Teman saya ini adalah seorang pegawai negeri di yang berkantor di Jalan Thamrin. Umurnya lebih muda dari saya dan kebetulan sewaktu di Yogya kami satu kos. Salah satu “kegemaran”nya adalah memberikan sedekah kepada pengemis. Suatu saat teman saya yang lain secara sambil lalu “mempertanyakan” kebiasaannya tersebut. “Emang elo yakin kalau dia itu memang pengemis?, bagaimana kalau dia ternyata hanya seorang yang malas bekerja dan akhirnya jadi pengemis?”. Teman saya tersebut hanya tersenyum dan menjawab,”Aku nggak tahu pasti dia itu pengemis benar atau tdak tapi yang aku tahu pasti bahwa hidupnya tidak lebih beruntung dari aku dan Rp.1000 atau Rp.2000 nggak akan membuat kita jadi miskin kan?, lagipula Allah melihat keikhlasan pemberian kita dan bukannya siapa yang diberikan. Kalau kemudian ternyata dia menipu dan bukan pengemis seperti yang kita kira, biarlah itu urusan dia dengan Allah”.
Pernyataan terakhir itu mengingatkan saya akan sebuah tulisan yang pernah saya baca beberapa waktu silam yang berbicara mengenai pemberian dan sedekah. Dalam hidup kita seringkali terjebak pada hitung-hitungan angka, kalau saya kasih sekian kira-kira sisanya bisa nggak buat yang lain dst. Hidup kita tidak seluruhnya berupa matematika dan permainan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis yang bermakna jauh lebih baik. Namun hal ini tidak pernah kita tahu karena kita tidak pernah terpikir untuk setidaknya melihat dari sisi itu.
Kalau pikiran kita hanya tertuju pada pendapatan (baca:gaji) yang kita terima, kita cenderung akan menjadi orang yang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai pendapatan setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu kita akan berkata,”Bagaimana mau memberi kepada orang lain dan bersedekah, lha wong untuk kita saja masih kurang." Sebagian besar orang akan mengatakan,"Kenyataannya memang begitu kan?”. Mana mungkin seorang pegawai negeri atau pegawai rendahan dengan gaji hanya sebesar itu, bisa hidup tenang, bisa memberi sedekah dan malah bisa berbagi dengan saudara yang lain.
Kita berpikiran seperti itu karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Tulisan itu juga mengilustrasikan begini: Kita punya uang Rp.10,000. Makan bakso harganya Rp.6000, kemudian makan Es campur Rp.3000. Setelah bayar kita akan dapat kembalian Rp.1000, yang kemudian kita berikan dengan ikhlas kepada pengemis, berapa sisa uang kita? Tentu saja secara logika kita akan menjawab Tidak ada! Tapi ternyata masih ada uang kita yang Rp.1000 tadi dan bahkan masih bisa bertambah banyak melebihi jumlah pemberian kita. Dan seribu rupiah itu abadi. Dikatakan bisa bertambah banyak karena seribu rupiah tadi bisa memancing rezeki yang tidak terduga.
Bagaimana bisa uang yang seharusnya habis malah bisa mendatangkan rejeki yang lain? Kalau kita berpikir matematis dan logika memang tidak mungkin. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan lihatlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Pengemis yang mendapatkan berkah kita tersebut kemudian mengucapkan doa' keberkahan kepada kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya pada lebih banyak orang yang tidak mampu?. Malaikat niscaya akan sibuk mencatat keberkahan untuk anda itu dan indahnya lagi adalah segala doa tersebut didengar oleh Allah. Itu juga menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong kita di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi, yang dapat berbuah keberkahan dan sekaligus juga penolong. Sementara nilai Rp.9000 untuk bakso dan es campur itu akan selalu berakhir di WC.
Tulisan itu membuat saya terpaku. Sebegitu dalam penghayatan atas nilai sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang seringkali terlupakan. Sedekah memang berat kalau kita memandangnya dari hitungan logika matematis. Sedekah seringkali hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.
Alam kosmis memiliki hukum yang kekal yaitu: siapa memberi kelak suatu hari akan menerima. Bukti empiris banyak tersebar di kehidupan kita. Petani yang selalu memberi pupuk pada tanamannya, kelak suatu hari akan menerima limpahan panen. Kita mengajarkan keindahan cinta pada anak-anak kita, kelak anak-anak kita akan menunjukkan kepada kita mulianya keindahan kasih sayang. Sebaliknya, bila kita menyemai benih kebencian kepada orang lain kelak kita akan ditunjukkan betapa sakitnya saat diacuhkan.
Tuhan itu adil, apapun yang kita lakukan baik atau buruk, akan dilihat dan didengar oleh-Nya. Seperti Budhe saya selalu bilang,”Gusti Allah ora sare...”. (Tuhan tidak pernah tidur).
Friday, November 30, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment