Wednesday, September 5, 2007

Syukur

Suatu hari saya berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman lama semasa kuliah di Yogya. Masing-masing sudah memiliki pekerjaan yang baik dan 3 diantaranya sudah berkeluarga. Hanya satu orang teman saya Andre, yang ternyata sampai saat ini masih melajang. Kami temannya yang lain sempat tidak percaya dengan status melajangnya tersebut karena setahu kami Andre sangatlah “gaul” dan memiliki banyak teman wanita.

“Gua pernah berkeinginan menjalin hubungan yang serius dengan 3 orang gadis,” ungkapnya memulai cerita. “Yang pertama namanya Nita, orangnya menarik dan penampilannya selalu mengikuti trend. Awalnya gua pikir dia cocok untuk menjadi calon istri. Namun setelah beberapa bulan, gua melihat bahwa Nita bukanlah pilihan yang terbaik buat gua karena menurut gua dia “kurang cerdas” karena seringkali tidak bisa nyambung kalau membahas sesuatu”.

“Kemudian gua ketemu dengan Santi. Gadis yang gua kenal di gereja ini seorang gadis yang alim tapi juga “gaul”. Kombinasi yang menarik, kan? Gua bertahan selama 4 bulan dengannya sampai akhirnya gua berkesimpulan bahwa Santi bukanlah pilihan yang terbaik untuk menjadi istri. Karena dibalik sikapnya yang lembut itu ternyata dia seorang yang pencemburu dan gua nggak mau hidup serasa diawasi begitu. Akhirnya kami putus hubungan”.

“Dan terakhir gua ketemu gadis ini, namanya Siska. Siska gua kenal karena kantor kami bekerja sama untuk sebuah project. Siska adalah gambaran ideal buat gua. Dia smart, penampilan menarik, wajah cantik dan tahu betul apa yang dia mau. Pokoknya di mata gua dia gambaran yang sempurna sebagai calon pendamping gua”, ujarnya. Kemudian dia terdiam. “Terus kenapa elo nggak menikah sama dia?” desak saya. Sambil menghela nafas dia berkata pelan,”Dia bilang bahwa gua bukanlah pilihan yang terbaik buat dirinya”. Kami berempat terdiam mendengar penuturan kalimat yang terakhir. Saya tidak tahu apakah harus sedih, prihatin, atau malah geli mendengar cerita pengalaman Andre tersebut.

Saat itu saya merasakan adanya sebuah keadilan yang terjadi pada diri Andre. Seringkali sadar atau tidak, kita bersikap atau memiliki prinsip seperti teman saya tadi, bisa dan biasa menentukan mana yang terbaik buat diri kita. Ketika kita menentukan bahwa ini yang cocok atau itu yang terbaik buat diri kita seolah kita telah menyamarkan keberadaan Yang Maha Tinggi sebagai Yang Maha Tahu apa dan mana yang terbaik buat setiap makhluknya.

Apa yang seringkali kita lakukan adalah kita terlalu fokus pada apa yang kita idamkan untuk dapatkan dan bukan pada apa yang sudah ada dalam genggaman. Kita selalu melihat ke kejauhan padahal kita sudah memiliki dalam kedekatan. Pola ini mengerucut pada satu hal: kemiskinan dan kebutaan hati untuk bisa selalu bersyukur pada apapun yang kita dapatkan. Bila kita belum mendapatkan tujuan kita (target, posisi, kekayaan, pengakuan), kita akan terus memikirkannya. Tapi anehnya, setelah mendapatkan, kita hanya menikmati “kemenangan” itu sesaat saja karena pikiran kita kembali membuat “idaman-idaman” lain yang lebih dari sebelumnya.

Pola kehidupan seperti itu akan semakin menjauhkan diri kita dari rasa syukur dan kelimpahan kebahagiaan. Bathin kita akan lelah dan akan semakin payah karena kita tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan apapun yang kita miliki sekarang. Sekali waktu, ambillah jeda dalam hidup anda untuk melihat pada apa-apa yang anda sudah miliki dan kenyataan kehidupan sekitar anda. Sobat saya di kantor selalu kesal apabila ada seseorang yang mengeluh melihat menu makanan yang disajikan setiap hari di kantor tidak cocok dengan seleranya. “Mestinya elo bersyukur kita masih bisa makan dengan menu seperti ini. Kalau elo mengeluh itu sama saja elo gak pernah bisa belajar bersyukur!”, ungkapnya. Saya respect sekali dengan prinsip yang dia anut.

Syukur untuk capai kebahagiaan juga bisa dicapai dengan melihat kehidupan dari sisi baiknya. Lihatlah pasangan anda, tetangga, atasan dan bawahan anda dari sisi baiknya. Niscaya hubungan anda dengan mereka akan didominasi dengan senyuman dan keringanan langkah. Sikap itulah yang tidak dilakukan oleh teman saya Andre. Kekurangan dianggap sebagai sebuah harga mati dan menutup kemungkinan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk menjadi lebih baik.

Saya jadi ingat ketika saya akan menikah dulu. Sepucuk kartu ucapan saya terima dari sobat lama saya, dan didalamnya terdapat gambar (foto) sepasang manula yang sedang berjalan di pantai sambil berpegangan tangan. Yang membuat saya terenyuh adalah tulisan dibawahnya:


“Arif, Menikahlah dengan orang yang kamu cintai,

setelah itu cintailah orang yang kamu nikahi”

No comments: