalam hal melarikan diri (escaping) yaitu Houdini.
Houdini adalah seorang magician kenamaan sepanjang masa dan juga seorang master dalam membuka segala macam jenis kunci. Dia selalu mengatakan bahwa tidak ada kunci di dunia ini yang tidak dapat dia buka dalam waktu 30 menit. Pernyataan ini bisa dilihat sebagai ungkapan kesombongan atau pencerminan rasa percaya diri yang begitu besar. Memang banyak bukti yang menunjukkan bahwa dia memang mampu melepaskan diri dari segala macam jenis kunci yang membelenggunya.
Ungkapan kesombongan itu ternyata bersambut. Masyarakat disebuah kota kecil di London memiliki penjara yang kokoh. Mereka sangat bangga akan kekokohan pintu-pintu sel penjara yang mereka miliki dan mereka menyambut ucapan Houdini dengan menantang ahli sulap itu untuk keluar dari sel penjara dikota itu.
Diiringi oleh genderang dan wartawan dari berbagai publikasi di dunia, Houdini melangkah masuk kedalam salah satu sel dengan angkuhnya. Setelah pintu penjara ditutup, dari balik jubahnya dia mengeluarkan senjata andalannya yaitu sebuah logam yang tipis,lentur, dan kuat yang biasa dia gunakan dalam pertunjukannya, untuk membuka pintu penjara itu.
Setelah lebih dari 30 menit (waktu yang dijanjikan) Houdini ternyata belum juga berhasil membuka pintu penjara, ekspresi kesombongan yang selama ini terpancar dari mukanya perlahan mulai hilang. Satu jam kemudian pintu penjara itu masih belum juga terbuka dan keringat dingin mulai bercucuran di kepalanya. Hingga akhirnya dalam waktu 2 jam pandangan matanya mulai gelap, sebab Houdini tidak tahan dengan tekanan dan ketegangan batin yang dialaminya. Ketegangan yang memuncak itu membuat Houdini akhirnya jatuh pingsan sebelum berhasil membuka pintu penjara tersebut dan tubuhnya jatuh menimpa pintu penjara ternyata yang langsung terbuka!
Kenyataannya, pintu penjara tersebut tidak pernah dikunci sama sekali! tapi hanya daun pintunya saja yang ditutup. Namun pikiran Houdini-lah yang merasa yakin dan percaya bahwa pintu penjara tersebut telah ditutup dengan menggunakan kunci yang paling mutakhir. Dan tugas dia untuk membuktikan bahwa segala kunci sanggup dia buka. Dalam pikiran Houdini tidak terpikir sama sekali untuk mencoba membuka pintu itu terlebih dahulu sebelum berusaha membuka kuncinya.
Kejadian diatas memberikan pelajaran yang paling berharga bagi saya: bukti bahwa kekuatan pikiran sangat luar biasa. Houdini bisa saja (dan memang terbukti selama ini) sanggup membuka pintu terkokoh atau kunci yang paling mutakhir karena kekuatan pikiran dan ketrampilannya. Pikirannya selalu diliputi keyakinan yang meledak-ledak bahwa dia sanggup membuka apapun yang terkunci. Pikirannya begitu kuat sehingga mengesampingkan hal-hal yang sederhana dan ternyata hal yang sederhana itulah yang mengalahkannya.
Kalau direfleksikan dalam kehidupan kita: segala halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan hidup kita memang bisa memperlambat jalan namun keputusan akhir ada di tangan kita. Pikiran kitalah yang dominan dalam menentukan kegagalan atau keberhasilan kita. Penuhilah pikiran anda dengan rasa optimisme dan keyakinan yang tinggi untuk bisa sukses di masa depan. Keyakinan dan optimisme itu hendaklah juga diimbangi oleh penuhnya kesadaran akan keadaan, lingkungan sekitar agar kita bisa dengan bijaksana dalam mengambil keputusan.
Houdini adalah seorang magician kenamaan sepanjang masa dan juga seorang master dalam membuka segala macam jenis kunci. Dia selalu mengatakan bahwa tidak ada kunci di dunia ini yang tidak dapat dia buka dalam waktu 30 menit. Pernyataan ini bisa dilihat sebagai ungkapan kesombongan atau pencerminan rasa percaya diri yang begitu besar. Memang banyak bukti yang menunjukkan bahwa dia memang mampu melepaskan diri dari segala macam jenis kunci yang membelenggunya.
Ungkapan kesombongan itu ternyata bersambut. Masyarakat disebuah kota kecil di London memiliki penjara yang kokoh. Mereka sangat bangga akan kekokohan pintu-pintu sel penjara yang mereka miliki dan mereka menyambut ucapan Houdini dengan menantang ahli sulap itu untuk keluar dari sel penjara dikota itu.
Diiringi oleh genderang dan wartawan dari berbagai publikasi di dunia, Houdini melangkah masuk kedalam salah satu sel dengan angkuhnya. Setelah pintu penjara ditutup, dari balik jubahnya dia mengeluarkan senjata andalannya yaitu sebuah logam yang tipis,lentur, dan kuat yang biasa dia gunakan dalam pertunjukannya, untuk membuka pintu penjara itu.
Setelah lebih dari 30 menit (waktu yang dijanjikan) Houdini ternyata belum juga berhasil membuka pintu penjara, ekspresi kesombongan yang selama ini terpancar dari mukanya perlahan mulai hilang. Satu jam kemudian pintu penjara itu masih belum juga terbuka dan keringat dingin mulai bercucuran di kepalanya. Hingga akhirnya dalam waktu 2 jam pandangan matanya mulai gelap, sebab Houdini tidak tahan dengan tekanan dan ketegangan batin yang dialaminya. Ketegangan yang memuncak itu membuat Houdini akhirnya jatuh pingsan sebelum berhasil membuka pintu penjara tersebut dan tubuhnya jatuh menimpa pintu penjara ternyata yang langsung terbuka!
Kenyataannya, pintu penjara tersebut tidak pernah dikunci sama sekali! tapi hanya daun pintunya saja yang ditutup. Namun pikiran Houdini-lah yang merasa yakin dan percaya bahwa pintu penjara tersebut telah ditutup dengan menggunakan kunci yang paling mutakhir. Dan tugas dia untuk membuktikan bahwa segala kunci sanggup dia buka. Dalam pikiran Houdini tidak terpikir sama sekali untuk mencoba membuka pintu itu terlebih dahulu sebelum berusaha membuka kuncinya.
Kejadian diatas memberikan pelajaran yang paling berharga bagi saya: bukti bahwa kekuatan pikiran sangat luar biasa. Houdini bisa saja (dan memang terbukti selama ini) sanggup membuka pintu terkokoh atau kunci yang paling mutakhir karena kekuatan pikiran dan ketrampilannya. Pikirannya selalu diliputi keyakinan yang meledak-ledak bahwa dia sanggup membuka apapun yang terkunci. Pikirannya begitu kuat sehingga mengesampingkan hal-hal yang sederhana dan ternyata hal yang sederhana itulah yang mengalahkannya.
Kalau direfleksikan dalam kehidupan kita: segala halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan hidup kita memang bisa memperlambat jalan namun keputusan akhir ada di tangan kita. Pikiran kitalah yang dominan dalam menentukan kegagalan atau keberhasilan kita. Penuhilah pikiran anda dengan rasa optimisme dan keyakinan yang tinggi untuk bisa sukses di masa depan. Keyakinan dan optimisme itu hendaklah juga diimbangi oleh penuhnya kesadaran akan keadaan, lingkungan sekitar agar kita bisa dengan bijaksana dalam mengambil keputusan.
Subscribe to:
Posts (Atom)