Wednesday, August 8, 2007

Terima kasih

Saat makan siang bersama dengan seorang teman lama saya, dia kelihatannya sedang kesal karena terlihat dari air mukanya yang keruh. Begitu kami mulai duduk untuk memesan makanan, dia mulai mengungkapkan perasaan kesalnya terhgadap kelakuan saudara iparnya yang baru saja dibantu keluar dari permasalahan keuangan. “Nggak tahu diri benar iparku itu. Udah ditolong dengan membantu membayarkan tagihan kartu kreditnya yang macet, masak nggak bilang terima kasih sama sekali!” ungkapnya. “Bahkan menelepon kembali pun nggak. Apa dia nggak kerasa kalau sudah ditolong orang ya?..nyesel juga aku udah nolong dia, kalau aku tahu begini, aku nggak akan membantunya se-sen pun!”

Saya hanya bisa mendengarkan segala keluh kesah dan mencoba untuk menenangkan perasaan marahnya agar tidak semakin menjadi besar. Perasaan kesal seperti yang teman saya rasakan adalah wajar dan mungkin banyak diantara kita (bahkan saya sendiri) masih sering merasa kesal apabila orang yang kita beri pertolongan tidak mengucapkan terima kasih atas usaha kita.

Orang yang marah, hatinya penuh dengan racun” begitulah Konfusius pernah mengatakan. Dan saya merasa kasihan kepada teman saya tersebut karena saat itu (dan mungkin sampai kini) hatinya masih teracuni oleh sebab amarahnya. Perlu kita sadari bahwa manusia itu bermacam ragam tabiat-nya, itu sudah kodrat manusia. Tabiat untuk selalu berterima kasih terhadap setiap kebaikan tidaklah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam sebuah buku pernah saya baca bahwa “Tahu untuk berterima kasih kepada setiap kebaikan dan pemberian adalah buah dari pendidikan yang baik. Dan kita tidak bisa menemukan ini di setiap diri manusia”.

Kita sebaiknya mengetahui dan memaklumi bahwa tidak semua manusia memiliki sifat “tahu berterima kasih” dan juga kadang manusia “lupa” untuk berterima kasih. Jadi kalau ada orang yang kita tolong kemudian ternyata dia tidak berucap terima kasih adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, sebaiknya kita jangan selalu mengharap untuk mendapatkan ungkapan rasa terima kasih, sebab hal itu akan membuat hati kita jadi jengkel dan kesal.

Hal ini dipraktekkan oleh teman saya yang lain, seorang eksekutif muda yang bekerja di sebuah kedutaan besar asing. Setiap kali saudara-saudaranya membutuhkan bantuan dana (anak sekolah, masuk rumah sakit, bahkan untuk bayar hutang) mereka selalu datang ke teman saya ini. Sewaktu saya tanya apakah saudara-saudaranya berucap terima kasih dan kemudian datang untuk membayar kembali uang yang dipinjam, dia bilang tidak. Teman saya coba mensikapi hal tersebut dari sisi yang berbeda. Dia melihat bahwa apa yang dilakukannya semata-mata adalah ibadah karena Allah dan tidak mengharapkan balasan di dunia tapi nanti saat dirinya berpulang pada-Nya. Karena itulah dia selalu gembira dan iklhas saat memberikan bantuan dan tidak terpenjara dalam amarah dan kesal karena merasa perbuatan baik dan pemberiannya tidak berbalas langsung.

Teman saya agaknya mendekati gambaran syarat-syarat Manusia Ideal yang dijabarkan oleh seorang filsuf: Aristoteles. “Manusia Ideal,” kata Aristoteles,”Adalah orang yang merasa gembira bila dapat berbuat baik kepada orang lain, dan merasa malu bila menerima kebaikan dari orang lain. Sebab memberikan kebaikan adalah menggambarkan keagungan budi seseorang.” Kalimat Aristoteles itu senada sepengertian dengan sebuah cerita dalam sebuah pelajaran agama yang saya dengar waktu SD dulu, sebuah kisah dimana seorang Nabi telah berhasil menyembuhkan 10 orang kusta. Dan dari 10 orang kusta yang sembuh itu hanya ada satu yang mengucapkan terima kasih! Namun sang Nabi tersebut tidak mempermasalahkan hal itu.

Tabiat dapat berterima kasih tidak serta merta tumbuh sendiri, namun perlu dipupuk dan disiram laksana bunga yang terawat. Tidak heran, seringkali kita melihat (bahkan mungkin kita lakukan sendiri) kita selalu bilang kepada anak balita kita untuk jangan lupa bilang terima kasih ketika anak kita mendapatkan sesuatu dari orang lain. Namun pembelajaran itu akan sia-sia kalau kita hanya bisa meminta mereka untuk selalu berterima kasih tanpa kita juga selalu menunjukkan bagaimana caranya. Salah satu saudara saya yang mempunyai anak balita sering kesal melihat anaknya susah (atau lupa) untuk berterima kasih saat mendapatkan sesuatu dari orang lain. Saya seketika tahu sebabnya, ketika saudara saya menerima sesuatu dia juga ternyata tidak (atau lupa) untuk berucap terima kasih! Seorang anak kecil akan lebih cepat belajar dari apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh orang tuanya.

Nah, agar hidup kita dapat lebih bahagia: janganlah memikirkan dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang yang anda bantu, namun bergembiralah karena anda dapat memberi dan masih memiliki kesempatan untuk membantu orang lain.

No comments: