Seorang pria dengan wajah kusut dan muka muram pulang ke rumahnya malam itu. Setibanya di rumah, seperti biasanya ia mengetuk pintu, lalu ketika isterinya membuka pintu sedikit lebih lama dari biasanya maka ia menjadi marah besar. Aneh memang tapi itulah yang terjadi, si isteri lalu dimarahi habis-habisan hanya gara-gara sedikit terlambat membukakan pintu. Isterinya menjadi jengkel tapi tak bisa melawan suaminya yang sedang marah besar, itu sebabnya ia menumpahkan kemarahannya kepada anaknya yang secara tak sengaja melakukan sedikit kesalahan.
Si anak pun jadi ngambek tapi juga tak berani melawan ibunya yang terlihat begitu angker. Akibatnya pun bisa ditebak, si anakpun lalu menumpahkan kemarahannya kepada si pembantu. Meski si pembantu menjadi emosi dalam hati, tapi tidaklah mungkin seorang pembantu berani melawan anak majikan. Itu sebabnya si pembantu kemudian menumpahkan kemarahannya kepada anjing peliharaan keluarga itu dengan cara tidak memberi makan selama satu minggu! Karena lapar dan sangat jengkel karena merasa jadi korban keadaan, si anjing akhirnya menggigit tamu yang kebetulan berkunjung sebagai bentuk protes dan ungkapan kemarahannya. Anjing ternyata bisa marah juga!
Dalam pengertian populer itulah yang disebut displacement of aggression, atau pengalihan agresi. Menumpahkan kesalahan kepada obyek pengganti yang level, status atau kedudukannya berada di bawahnya. Tentu ini adalah perilaku yang tidak baik. Kita seringkali dan selalu diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri, bukannya melemparkan kesalahan atau menumpahkan kemarahan kepada orang lain yang levelnya ada di bawah kita. Mentalitas yang seperti ini hanya akan menciptakan orang-orang yang gemar mencari kambing hitam. Dia yang berbuat, tapi dia juga yang melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain.
Bayangkan kalau hal ini terjadi di kantor. Atasannya atasan Anda marah karena departemen tempat Anda bekerja ternyata tidak bekerja seperti yang diharapkan. Kemudian atasan Anda memarahi Anda karena dia jengkel dimarahi oleh atasannya. Andapun melampiaskan kemarahan karena dimarahi atasan kepada pelanggan yang datang hari ini kepada Anda. Dan pelanggan yang jengkel karena pelayanan dan perlakuan Anda yang tidak menyenangkan kemudian berbicara kepada orang-orang lain. Dan orang-orang lain yang mendengar cerita ini ternyata ikut jengkel dan menceritakan kembali kepada teman-temannya. Dampaknya ternyata luar biasa! Hanya karena kita menumpahkan kejengkelan dan kemarahan kita kepada pihak lain, ternyata berakibat pada sekian banyak orang lain lagi yang secara tidak langsung terpengaruh dengan kejengkelan dan kemarahan Anda.
Marilah bersikap adil dan jujur terhadap diri sendiri. Kalau memang yang sedang bermasalah adalah kita, bukankah seharusnya kita sesegera mungkin membereskan masalah itu dan bukannya mencari “tong sampah” untuk menumpahkan kejengkelan dan kemarahan kita. Sunggguh tidak adil kalau orang-orang di sekeliling kita harus menerima luapan emosi kita, sementara mereka sebenarnya tak melakukan sesuatu yang membuat mereka layak mendapat kemarahan kita.
Coba Anda bayangkan kalau yang menjadi limpahan kemarahan atau kejengkelan kita adalah anak kita, yang untuk bertemu dan berkumpul dengan kita saja hanya punya beberapa jam setelah kita pulang kantor. Kita akan merasakan dampaknya di kemudian hari dimana kita mulai merasakan adanya kerenggangan emosional antara kita dan anak kita.
Bila Anda sedang jengkel dan marah pada hari ini. Tahanlah diri Anda untuk tidak menumpahkan kejengkelan dan kemarahan Anda kepada orang lain. Berhentilah sebentar, redakanlah jengkel dan amarah anda terlebih dahulu. Pikirkanlah bahwa hidup Anda sangat berharga dan jangan sudi untuk menyia-nyiakannya dengan luapan amarah. Karena dengan marah, kebahagiaan yang sedang anda bangun secara perlahan sedang digerogoti.
Friday, November 30, 2007
Manusia Sulit
“Mas, aku pokoknya mau protes dan nggak bisa terima!,” seru sepupu saya di telepon suatu sore. Saya yang masih belum sadar sepenuhnya dari istirahat siang di hari libur itu berusaha mengira-ngira siapa gerangan orang yang mau protes ini.”Memang kebangetan banget ya iparku itu, lha wong kita sekeluarga sudah setuju mau pergi bareng, eh nggak tahunya dia bilang nggak jadi ikut karena mobilnya mau dimasukkan ke bengkel. Apa nggak nyebelin tuh namanya?!..” cerocosnya dengan emosional. Setelah dengan sekuat tenaga berkonsentrasi akhirnya saya mulai dapat mengenal suara si penelepon dan masalah yang diungkapkan. Saya hanya merespon sekedarnya saja karena khawatir kalau salah bicara malah bisa menambah masalah. “Dasar dia itu memang manusia sulit kok mas!,” ujarnya ketus.
Tentu kita semua pernah mengalami hal yang sama, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang seperti saudara saya bilang “manusia sulit”. Mereka disebut sulit karena biasanya memiliki atau menunjukkan sifat atau perilaku yang berbeda dengan manusia kebanyakan: keras kepala, suka mengkritik pedas, menghina, menang sendiri, egois dan lain-lain sikap negatif. Namun sadari atau tidak, kita yang seringkali memberi cap manusia sulit pada orang lain sekali waktu juga akan berperan sebagai si manusia sulit. Kita selalu melihat dan menunjuk orang di luar sana sebagai manusia sulit. Tanpa kita sadari bahwa empat jari yang lain saat kita menunjuk mengarah kepada diri kita. Contoh mudahnya ya sudara saya yang telpon itu. Dia memberi cap manusia sulit pada saudara iparnya namun saya tahu pasti saudara saya itupun bisa dikategorikan juga sebagai manusia sulit. Kenapa? Karena tidak jarang dia begitu keras kepala akan pendapat dan pikirannya.
Dengan meyakini bahwa guru kehidupan adalah segala sesuatu yang kita alami dan temui. Manusia sulit-pun merupakan salah satu guru terbaik bagi perkembangan kematangan jiwa kita. Saat manusia sulit beraksi dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka, sebenarnya kita juga sedang diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Tidak heran apabila rekan kerja saya bertemu dan berhadapan dengan manusia sulit, dia akan mengelus-elus perutnya yang sedang hamil 5 bulan dengan harapan agar calon anaknya tidak memiliki atau “ketularan” kejelekan orang tersebut.
Manusia sulit juga berjasa dalam membuat kita menjadi orang yang lebih sabar. Gede Parma pernah menulis bahwa badan dan jiwa kita ini seperti karet. Pertama kali ditarik akan melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, jengkel, mengurut dada atau menarik nafas panjang karena ulah manusia sulit ini, sejatinya kita sedang menarik karet (baca:tubuh dan jiwa) agar menjadi longgar (baca: sabar). Dan diharapkan pada saat kesekian kali kita berhadapan kembali dengan manusia sulit ini, tubuh dan jiwa kita bisa lebih mengerti dan sabar. Apabila ini dilakukan terus menerus, niscaya kesabaran akan selalu melekat dimanapun kita berada dan dengan siapapun kita berhadapan.
Memberi cap “manusia sulit” kepada siapapun di luar kita sangat dipengaruhi oleh “kaca mata” yang kita pakai. Kita seringkali men-cap kotor ini dan itu kepada orang lain tanpa tahu sebenarnya bukan mereka yang “kotor”, tapi “kacamata” yang kita pakailah yang kotor yaitu pikiran, emosional dan persepsi. Dengan kata lain sebelum menyebut siapapun diluar sana sebagai manusia kotor atau sulit, yakinlah pada diri anda bahwa bukan anda sebenarnya yang sulit. Karena anda begitu keras kepala, perbedaan pendapat sedikit saja membuat anda marah. Karena anda orang yang mudah tersinggung, orang tersenyum sedikit saja membuat anda kesal karena menganggap orang tersebut sedang meledek anda.
Pikiran mulia dari berhadapan dengan manusia-manusia sulit adalah mereka merupakan orang-orang yang sebenarnya mempermudah jalan kita untuk ke sorga. Apabila tingkat kesabaran anda sudah sedemikian matang, kita akan membalas hinaan dengan sebuah senyuman, cercaan dengan doa, bau busuk dengan bau harum, bukankah hal-hal demikian membuat amal kebaikan kita menjadi semakin banyak dan dengan itu pula jalan kita menuju sorga menjadi lebih lancar?
Tentu kita semua pernah mengalami hal yang sama, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang seperti saudara saya bilang “manusia sulit”. Mereka disebut sulit karena biasanya memiliki atau menunjukkan sifat atau perilaku yang berbeda dengan manusia kebanyakan: keras kepala, suka mengkritik pedas, menghina, menang sendiri, egois dan lain-lain sikap negatif. Namun sadari atau tidak, kita yang seringkali memberi cap manusia sulit pada orang lain sekali waktu juga akan berperan sebagai si manusia sulit. Kita selalu melihat dan menunjuk orang di luar sana sebagai manusia sulit. Tanpa kita sadari bahwa empat jari yang lain saat kita menunjuk mengarah kepada diri kita. Contoh mudahnya ya sudara saya yang telpon itu. Dia memberi cap manusia sulit pada saudara iparnya namun saya tahu pasti saudara saya itupun bisa dikategorikan juga sebagai manusia sulit. Kenapa? Karena tidak jarang dia begitu keras kepala akan pendapat dan pikirannya.
Dengan meyakini bahwa guru kehidupan adalah segala sesuatu yang kita alami dan temui. Manusia sulit-pun merupakan salah satu guru terbaik bagi perkembangan kematangan jiwa kita. Saat manusia sulit beraksi dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka, sebenarnya kita juga sedang diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Tidak heran apabila rekan kerja saya bertemu dan berhadapan dengan manusia sulit, dia akan mengelus-elus perutnya yang sedang hamil 5 bulan dengan harapan agar calon anaknya tidak memiliki atau “ketularan” kejelekan orang tersebut.
Manusia sulit juga berjasa dalam membuat kita menjadi orang yang lebih sabar. Gede Parma pernah menulis bahwa badan dan jiwa kita ini seperti karet. Pertama kali ditarik akan melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, jengkel, mengurut dada atau menarik nafas panjang karena ulah manusia sulit ini, sejatinya kita sedang menarik karet (baca:tubuh dan jiwa) agar menjadi longgar (baca: sabar). Dan diharapkan pada saat kesekian kali kita berhadapan kembali dengan manusia sulit ini, tubuh dan jiwa kita bisa lebih mengerti dan sabar. Apabila ini dilakukan terus menerus, niscaya kesabaran akan selalu melekat dimanapun kita berada dan dengan siapapun kita berhadapan.
Memberi cap “manusia sulit” kepada siapapun di luar kita sangat dipengaruhi oleh “kaca mata” yang kita pakai. Kita seringkali men-cap kotor ini dan itu kepada orang lain tanpa tahu sebenarnya bukan mereka yang “kotor”, tapi “kacamata” yang kita pakailah yang kotor yaitu pikiran, emosional dan persepsi. Dengan kata lain sebelum menyebut siapapun diluar sana sebagai manusia kotor atau sulit, yakinlah pada diri anda bahwa bukan anda sebenarnya yang sulit. Karena anda begitu keras kepala, perbedaan pendapat sedikit saja membuat anda marah. Karena anda orang yang mudah tersinggung, orang tersenyum sedikit saja membuat anda kesal karena menganggap orang tersebut sedang meledek anda.
Pikiran mulia dari berhadapan dengan manusia-manusia sulit adalah mereka merupakan orang-orang yang sebenarnya mempermudah jalan kita untuk ke sorga. Apabila tingkat kesabaran anda sudah sedemikian matang, kita akan membalas hinaan dengan sebuah senyuman, cercaan dengan doa, bau busuk dengan bau harum, bukankah hal-hal demikian membuat amal kebaikan kita menjadi semakin banyak dan dengan itu pula jalan kita menuju sorga menjadi lebih lancar?
Terpaksa
Saya memiliki teman yang dulunya adalah perokok berat. Lebih dari 1 bungkus bisa dia habiskan dalam 1 hari terutama apabila dia sedang banyak pekerjaan yang mengharuskan dia melewatkan malam di kantor. Minggu lalu saat bertemu saya lihat ada perbedaan pada penampilannya, dia tidak membawa rokok yang biasanya selalu ada dikantongnya. “Gua tersiksa banget beberapa hari ini. Mulut gua rasanya asam banget dan pengen banget merokok. Tapi karena gua udah janji sama istri untuk tidak merokok lagi makanya terpaksa gua tahan aja,”ujarnya sambil meringis.
Suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan dengan terpaksa tentu tidak menyenangkan bagi pelaku seperti teman saya tadi. Sejenak dapat kita renungkan bahwa hampir semua tindakan awalnya tidak diinginkan atau pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari hari berawal dari sebuah keterpaksaan. Suatu pekerjaan atau tindakan yang menjadi rutinitas adalah merupakan hal biasa dan kurang berpengaruh terhadap kepuasan pelaku. Dan suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan karena kesenangan/hobi pasti akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi pelaku meskipun tindakan yang dilakukan adalah sama. Penyanyi misalnya, walaupun mungkin harus setiap hari menyanyi namun dia tetap senang karena itu adalah kesenangan/ hobinya.
Peraturan lalulintas saat pertama kali adanya keharusan memakai sabuk pengaman sewaktu mengemudi mobil atau mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor. Bagaimana reaksi masyarakat pada umumnya ? bermacam komentar, repot, tidak praktis, terpaksa karena takut ditilang dan sebagainya. Mengapa sekarang hal tersebut dapat dilakukan dengan kesadaran bahkan kadang dilakukan secara spontan? Karena kita sudah menjadi terbiasa. Apabila kita mencoba untuk mencari tindakan yang awalnya tidak didasari keterpaksaan, mungkin akan sulit menemukan jawabnya. Mengapa? karena semuanya sudah menjadi kebiasaan sehingga keterpaksaan itu tidak terasa lagi.
Bagaimana dengan tugas sehari-hari? mulai dari memakai seragam, datang ke kantor, mengerjakan tugas, mentaati peraturan dan kebijakan sampai menerima gaji . Melakukan penyesuaian dan membiasakan dengan lingkungan, pekerjaan dan peraturan baru yang berkesinambungan sesuai dengan perkembangan. Belum pernah ada perusahaan yang tidak pernah melakukan perubahan dalam menjalankan usahanya baik manajemen, peraturan, struktur organisasi ataupun produk usaha. Dan setiap perubahan yang ada pasti bertujuan untuk menjadikan perusahaan lebih baik, baik untuk perusahaan, pemilik, karyawan dan konsumen. Apakah semuanya pada awalnya tidak kita lakukan dengan terpaksa? tentunya masing masing pelaku mempunyai argumen sendiri-sendiri.
Memang tidak dapat dikatakan mudah untuk merubah keterpaksaan menjadi sebuah kebiasaan, apalagi terhadap sesuatu yang awalnya belum pernah dilakukan dan asing. Sama halnya dengan perokok yang ingin berhenti merokok, dia tidak akan dapat berhenti merokok kecuali memaksakan diri untuk berhenti, karena tidak ada obat atau alat apapun yang dapat menjadikan perokok berhenti merokok kecuali keinginan yang kuat dari diri sendiri.
Dalam Layanan juga sama, pada awalnya canggung untuk senyum, menyapa dan melayani nasabah dengan baik. Bahkan banyak yang menjadi enggan karena merasa hal itu adalah beban. Memang akan menjadi beban karena dalam pikiran kita sudah tertanam bahwa kegiatan itu merupakan kerja tambahan yang tidak perlu. Hal itu yang kalaupun dilakukan pasti dengan kondisi terpaksa. Keterpaksaan akan terlihat oleh orang lain dan disadari atau tidak akan semakin memberatkan pelakunya.
Barangkali ada salah satu cara untuk dapat merubah keterpaksaan menjadi kebiasaan, yaitu Ikhlas dan Bersyukur. Paksa diri kita untuk melakukannya, insya Allah kita akan dapat menerima dan menikmati pekerjaan dan penerimaan tanpa keluhan. Ikhlas dan Bersyukur juga dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan introspektif. Memang tidak semudah teori untuk melakukannya. Tetapi semua orang pasti merasa sudah berusaha untuk berbuat dan berubah menjadi yang terbaik untuk dirinya dan orang lain.
Ingat saat anda atau anak anda pertama kali belajar naik sepeda. Awalnya hanya satu dua kayuhan, jatuh dan kita bangun lagi untuk melanjutkan dengan kayuhan-kayuhan berikutnya sampai akhirnya kita menjadi bisa dan terbiasa. Perubahan akan mudah diraih apabila ada tekad diri. Jangan terlalu lama terpaku dalam keraguan, mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang!
Suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan dengan terpaksa tentu tidak menyenangkan bagi pelaku seperti teman saya tadi. Sejenak dapat kita renungkan bahwa hampir semua tindakan awalnya tidak diinginkan atau pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari hari berawal dari sebuah keterpaksaan. Suatu pekerjaan atau tindakan yang menjadi rutinitas adalah merupakan hal biasa dan kurang berpengaruh terhadap kepuasan pelaku. Dan suatu pekerjaan atau tindakan yang dilakukan karena kesenangan/hobi pasti akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi pelaku meskipun tindakan yang dilakukan adalah sama. Penyanyi misalnya, walaupun mungkin harus setiap hari menyanyi namun dia tetap senang karena itu adalah kesenangan/ hobinya.
Peraturan lalulintas saat pertama kali adanya keharusan memakai sabuk pengaman sewaktu mengemudi mobil atau mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor. Bagaimana reaksi masyarakat pada umumnya ? bermacam komentar, repot, tidak praktis, terpaksa karena takut ditilang dan sebagainya. Mengapa sekarang hal tersebut dapat dilakukan dengan kesadaran bahkan kadang dilakukan secara spontan? Karena kita sudah menjadi terbiasa. Apabila kita mencoba untuk mencari tindakan yang awalnya tidak didasari keterpaksaan, mungkin akan sulit menemukan jawabnya. Mengapa? karena semuanya sudah menjadi kebiasaan sehingga keterpaksaan itu tidak terasa lagi.
Bagaimana dengan tugas sehari-hari? mulai dari memakai seragam, datang ke kantor, mengerjakan tugas, mentaati peraturan dan kebijakan sampai menerima gaji . Melakukan penyesuaian dan membiasakan dengan lingkungan, pekerjaan dan peraturan baru yang berkesinambungan sesuai dengan perkembangan. Belum pernah ada perusahaan yang tidak pernah melakukan perubahan dalam menjalankan usahanya baik manajemen, peraturan, struktur organisasi ataupun produk usaha. Dan setiap perubahan yang ada pasti bertujuan untuk menjadikan perusahaan lebih baik, baik untuk perusahaan, pemilik, karyawan dan konsumen. Apakah semuanya pada awalnya tidak kita lakukan dengan terpaksa? tentunya masing masing pelaku mempunyai argumen sendiri-sendiri.
Memang tidak dapat dikatakan mudah untuk merubah keterpaksaan menjadi sebuah kebiasaan, apalagi terhadap sesuatu yang awalnya belum pernah dilakukan dan asing. Sama halnya dengan perokok yang ingin berhenti merokok, dia tidak akan dapat berhenti merokok kecuali memaksakan diri untuk berhenti, karena tidak ada obat atau alat apapun yang dapat menjadikan perokok berhenti merokok kecuali keinginan yang kuat dari diri sendiri.
Dalam Layanan juga sama, pada awalnya canggung untuk senyum, menyapa dan melayani nasabah dengan baik. Bahkan banyak yang menjadi enggan karena merasa hal itu adalah beban. Memang akan menjadi beban karena dalam pikiran kita sudah tertanam bahwa kegiatan itu merupakan kerja tambahan yang tidak perlu. Hal itu yang kalaupun dilakukan pasti dengan kondisi terpaksa. Keterpaksaan akan terlihat oleh orang lain dan disadari atau tidak akan semakin memberatkan pelakunya.
Barangkali ada salah satu cara untuk dapat merubah keterpaksaan menjadi kebiasaan, yaitu Ikhlas dan Bersyukur. Paksa diri kita untuk melakukannya, insya Allah kita akan dapat menerima dan menikmati pekerjaan dan penerimaan tanpa keluhan. Ikhlas dan Bersyukur juga dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan introspektif. Memang tidak semudah teori untuk melakukannya. Tetapi semua orang pasti merasa sudah berusaha untuk berbuat dan berubah menjadi yang terbaik untuk dirinya dan orang lain.
Ingat saat anda atau anak anda pertama kali belajar naik sepeda. Awalnya hanya satu dua kayuhan, jatuh dan kita bangun lagi untuk melanjutkan dengan kayuhan-kayuhan berikutnya sampai akhirnya kita menjadi bisa dan terbiasa. Perubahan akan mudah diraih apabila ada tekad diri. Jangan terlalu lama terpaku dalam keraguan, mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang!
Sedekah
Teman saya ini adalah seorang pegawai negeri di yang berkantor di Jalan Thamrin. Umurnya lebih muda dari saya dan kebetulan sewaktu di Yogya kami satu kos. Salah satu “kegemaran”nya adalah memberikan sedekah kepada pengemis. Suatu saat teman saya yang lain secara sambil lalu “mempertanyakan” kebiasaannya tersebut. “Emang elo yakin kalau dia itu memang pengemis?, bagaimana kalau dia ternyata hanya seorang yang malas bekerja dan akhirnya jadi pengemis?”. Teman saya tersebut hanya tersenyum dan menjawab,”Aku nggak tahu pasti dia itu pengemis benar atau tdak tapi yang aku tahu pasti bahwa hidupnya tidak lebih beruntung dari aku dan Rp.1000 atau Rp.2000 nggak akan membuat kita jadi miskin kan?, lagipula Allah melihat keikhlasan pemberian kita dan bukannya siapa yang diberikan. Kalau kemudian ternyata dia menipu dan bukan pengemis seperti yang kita kira, biarlah itu urusan dia dengan Allah”.
Pernyataan terakhir itu mengingatkan saya akan sebuah tulisan yang pernah saya baca beberapa waktu silam yang berbicara mengenai pemberian dan sedekah. Dalam hidup kita seringkali terjebak pada hitung-hitungan angka, kalau saya kasih sekian kira-kira sisanya bisa nggak buat yang lain dst. Hidup kita tidak seluruhnya berupa matematika dan permainan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis yang bermakna jauh lebih baik. Namun hal ini tidak pernah kita tahu karena kita tidak pernah terpikir untuk setidaknya melihat dari sisi itu.
Kalau pikiran kita hanya tertuju pada pendapatan (baca:gaji) yang kita terima, kita cenderung akan menjadi orang yang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai pendapatan setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu kita akan berkata,”Bagaimana mau memberi kepada orang lain dan bersedekah, lha wong untuk kita saja masih kurang." Sebagian besar orang akan mengatakan,"Kenyataannya memang begitu kan?”. Mana mungkin seorang pegawai negeri atau pegawai rendahan dengan gaji hanya sebesar itu, bisa hidup tenang, bisa memberi sedekah dan malah bisa berbagi dengan saudara yang lain.
Kita berpikiran seperti itu karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Tulisan itu juga mengilustrasikan begini: Kita punya uang Rp.10,000. Makan bakso harganya Rp.6000, kemudian makan Es campur Rp.3000. Setelah bayar kita akan dapat kembalian Rp.1000, yang kemudian kita berikan dengan ikhlas kepada pengemis, berapa sisa uang kita? Tentu saja secara logika kita akan menjawab Tidak ada! Tapi ternyata masih ada uang kita yang Rp.1000 tadi dan bahkan masih bisa bertambah banyak melebihi jumlah pemberian kita. Dan seribu rupiah itu abadi. Dikatakan bisa bertambah banyak karena seribu rupiah tadi bisa memancing rezeki yang tidak terduga.
Bagaimana bisa uang yang seharusnya habis malah bisa mendatangkan rejeki yang lain? Kalau kita berpikir matematis dan logika memang tidak mungkin. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan lihatlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Pengemis yang mendapatkan berkah kita tersebut kemudian mengucapkan doa' keberkahan kepada kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya pada lebih banyak orang yang tidak mampu?. Malaikat niscaya akan sibuk mencatat keberkahan untuk anda itu dan indahnya lagi adalah segala doa tersebut didengar oleh Allah. Itu juga menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong kita di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi, yang dapat berbuah keberkahan dan sekaligus juga penolong. Sementara nilai Rp.9000 untuk bakso dan es campur itu akan selalu berakhir di WC.
Tulisan itu membuat saya terpaku. Sebegitu dalam penghayatan atas nilai sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang seringkali terlupakan. Sedekah memang berat kalau kita memandangnya dari hitungan logika matematis. Sedekah seringkali hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Alam kosmis memiliki hukum yang kekal yaitu: siapa memberi kelak suatu hari akan menerima. Bukti empiris banyak tersebar di kehidupan kita. Petani yang selalu memberi pupuk pada tanamannya, kelak suatu hari akan menerima limpahan panen. Kita mengajarkan keindahan cinta pada anak-anak kita, kelak anak-anak kita akan menunjukkan kepada kita mulianya keindahan kasih sayang. Sebaliknya, bila kita menyemai benih kebencian kepada orang lain kelak kita akan ditunjukkan betapa sakitnya saat diacuhkan.
Tuhan itu adil, apapun yang kita lakukan baik atau buruk, akan dilihat dan didengar oleh-Nya. Seperti Budhe saya selalu bilang,”Gusti Allah ora sare...”. (Tuhan tidak pernah tidur).
Pernyataan terakhir itu mengingatkan saya akan sebuah tulisan yang pernah saya baca beberapa waktu silam yang berbicara mengenai pemberian dan sedekah. Dalam hidup kita seringkali terjebak pada hitung-hitungan angka, kalau saya kasih sekian kira-kira sisanya bisa nggak buat yang lain dst. Hidup kita tidak seluruhnya berupa matematika dan permainan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis yang bermakna jauh lebih baik. Namun hal ini tidak pernah kita tahu karena kita tidak pernah terpikir untuk setidaknya melihat dari sisi itu.
Kalau pikiran kita hanya tertuju pada pendapatan (baca:gaji) yang kita terima, kita cenderung akan menjadi orang yang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai pendapatan setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu kita akan berkata,”Bagaimana mau memberi kepada orang lain dan bersedekah, lha wong untuk kita saja masih kurang." Sebagian besar orang akan mengatakan,"Kenyataannya memang begitu kan?”. Mana mungkin seorang pegawai negeri atau pegawai rendahan dengan gaji hanya sebesar itu, bisa hidup tenang, bisa memberi sedekah dan malah bisa berbagi dengan saudara yang lain.
Kita berpikiran seperti itu karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Tulisan itu juga mengilustrasikan begini: Kita punya uang Rp.10,000. Makan bakso harganya Rp.6000, kemudian makan Es campur Rp.3000. Setelah bayar kita akan dapat kembalian Rp.1000, yang kemudian kita berikan dengan ikhlas kepada pengemis, berapa sisa uang kita? Tentu saja secara logika kita akan menjawab Tidak ada! Tapi ternyata masih ada uang kita yang Rp.1000 tadi dan bahkan masih bisa bertambah banyak melebihi jumlah pemberian kita. Dan seribu rupiah itu abadi. Dikatakan bisa bertambah banyak karena seribu rupiah tadi bisa memancing rezeki yang tidak terduga.
Bagaimana bisa uang yang seharusnya habis malah bisa mendatangkan rejeki yang lain? Kalau kita berpikir matematis dan logika memang tidak mungkin. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan lihatlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Pengemis yang mendapatkan berkah kita tersebut kemudian mengucapkan doa' keberkahan kepada kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya pada lebih banyak orang yang tidak mampu?. Malaikat niscaya akan sibuk mencatat keberkahan untuk anda itu dan indahnya lagi adalah segala doa tersebut didengar oleh Allah. Itu juga menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong kita di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi, yang dapat berbuah keberkahan dan sekaligus juga penolong. Sementara nilai Rp.9000 untuk bakso dan es campur itu akan selalu berakhir di WC.
Tulisan itu membuat saya terpaku. Sebegitu dalam penghayatan atas nilai sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang seringkali terlupakan. Sedekah memang berat kalau kita memandangnya dari hitungan logika matematis. Sedekah seringkali hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Alam kosmis memiliki hukum yang kekal yaitu: siapa memberi kelak suatu hari akan menerima. Bukti empiris banyak tersebar di kehidupan kita. Petani yang selalu memberi pupuk pada tanamannya, kelak suatu hari akan menerima limpahan panen. Kita mengajarkan keindahan cinta pada anak-anak kita, kelak anak-anak kita akan menunjukkan kepada kita mulianya keindahan kasih sayang. Sebaliknya, bila kita menyemai benih kebencian kepada orang lain kelak kita akan ditunjukkan betapa sakitnya saat diacuhkan.
Tuhan itu adil, apapun yang kita lakukan baik atau buruk, akan dilihat dan didengar oleh-Nya. Seperti Budhe saya selalu bilang,”Gusti Allah ora sare...”. (Tuhan tidak pernah tidur).
Subscribe to:
Posts (Atom)