“Mas, aku pokoknya mau protes dan nggak bisa terima!,” seru sepupu saya di telepon suatu sore. Saya yang masih belum sadar sepenuhnya dari istirahat siang di hari libur itu berusaha mengira-ngira siapa gerangan orang yang mau protes ini.”Memang kebangetan banget ya iparku itu, lha wong kita sekeluarga sudah setuju mau pergi bareng, eh nggak tahunya dia bilang nggak jadi ikut karena mobilnya mau dimasukkan ke bengkel. Apa nggak nyebelin tuh namanya?!..” cerocosnya dengan emosional. Setelah dengan sekuat tenaga berkonsentrasi akhirnya saya mulai dapat mengenal suara si penelepon dan masalah yang diungkapkan. Saya hanya merespon sekedarnya saja karena khawatir kalau salah bicara malah bisa menambah masalah. “Dasar dia itu memang manusia sulit kok mas!,” ujarnya ketus.
Tentu kita semua pernah mengalami hal yang sama, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang seperti saudara saya bilang “manusia sulit”. Mereka disebut sulit karena biasanya memiliki atau menunjukkan sifat atau perilaku yang berbeda dengan manusia kebanyakan: keras kepala, suka mengkritik pedas, menghina, menang sendiri, egois dan lain-lain sikap negatif. Namun sadari atau tidak, kita yang seringkali memberi cap manusia sulit pada orang lain sekali waktu juga akan berperan sebagai si manusia sulit. Kita selalu melihat dan menunjuk orang di luar sana sebagai manusia sulit. Tanpa kita sadari bahwa empat jari yang lain saat kita menunjuk mengarah kepada diri kita. Contoh mudahnya ya sudara saya yang telpon itu. Dia memberi cap manusia sulit pada saudara iparnya namun saya tahu pasti saudara saya itupun bisa dikategorikan juga sebagai manusia sulit. Kenapa? Karena tidak jarang dia begitu keras kepala akan pendapat dan pikirannya.
Dengan meyakini bahwa guru kehidupan adalah segala sesuatu yang kita alami dan temui. Manusia sulit-pun merupakan salah satu guru terbaik bagi perkembangan kematangan jiwa kita. Saat manusia sulit beraksi dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka, sebenarnya kita juga sedang diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Tidak heran apabila rekan kerja saya bertemu dan berhadapan dengan manusia sulit, dia akan mengelus-elus perutnya yang sedang hamil 5 bulan dengan harapan agar calon anaknya tidak memiliki atau “ketularan” kejelekan orang tersebut.
Manusia sulit juga berjasa dalam membuat kita menjadi orang yang lebih sabar. Gede Parma pernah menulis bahwa badan dan jiwa kita ini seperti karet. Pertama kali ditarik akan melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, jengkel, mengurut dada atau menarik nafas panjang karena ulah manusia sulit ini, sejatinya kita sedang menarik karet (baca:tubuh dan jiwa) agar menjadi longgar (baca: sabar). Dan diharapkan pada saat kesekian kali kita berhadapan kembali dengan manusia sulit ini, tubuh dan jiwa kita bisa lebih mengerti dan sabar. Apabila ini dilakukan terus menerus, niscaya kesabaran akan selalu melekat dimanapun kita berada dan dengan siapapun kita berhadapan.
Memberi cap “manusia sulit” kepada siapapun di luar kita sangat dipengaruhi oleh “kaca mata” yang kita pakai. Kita seringkali men-cap kotor ini dan itu kepada orang lain tanpa tahu sebenarnya bukan mereka yang “kotor”, tapi “kacamata” yang kita pakailah yang kotor yaitu pikiran, emosional dan persepsi. Dengan kata lain sebelum menyebut siapapun diluar sana sebagai manusia kotor atau sulit, yakinlah pada diri anda bahwa bukan anda sebenarnya yang sulit. Karena anda begitu keras kepala, perbedaan pendapat sedikit saja membuat anda marah. Karena anda orang yang mudah tersinggung, orang tersenyum sedikit saja membuat anda kesal karena menganggap orang tersebut sedang meledek anda.
Pikiran mulia dari berhadapan dengan manusia-manusia sulit adalah mereka merupakan orang-orang yang sebenarnya mempermudah jalan kita untuk ke sorga. Apabila tingkat kesabaran anda sudah sedemikian matang, kita akan membalas hinaan dengan sebuah senyuman, cercaan dengan doa, bau busuk dengan bau harum, bukankah hal-hal demikian membuat amal kebaikan kita menjadi semakin banyak dan dengan itu pula jalan kita menuju sorga menjadi lebih lancar?
Friday, November 30, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment